Minggu, 25 Agustus 2024

6 Jam di Jalur Gaza, Sejenak Menyapa Penghuni Penjara Terbesar di Dunia

 

6 Jam di Jalur Gaza, Sejenak Menyapa Penghuni Penjara Terbesar di Dunia 

Oleh Dra Yoyoh Yusroh

(Anggota Komisi VIII DPR RI)

6 Jam di Jalur Gaza, Sejenak Menyapa Penghuni Penjara Terbesar di Dunia
6 Jam di Jalur Gaza, Sejenak Menyapa Penghuni Penjara Terbesar di Dunia 


(Hal-48) Saat pertama kali mendengar bahwa komisi I DPR akan berangkat menuju Gaza, Palestina, saya langsung mengajukan diri untuk ikut. Yang berangkat saat itu ada 20 orang, termasuk ketua DPR. Marzuki Alie, dan DR Hidayat Nur Wahid. Waktu itu hanya komisi I saja yang rencana akan berangkat, tapi kemudian saya mengajukan diri untuk ikut berangkat ke (Hal-49) sana. Meskipun saya bukan dari komisi I, akan sangat relevan kalau saya ikut karena saya berada di komisi VIII yang mengurusi anak, perempuan dan pengungsi. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa ikut. Rombongan tersebut akan menyerahkan bantuan sejumlah $20 juta untuk mendirikan rumah sakit di Gaza.

Terus terang, ada sedikit rasa takut, karena sebelumnya ada kejadian kapal Mavi Marmara yang diserang Israel waktu mau membawa bantuan ke Gaza. Beberapa relawan harus kehilangan nyawa. Saya sudah memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk jika harus kehilangan nyawa. Karenanya, saya sudah minta izin kepada suami dan anak-anak. Jika terjadi sesuatu pada saya, Insya Allah mereka akan merelakannya. Saya pikir jika gugur syahid di sana, semoga bisa merahmati 70 anggota keluarga.

Senin (28/6), pukul 10.55 waktu setempat, kami tiba di perbatasan Rafah, Mesir. Ada sedikit perasaan was-was, karena meskipun kami dikawal oleh Polisi Mesir, bisa saja ada perubahan sikap yang akhirnya membuat izin kami untuk memasuki Gaza dibatalkan.

Sepanjang jalan saya berdoa, semoga Allah memudahkan langkah kami menuju ke sana. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur sekali, walaupun hanya diberi kesempatan delapan jam di sana, tapi itu sangat berarti. Jantung saya berdebar cepat dibarengi rasa syukur. Akhirnya, kaki ini bisa menginjak bumi jihad setelah beberapa kali mencoba masuk Gaza, beberapa waktu yang lalu.

Setelah melewati Gerbang Rafah kami melewati zona kosong beberapa kilometer hingga sampai di pos Gaza. Di sana kami dijemput oleh tentara dan  anggota parlemen Hamas. Yang membut saya terharu adalah cara penyambutan mereka, warga palestina, kepada kami. Bayangkan, negeri mereka porak poranda akibat kekejian Israel, tapi mereka masih menjalankan protokoler bagaimana menyambut tamu. 

Mereka menyiapkan untaian bunga-bunga segar dan harum yang diambil dari perkebunan mereka untuk dikalungkan ke leher kami. Diantara untaian bunga itu, terselip ucapaan sambutan dari mereka,”Welcome to Gaza”. Setelah itu, mereka pun menyematkan selendang (Hal-50) perjuangan yang dirajut oleh perempuan Palestina dengan kualitas bahan yang paling baik.

Baca Juga: Ramadhan di Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkotika, Bogor

Saat ini 84% wilayah Palestina sudah dikuasai Yahudi, sisanya 16% terdiri dari Tepi Barat dan Gaza. Hanya dua daerah itu yang didiami Muslim, sisanya sudah di bawah kekuasaan Israel. Saat tiba di sana, yang pertama kali saya lihat adalah kondisi bangunan. Banyak sekali bangunan yang hancur, sehingga banyak warga yang tinggal di tenda-tenda.

Usai acara penyambutan, mereka mengajak kami berbincang di gedung Parlemen Palestina untuk mengadakan konferensi Pers bersama wartawan setempat dan wartawan Indonesia yang ikut rombongan. Tapi, kami tidak melihat gedung bertingkat layaknya sebuah gedung parlemen atau anggota dewan. Gedung mereka hancur di bom Israel, dan kami diterima di depan reruntuhan gedung yang hancur. Kami berbincang-bincang di dalam tenda dengan kursi-kursi plastik. Mirip sekali dengan rapat RT atau rapat RW di Indonesia.

Seorang pendamping kami, Mushir Al Misri, mengatakan bahwa Gaza hanya diberi jatah listrik oleh Israel empat jam dalam sehari, tapi ada juga di daerah lain di wilayah Gaza yang dapat pasokan listrik delapan jam sehari. Ketika Mushir menyatakan hal itu, tiba-tiba lampu langsung padam. Pas sekali dengan yang dia katakan. Akhirnya konferensi pers berjalan dengan keadaan tenda yang gelap gulita, hanya diterangi lampu kamera wartawan sebelum akhirnya lampu menyala kembali.

Konferensi pers dibuka pertama kali oleh Ahmad Bahar, Wakil Ketua Parlemen, menggantikan ketuanya Abdul Azis, yang tengah dipenjara oleh pihak Israel. Setelah itu sambutan dilanjutkan oleh Ismail Haniyya. Perdana Mentri Palestina dari Hamas ini, dalam sambutannya, ia mengucapkan terima kasih atas bantuan untuk membangun rumah sakit yang diberi nama Ar Royan di Gaza Utara. Setelah itu giliran ketua DPR RI, Marzuki Alie yang menyampaikan sambutannya dan diterjemahkan oleh DR Hidayat Nur Wahid ke bahasa Arab.

Di Palestina, tanahnya memang sangat subur. Dulu mereka pernah menjadi pengekspor jeruk, bunga-bunga segar, dan beberapa hasil bumi yang mereka tanam dari kebun sendiri. Mereka sendiri saat ini sedang giat-giatnya menanam pohon zaitun di atas kebun-kebun yang dihancurkan oleh Israel. Ismail Haniya mengatakan,”Kami saat ini mulai menanam. Bisa jadi bukan kami yang akan memetik hasilnya, tapi anak-anak kami.” Bagi saya itu adalah sebuah pernyataan yang menunjukkan optimisme bahwa mereka akan bangkit dan tidak pernah putus harapan. Meskipun gedung-gedung pemerintahan mereka hancur, tapi Subhanallah, pemerintahan mereka tetap berjalan.

Diantara anggota parlemen perempuan dari Hamas, terdapat Jamila Al Shanti, Janda As Syahid Abdul Aziz Ar Rantisi. Ada enam orang perempuan yang ada di pemerintahan Hamas, dua diantaranya ada di dalam penjara. Banyak dari keluarga Jamila Al Shanti yang syahid, termasuk anak-anaknya. Saya memeluk erat-erat Jamila Al Shanti. Saya katakan kepadanya, bahwa saya mendapatkan amanah untuk menyerahkan bantuan dari para Muslimah di Indonesia dan bantuan dari beberapa perusahaan. Karena sebelumnya di Mesir ada kesepakatan untuk tidak membawa bantuan, jadi saya memberikannya dengan diam-diam. Alhamdulillah, dia mau menerimanya. Kalau saja tidak saya katakan amanah, mungkin dia tidak mau menerimanya. Bahkan dia menitipkan surat untuk para Muslimah Indonesia dari Muslimah Palestina.

Setelah setengah jam berada di dalam tenda untuk mengadakan konferensi pers, kami diajak untuk menyaksikan peletakan batu pertama peresmian pembangunan rumah sakit di tanah Wakaf dengan luas satu setengah hektar. Ada kejadian yang mengharukan di sini. Saya melihat anak-anak yang berbaris rapi memainkan marching band dalam acara itu. Mereka menggunakan seragam dan memainkan alat musik dengan sangat semangat. Ketika mereka berparade itu, sungguh tidak menyangka, bahwa mereka adalah anak-anak yang setiap harus bertaruh nyawa karena kekejaman Israel. Wajah mereka yang tampak berseri-seri membuat hati saya begitu tenang.

Baca Juga: Mimpi Makan Enak Orang-Orang Miskin

Diantara rombongan kami, ada jendral dan kolonel yang pernah melihat kondisi di Irak. Menurut mereka, di Irak, paling tidak dalam dua tahun mereka sudah banyak yang meninggal karena kekurangan makanan atau ketidaktersediaan air. Tapi Subhanallah,  di Palestina, meskipun sudah puluhan tahun menderita, mereka masih bisa bertahan. Kalau mereka mau, mereka bisa pergi dari negeri ini. 

Tapi mereka tidak mau. Saya sampai menangis mendengar orasi seorang pemuda. Dia berkata,” Kami sama dengan kalian. Hak kalian terhadap kami merupakan kewajiban bagi kami. Salah satu hak kalian terhadap kami adalah, bahwa kami wajib bertahan di sini untuk terus berjuang. Kalau kami tidak berjuang berarti kami tidak menunaikan kewajiban kami yang merupakan hak kalian, dan berarti itu kami lemah. Kami harus kuat menghadapi risiko apa pun untuk memenuhi kewajiban kami ini.”

Saya sungguh kagum dengan pernyataan pemuda itu, sekaligus merasa terpukul. Mereka tidak hanya memikirkan diri sendiri tapi juga memikirkan hak orang lain. Hak kita, sebagai saudara seiman. Saya merekamnya dengan air mata mengalir. Saya merasa kalau semua Umat Islam memiliki sikap seperti ini, kondisi dunia akan berubah. Sekara umat Islam banyak yang tidak menyadari hak sesama Muslim.

Mereka, bangsa Palestina tidak mau terlihat sebagai bangsa yang meminta-minta. Mereka bangsa yang iffah, sekaligus bangsa yang memberi. Sampai-sampai, Menteri dalam negerinya berkata,Nahnu sya’bul banna’ laisa sya’bul bakka.” (Kami bangsa pembangun bukan bangsa perengek). Saya tambahkan lagi untuk mereka, yakni sya’bul atha, karena mereka bangsa yang sangat gemar memberi. Ketika kami diantar protokoler mereka naik bus, mereka tidak mau diberikan tips. Padahal kalau dipikir mereka (Hal-52) juga butuh. Tapi mereka tidak mau.

Saya pernah mendengar cerita dari seorang dokter yang bertugas di Gaza, saat serangan membabibuta dari pihak Israel, ada seorang anak penjual teh. Setiap hari dokter mau mengoperasi, pasti melihat bocah penjual teh itu. Banyak dokter yang menyaksikan kegigihan anak ini. Sehingga berpikir untuk mengumpulkan dana dari para dokter. Akhirnya dana terkumpul sampai 2000 dolar. Saat akan diberikan, anak itu berkata,”Hidup saya cukup dengan berjualan teh. Uang 2000 dolar ini sebaiknya anda serahkan kepada Hamas,”katanya.

Mereka sangat memuliakan kami sebagai tamu. Kami dibawa ke sebuah restoran di dekat pantai di Mediterania. Itu adalah restoran paling bagus di sana. Kami disediakan nasi khas Palestina di dalam satu nampan. Satu nampan untuk berempat. Mereka juga menyiapkan sebuah minuman, bentuknya mirip Coca Cola. Tapi ternyata setelah dilihat, merk minuman itu Super Cola. Mereka menyediakan sendiri produk itu, rasanya pun mirip Coca Cola. Jadi, jangan harap menemukan barang-barang boikot di sini.

Saat azan dzuhur berkumandang, kami berbondong-bondong mencari air wudhu. Tapi mereka langsung saja shalat, karena mereka adalah orang yang senantiasa menjaga wudhu. Mereka bilang, mereka siap gugur syahid kapan saja. Ketika musuh Allah menembak mereka, maka mereka akan meninggal dalam keadaan suci karena menjaga wudhunya. 

Islam di sana merupakan Islam yang praktis, tidak sekadar teori. Bahkan ketika saya diantar mobil saat Dzuhur, saya melihat orang-orang di luar, shalat di depan toko-toko mereka. Ada yang shalat berjemaah bertiga atau berempat. Masjid mereka banyak yang dibombardir, dan belum mampu lagi membangunnya, yang terpenting bagi mereka adalah shalat jamaah.

Baca Juga: Terus Terang Tak Selalu Terang Terus

Kami juga sempat melewati rumah Ismail Haniya. Tidak ada yang menyangka Perdana mentri ini tinggal di sebuah gang sempit. Ketika kami di dalam mobil, anak-anak yang jumlahnya puluhan dan sebagian besar adalah anak laki-laki melambaikan tangannya. Ada anak yang dengan bangganya memperkenalkan dirinya, “Ana Ahmad, Abi Syahid” (nama saya Ahmad, ayah saya syahid). Dalam kondisi perang, mereka masih tetap bersekolah meskipun harus di dalam tenda. Saya berpikir untuk mensosialisasikan apa yang mereka alami kepada saudara-saudara kita di Indonesia. Saya berencana melakukan road show lebih luas lagi pada saat Ramadhan nanti.

saya dengar ada camp untuk menghapal Al Qur’an. Dari sekitar 10 ribu anak, ada sekitar 2.500 anak yang jadi hafidz Al Qur’an dalam waktu dua bulan. Pada bulan April lalu, jumlah penghapal konon telah bertambah menjadi 15 ribu anak. Mereka kata menteri Dalam Negeri, tengah dipersiapkan menjadi pemimpin masa depan. Mulai dari tingkat nasional, lini terdepan pemerintahan, pejabat daerah hingga pejabat kampung, semuanya hapal Al Qur’an.

Para janda yang suaminya syahid, menjadi tanggungjawab beberapa charity di sana. Begitu juga dengan anak-anak yang kehilangan anggota keluarganya, mereka dalam tanggungan pemerintah Palestina.

Tidak ada guratan kesedihan di wajah anak-anak Palestiana. Mereka selalu tampak ceria. Bahkan, ada salah satu anak yang kehilangan salah satu tangannya tidak mau dikasihani. Dia bilang,”saya hanya kehilangan satu tangan, sedangkan paman saya, dia syahid.”

Akhirnya enam jam sudah saya lewati. Saya sebetulnya tidak ingin beranjak. Saya minta izin kepada pendamping kami, Mushir Al Misri, untuk menginap. Dia bilang,”Saya senang sekali kalau Anda menginap di sini, tapi saya kasihan kalau Anda tidak bisa pulang nanti.”

Sayang, saya tidak bisa mengunjungi dan shalat di Masjid Al Aqsa, meskipun jaraknya dari gaza hanya sekitar 100 Km. Karena sekitar 1,5 juta penduduk Gaza terkurung, tanpa bantuan makanan dan obat-obatan. Banyak bahan makanan dan yang lainnya datang dari terowongan yang mereka buat sendiri. Inilah penjara terbesar di dunia. Jika ada penduduk Gaza yang pergi ke Al Aqsa, mereka akan dipenjara selama 100 tahun oleh Israel. Bahkan Mushir Al Misri mengatakan, terakhir ia pergi ke Al Aqsa ketika dia berusia 10 tahun.

Baca Juga: Bukan Obat Yang Mujarab

Seperti yang disampaikan oleh Ustazah Yoyoh Yusroh kepada Purwanti dan Yenni Siswanti dari Tarbawi.  

Surat Dari Muslimah Palestina

Di samping ini adalah surat dari Muslimah Palestina yang ditujukan kepada Muslimah Indonesia. Berikut penggalannya:

“... Dari bumi Palestina, medan ribath ini, kami mengirimkan surat persaudaraan dari lubuk hati yang dipenuhi cinta kepada saudari-saudari kami di Indonesia. Melalui surat ini, kami haturkan terima kasih kepada semuanya atas sikap dan dukungan mereka untuk anak-anak bangsa Palestina kami. Itulah sebabnya, saya membisikkan ke telinga saudara-saudara kami tercinta, kaum Muslimin di manapun berada; kalian harus terus mempelajari dan menghafalkan Al Qur’an, serta berpegang teguh dengan ajaran-ajaran Islam. Sebab sesungguhnya siapapun yang menginginkan kemuliaan dengan Islam, niscaya Allah akan memuliakannya, ...”



 Majalah Tarbawi, Edisi 233 Th 12, Sya’ban 1431 H, 29 Juli 2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar