Komunikasi Rasa Takut
Oleh Edi Santoso
(Hal-36) Ketakutan
bisa menjadi alat komunikasi yang efektif. Karena, dalam diri setiap orang pada
dasarnya terdapat motivasi perlindungan diri (protection motivation).
Orang akan cenderung menghindari apa pun yang membahayakan dirinya. Setidaknya
demikian pendapat beberapa pakar komunikasi, seperti Stainback dan Rogers
(1983) dalam riset panjangnya tentang komunikasi persuasif melalui sentimen
rasa takut.
Kita semua bahkan bisa merasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering melarang orang lain melakukan sesuatu dengan menakut-nakutinya. Paling efektif untuk anak-anak yang memang daya nalarnya belum tumbuh benar. Lucunya, yang dirujuk sebagai sumber rasa takut seringkali sekenanya. Ada anak menangis, ditakuti suara tokek. Suatu waktu, begitu ada suara tokek, anak pun menjadi takut, dan orang tuanya berujar,”sama tokek aja takut.” Nah, loh. Kasihan polisi nantinya, jika ada anak menangis, ibunya langsung berujar,”Eh, diam ada Pak Polisi, tuh!”
Mengajarkan tata prilaku dengan sentimen rasa takut mungkin efektif, tetapi juga sering bias. Perilaku terbangun, tapi keyakinan yang salah juga datang. Mempersuasi orang lain dengan rasa takut mungkin efektif, namun juga merisaukan (Hal-37) jika disalahgunakan untuk kepentingan sesaat. Seperti beberapa sekolah negeri yang memainkan kekhawatiran para orangtua siswa. Siapa orang tua yang tidak ingin anaknya masuk sekolah unggulan.
Soal biaya, termasuk jika harus berhutang
sekalipun. Itulah yang terjadi. Beberapa sekolah menyodorkan form sumbangan
dari orang tua, sebelum siswa baru diumumkan. Karena ‘takut’ anaknya tak
diterima, mereka berlomba besar-besaran memberikan ‘sumbangan’. Jelaslah, siapa
yang tersenyum kecut karena khawatir dan takut.
Menarik perhatian dengan rasa takut mungkin berhasil, tetapi
acap kali meresahkan. Aksi-aksi teror, dengan segala bentuknya, mendapat
perhatian luas, menjadi perbincangan serius semua pihak, dari rakyat jelata
hingga pengambil kebijakan. Tapi harus banyak korban yang berjatuhan, termasuk
mereka yang mungkin tidak bersalah. Tak hanya korban luka-luka dan nyawa yang
melayang, citra sebuah komunitas juga dipertaruhkan.
Baca Juga: Terus Terang Tak Selalu Terang Terus
Komunikasi rasa takut bahkan telah menjadi kewajaran
dalam dunia politik. Banyak kebijakan pemerintah yang dikomunikasikan dengan
ancaman. Stabilitas dibangun diatas rasa cemas dan khawatir warga. Begitulah tipikal
negara otoriter, lebih banyak memberikan pembatasan dan penekanan, ketimbang
apresiasi dan kebebasan bagi warganya. Ironisnya, jika strategi rasa takut ini
masih menjadi kebijakan utama negara modern, seperti Israel yang tak pernah
berhenti menebar teror, termasuk membuat penjara raksasa yang membelenggu
sekitar 1,5 juta jiwa warga Gaza.
Rasa takut adalah fitrah manusia, begitu juga kehendak
untuk mempersuasi orang lain. Persoalannya, bagaimana kita mendudukkan itu
dalam batas kewajaran, keyakinan dan kemanusiaan. Agama sendiri menggunakan
ancaman untuk mempersuasi manusia agar tetap di jalan kebenaran. Neraka
misalnya, dengan segala kengerian di dalamnya, menjadi ancaman bagi mereka yang
melanggar ketentuan.
Hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah ‘sumber
ketakutannya’ : rasional atau ilusif. Beberapa kampanye sosial, misalnya
seputar pencegahan penyakit, anti alkohol dan narkoba, terbukti efektif melalui
strategi simulasi rasa takut yang rasional. Karena memang, dampak negatif
alkohol, AIDS, atau buah terjerat narkoba adalah nyata. Rogers yang melakukan
riset tentang ini menyimpulkan, pesan kampanye jauh lebih efektif pada khalayak
yang mengalami rasa takut lebih tinggi.
Kemudian bagaimana komunikasinya sendiri dilakukan. Jika sebatas ancaman saja mungkin bisa dimengerti, tapi jika sudah menggunakan kekerasan langsung, pasti sulit dipahami. Komunikasi dengan kekerasan, terbukti hanya akan menimbulkan antipati. Kekerasan akan berbalas kekerasan. Petugas ketertiban yang lekat dengan pentungan tak selalu efektif ketika menggertak, apalagi jika nanti mereka dibekali senjata api.***
Majalah Tarbawi, Edisi 233 Th 12, Sya’ban
1431 H, 29 Juli 2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar