6 Jam di Jalur Gaza, Sejenak Menyapa Penghuni Penjara Terbesar di Dunia
Oleh Dra Yoyoh Yusroh
(Anggota Komisi VIII DPR RI)
6 Jam di Jalur Gaza, Sejenak Menyapa Penghuni Penjara Terbesar di Dunia |
(Hal-48) Saat
pertama kali mendengar bahwa komisi I DPR akan berangkat menuju Gaza,
Palestina, saya langsung mengajukan diri untuk ikut. Yang berangkat saat itu
ada 20 orang, termasuk ketua DPR. Marzuki Alie, dan DR Hidayat Nur Wahid. Waktu
itu hanya komisi I saja yang rencana akan berangkat, tapi kemudian saya
mengajukan diri untuk ikut berangkat ke (Hal-49)
sana. Meskipun saya bukan dari komisi I, akan sangat relevan kalau saya
ikut karena saya berada di komisi VIII yang mengurusi anak, perempuan dan
pengungsi. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa ikut. Rombongan tersebut
akan menyerahkan bantuan sejumlah $20 juta untuk mendirikan rumah sakit di
Gaza.
Terus terang, ada sedikit rasa takut, karena sebelumnya ada kejadian kapal Mavi Marmara yang diserang Israel waktu mau membawa bantuan ke Gaza. Beberapa relawan harus kehilangan nyawa. Saya sudah memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk jika harus kehilangan nyawa. Karenanya, saya sudah minta izin kepada suami dan anak-anak. Jika terjadi sesuatu pada saya, Insya Allah mereka akan merelakannya. Saya pikir jika gugur syahid di sana, semoga bisa merahmati 70 anggota keluarga.
Senin (28/6), pukul 10.55 waktu setempat, kami tiba di
perbatasan Rafah, Mesir. Ada sedikit perasaan was-was, karena meskipun kami dikawal
oleh Polisi Mesir, bisa saja ada perubahan sikap yang akhirnya membuat izin
kami untuk memasuki Gaza dibatalkan.
Sepanjang jalan saya berdoa, semoga Allah memudahkan langkah
kami menuju ke sana. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur sekali,
walaupun hanya diberi kesempatan delapan jam di sana, tapi itu sangat berarti. Jantung
saya berdebar cepat dibarengi rasa syukur. Akhirnya, kaki ini bisa menginjak
bumi jihad setelah beberapa kali mencoba masuk Gaza, beberapa waktu yang lalu.
Setelah melewati Gerbang Rafah kami melewati zona kosong beberapa kilometer hingga sampai di pos Gaza. Di sana kami dijemput oleh tentara dan anggota parlemen Hamas. Yang membut saya terharu adalah cara penyambutan mereka, warga palestina, kepada kami. Bayangkan, negeri mereka porak poranda akibat kekejian Israel, tapi mereka masih menjalankan protokoler bagaimana menyambut tamu.
Mereka menyiapkan
untaian bunga-bunga segar dan harum yang diambil dari perkebunan mereka untuk
dikalungkan ke leher kami. Diantara untaian bunga itu, terselip ucapaan
sambutan dari mereka,”Welcome to Gaza”. Setelah itu, mereka pun menyematkan
selendang (Hal-50) perjuangan yang
dirajut oleh perempuan Palestina dengan kualitas bahan yang paling baik.
Baca Juga: Ramadhan di Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkotika, Bogor
Saat ini 84% wilayah Palestina sudah dikuasai Yahudi,
sisanya 16% terdiri dari Tepi Barat dan Gaza. Hanya dua daerah itu yang didiami
Muslim, sisanya sudah di bawah kekuasaan Israel. Saat tiba di sana, yang
pertama kali saya lihat adalah kondisi bangunan. Banyak sekali bangunan yang
hancur, sehingga banyak warga yang tinggal di tenda-tenda.
Usai acara penyambutan, mereka mengajak kami berbincang
di gedung Parlemen Palestina untuk mengadakan konferensi Pers bersama wartawan
setempat dan wartawan Indonesia yang ikut rombongan. Tapi, kami tidak melihat
gedung bertingkat layaknya sebuah gedung parlemen atau anggota dewan. Gedung
mereka hancur di bom Israel, dan kami diterima di depan reruntuhan gedung yang
hancur. Kami berbincang-bincang di dalam tenda dengan kursi-kursi plastik. Mirip
sekali dengan rapat RT atau rapat RW di Indonesia.
Seorang pendamping kami, Mushir Al Misri, mengatakan bahwa
Gaza hanya diberi jatah listrik oleh Israel empat jam dalam sehari, tapi ada
juga di daerah lain di wilayah Gaza yang dapat pasokan listrik delapan jam
sehari. Ketika Mushir menyatakan hal itu, tiba-tiba lampu langsung padam. Pas sekali
dengan yang dia katakan. Akhirnya konferensi pers berjalan dengan keadaan tenda
yang gelap gulita, hanya diterangi lampu kamera wartawan sebelum akhirnya lampu
menyala kembali.
Konferensi pers dibuka pertama kali oleh Ahmad Bahar,
Wakil Ketua Parlemen, menggantikan ketuanya Abdul Azis, yang tengah dipenjara
oleh pihak Israel. Setelah itu sambutan dilanjutkan oleh Ismail Haniyya. Perdana
Mentri Palestina dari Hamas ini, dalam sambutannya, ia mengucapkan terima kasih
atas bantuan untuk membangun rumah sakit yang diberi nama Ar Royan di Gaza
Utara. Setelah itu giliran ketua DPR RI, Marzuki Alie yang menyampaikan
sambutannya dan diterjemahkan oleh DR Hidayat Nur Wahid ke bahasa Arab.
Di Palestina, tanahnya memang sangat subur. Dulu mereka
pernah menjadi pengekspor jeruk, bunga-bunga segar, dan beberapa hasil bumi
yang mereka tanam dari kebun sendiri. Mereka sendiri saat ini sedang
giat-giatnya menanam pohon zaitun di atas kebun-kebun yang dihancurkan oleh
Israel. Ismail Haniya mengatakan,”Kami saat ini mulai menanam. Bisa jadi bukan
kami yang akan memetik hasilnya, tapi anak-anak kami.” Bagi saya itu adalah sebuah
pernyataan yang menunjukkan optimisme bahwa mereka akan bangkit dan tidak
pernah putus harapan. Meskipun gedung-gedung pemerintahan mereka hancur, tapi Subhanallah,
pemerintahan mereka tetap berjalan.
Diantara anggota parlemen perempuan dari Hamas, terdapat
Jamila Al Shanti, Janda As Syahid Abdul Aziz Ar Rantisi. Ada enam orang
perempuan yang ada di pemerintahan Hamas, dua diantaranya ada di dalam penjara.
Banyak dari keluarga Jamila Al Shanti yang syahid, termasuk anak-anaknya. Saya
memeluk erat-erat Jamila Al Shanti. Saya katakan kepadanya, bahwa saya
mendapatkan amanah untuk menyerahkan bantuan dari para Muslimah di Indonesia
dan bantuan dari beberapa perusahaan. Karena sebelumnya di Mesir ada
kesepakatan untuk tidak membawa bantuan, jadi saya memberikannya dengan
diam-diam. Alhamdulillah, dia mau menerimanya. Kalau saja tidak saya
katakan amanah, mungkin dia tidak mau menerimanya. Bahkan dia menitipkan surat
untuk para Muslimah Indonesia dari Muslimah Palestina.
Setelah setengah jam berada di dalam tenda untuk
mengadakan konferensi pers, kami diajak untuk menyaksikan peletakan batu
pertama peresmian pembangunan rumah sakit di tanah Wakaf dengan luas satu
setengah hektar. Ada kejadian yang mengharukan di sini. Saya melihat anak-anak
yang berbaris rapi memainkan marching band dalam acara itu. Mereka menggunakan
seragam dan memainkan alat musik dengan sangat semangat. Ketika mereka berparade
itu, sungguh tidak menyangka, bahwa mereka adalah anak-anak yang setiap harus
bertaruh nyawa karena kekejaman Israel. Wajah mereka yang tampak berseri-seri
membuat hati saya begitu tenang.
Baca Juga: Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin
Diantara rombongan kami, ada jendral dan kolonel yang pernah melihat kondisi di Irak. Menurut mereka, di Irak, paling tidak dalam dua tahun mereka sudah banyak yang meninggal karena kekurangan makanan atau ketidaktersediaan air. Tapi Subhanallah, di Palestina, meskipun sudah puluhan tahun menderita, mereka masih bisa bertahan. Kalau mereka mau, mereka bisa pergi dari negeri ini.
Tapi mereka tidak mau. Saya sampai
menangis mendengar orasi seorang pemuda. Dia berkata,” Kami sama dengan kalian.
Hak kalian terhadap kami merupakan kewajiban bagi kami. Salah satu hak kalian
terhadap kami adalah, bahwa kami wajib bertahan di sini untuk terus berjuang. Kalau
kami tidak berjuang berarti kami tidak menunaikan kewajiban kami yang merupakan
hak kalian, dan berarti itu kami lemah. Kami harus kuat menghadapi risiko apa
pun untuk memenuhi kewajiban kami ini.”
Saya sungguh kagum dengan pernyataan pemuda itu,
sekaligus merasa terpukul. Mereka tidak hanya memikirkan diri sendiri tapi juga
memikirkan hak orang lain. Hak kita, sebagai saudara seiman. Saya merekamnya
dengan air mata mengalir. Saya merasa kalau semua Umat Islam memiliki sikap
seperti ini, kondisi dunia akan berubah. Sekara umat Islam banyak yang tidak
menyadari hak sesama Muslim.
Mereka, bangsa Palestina tidak mau terlihat sebagai
bangsa yang meminta-minta. Mereka bangsa yang iffah, sekaligus bangsa
yang memberi. Sampai-sampai, Menteri dalam negerinya berkata,Nahnu sya’bul
banna’ laisa sya’bul bakka.” (Kami bangsa pembangun bukan bangsa perengek).
Saya tambahkan lagi untuk mereka, yakni sya’bul atha, karena mereka
bangsa yang sangat gemar memberi. Ketika kami diantar protokoler mereka naik
bus, mereka tidak mau diberikan tips. Padahal kalau dipikir mereka (Hal-52) juga butuh. Tapi mereka tidak mau.
Saya pernah mendengar cerita dari seorang dokter yang
bertugas di Gaza, saat serangan membabibuta dari pihak Israel, ada seorang anak
penjual teh. Setiap hari dokter mau mengoperasi, pasti melihat bocah penjual
teh itu. Banyak dokter yang menyaksikan kegigihan anak ini. Sehingga berpikir
untuk mengumpulkan dana dari para dokter. Akhirnya dana terkumpul sampai 2000
dolar. Saat akan diberikan, anak itu berkata,”Hidup saya cukup dengan berjualan
teh. Uang 2000 dolar ini sebaiknya anda serahkan kepada Hamas,”katanya.
Mereka sangat memuliakan kami sebagai tamu. Kami dibawa
ke sebuah restoran di dekat pantai di Mediterania. Itu adalah restoran paling bagus
di sana. Kami disediakan nasi khas Palestina di dalam satu nampan. Satu nampan
untuk berempat. Mereka juga menyiapkan sebuah minuman, bentuknya mirip Coca
Cola. Tapi ternyata setelah dilihat, merk minuman itu Super Cola. Mereka menyediakan
sendiri produk itu, rasanya pun mirip Coca Cola. Jadi, jangan harap menemukan
barang-barang boikot di sini.
Saat azan dzuhur berkumandang, kami berbondong-bondong mencari air wudhu. Tapi mereka langsung saja shalat, karena mereka adalah orang yang senantiasa menjaga wudhu. Mereka bilang, mereka siap gugur syahid kapan saja. Ketika musuh Allah menembak mereka, maka mereka akan meninggal dalam keadaan suci karena menjaga wudhunya.
Islam di sana merupakan Islam yang praktis, tidak
sekadar teori. Bahkan ketika saya diantar mobil saat Dzuhur, saya melihat
orang-orang di luar, shalat di depan toko-toko mereka. Ada yang shalat berjemaah
bertiga atau berempat. Masjid mereka banyak yang dibombardir, dan belum mampu
lagi membangunnya, yang terpenting bagi mereka adalah shalat jamaah.
Baca Juga: Terus Terang Tak Selalu Terang Terus
Kami juga sempat melewati rumah Ismail Haniya. Tidak ada
yang menyangka Perdana mentri ini tinggal di sebuah gang sempit. Ketika kami di
dalam mobil, anak-anak yang jumlahnya puluhan dan sebagian besar adalah anak
laki-laki melambaikan tangannya. Ada anak yang dengan bangganya memperkenalkan
dirinya, “Ana Ahmad, Abi Syahid” (nama saya Ahmad, ayah saya syahid). Dalam
kondisi perang, mereka masih tetap bersekolah meskipun harus di dalam tenda. Saya
berpikir untuk mensosialisasikan apa yang mereka alami kepada saudara-saudara
kita di Indonesia. Saya berencana melakukan road show lebih luas lagi
pada saat Ramadhan nanti.
saya dengar ada camp untuk menghapal Al Qur’an. Dari sekitar
10 ribu anak, ada sekitar 2.500 anak yang jadi hafidz Al Qur’an dalam waktu dua
bulan. Pada bulan April lalu, jumlah penghapal konon telah bertambah menjadi 15
ribu anak. Mereka kata menteri Dalam Negeri, tengah dipersiapkan menjadi
pemimpin masa depan. Mulai dari tingkat nasional, lini terdepan pemerintahan,
pejabat daerah hingga pejabat kampung, semuanya hapal Al Qur’an.
Para janda yang suaminya syahid, menjadi tanggungjawab beberapa
charity di sana. Begitu juga dengan anak-anak yang kehilangan anggota
keluarganya, mereka dalam tanggungan pemerintah Palestina.
Tidak ada guratan kesedihan di wajah anak-anak
Palestiana. Mereka selalu tampak ceria. Bahkan, ada salah satu anak yang
kehilangan salah satu tangannya tidak mau dikasihani. Dia bilang,”saya hanya
kehilangan satu tangan, sedangkan paman saya, dia syahid.”
Akhirnya enam jam sudah saya lewati. Saya sebetulnya
tidak ingin beranjak. Saya minta izin kepada pendamping kami, Mushir Al Misri,
untuk menginap. Dia bilang,”Saya senang sekali kalau Anda menginap di sini,
tapi saya kasihan kalau Anda tidak bisa pulang nanti.”
Sayang, saya tidak bisa mengunjungi dan shalat di Masjid Al
Aqsa, meskipun jaraknya dari gaza hanya sekitar 100 Km. Karena sekitar 1,5 juta
penduduk Gaza terkurung, tanpa bantuan makanan dan obat-obatan. Banyak bahan
makanan dan yang lainnya datang dari terowongan yang mereka buat sendiri. Inilah
penjara terbesar di dunia. Jika ada penduduk Gaza yang pergi ke Al Aqsa, mereka
akan dipenjara selama 100 tahun oleh Israel. Bahkan Mushir Al Misri mengatakan,
terakhir ia pergi ke Al Aqsa ketika dia berusia 10 tahun.
Baca Juga: Bukan Obat Yang Mujarab
Seperti yang disampaikan oleh Ustazah Yoyoh Yusroh kepada
Purwanti dan Yenni Siswanti dari Tarbawi.
Surat Dari Muslimah Palestina
Di samping ini adalah surat dari Muslimah Palestina yang ditujukan
kepada Muslimah Indonesia. Berikut penggalannya:
“... Dari bumi Palestina, medan ribath ini, kami
mengirimkan surat persaudaraan dari lubuk hati yang dipenuhi cinta kepada
saudari-saudari kami di Indonesia. Melalui surat ini, kami haturkan terima
kasih kepada semuanya atas sikap dan dukungan mereka untuk anak-anak bangsa
Palestina kami. Itulah sebabnya, saya membisikkan ke telinga saudara-saudara
kami tercinta, kaum Muslimin di manapun berada; kalian harus terus mempelajari
dan menghafalkan Al Qur’an, serta berpegang teguh dengan ajaran-ajaran Islam. Sebab
sesungguhnya siapapun yang menginginkan kemuliaan dengan Islam, niscaya Allah
akan memuliakannya, ...”
Majalah Tarbawi, Edisi 233 Th 12, Sya’ban
1431 H, 29 Juli 2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar