Sabtu, 24 Agustus 2024

Komunikasi Rasa Takut

 

Komunikasi Rasa Takut

Oleh Edi Santoso

Komunikasi Rasa Takut
Komunikasi Rasa Takut


(Hal-36) Ketakutan bisa menjadi alat komunikasi yang efektif. Karena, dalam diri setiap orang pada dasarnya terdapat motivasi perlindungan diri (protection motivation). Orang akan cenderung menghindari apa pun yang membahayakan dirinya. Setidaknya demikian pendapat beberapa pakar komunikasi, seperti Stainback dan Rogers (1983) dalam riset panjangnya tentang komunikasi persuasif melalui sentimen rasa takut.

Kita semua bahkan bisa merasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering melarang orang lain melakukan sesuatu dengan menakut-nakutinya. Paling efektif untuk anak-anak yang memang daya nalarnya belum tumbuh benar. Lucunya, yang dirujuk sebagai sumber rasa takut seringkali sekenanya. Ada anak menangis, ditakuti suara tokek. Suatu waktu, begitu ada suara tokek, anak pun menjadi takut, dan orang tuanya berujar,”sama tokek aja takut.” Nah, loh. Kasihan polisi nantinya, jika ada anak menangis, ibunya langsung berujar,”Eh, diam ada Pak Polisi, tuh!”

Mengajarkan tata prilaku dengan sentimen rasa takut mungkin efektif, tetapi juga sering bias. Perilaku terbangun, tapi keyakinan yang salah juga datang. Mempersuasi orang lain dengan rasa takut mungkin efektif, namun juga merisaukan (Hal-37) jika disalahgunakan untuk kepentingan sesaat. Seperti beberapa sekolah negeri yang memainkan kekhawatiran para orangtua siswa. Siapa orang tua yang tidak ingin anaknya masuk sekolah unggulan. 

Soal biaya, termasuk jika harus berhutang sekalipun. Itulah yang terjadi. Beberapa sekolah menyodorkan form sumbangan dari orang tua, sebelum siswa baru diumumkan. Karena ‘takut’ anaknya tak diterima, mereka berlomba besar-besaran memberikan ‘sumbangan’. Jelaslah, siapa yang tersenyum kecut karena khawatir dan takut.

Menarik perhatian dengan rasa takut mungkin berhasil, tetapi acap kali meresahkan. Aksi-aksi teror, dengan segala bentuknya, mendapat perhatian luas, menjadi perbincangan serius semua pihak, dari rakyat jelata hingga pengambil kebijakan. Tapi harus banyak korban yang berjatuhan, termasuk mereka yang mungkin tidak bersalah. Tak hanya korban luka-luka dan nyawa yang melayang, citra sebuah komunitas juga dipertaruhkan.

Baca Juga: Terus Terang Tak Selalu Terang Terus

Komunikasi rasa takut bahkan telah menjadi kewajaran dalam dunia politik. Banyak kebijakan pemerintah yang dikomunikasikan dengan ancaman. Stabilitas dibangun diatas rasa cemas dan khawatir warga. Begitulah tipikal negara otoriter, lebih banyak memberikan pembatasan dan penekanan, ketimbang apresiasi dan kebebasan bagi warganya. Ironisnya, jika strategi rasa takut ini masih menjadi kebijakan utama negara modern, seperti Israel yang tak pernah berhenti menebar teror, termasuk membuat penjara raksasa yang membelenggu sekitar 1,5 juta jiwa warga Gaza.

Rasa takut adalah fitrah manusia, begitu juga kehendak untuk mempersuasi orang lain. Persoalannya, bagaimana kita mendudukkan itu dalam batas kewajaran, keyakinan dan kemanusiaan. Agama sendiri menggunakan ancaman untuk mempersuasi manusia agar tetap di jalan kebenaran. Neraka misalnya, dengan segala kengerian di dalamnya, menjadi ancaman bagi mereka yang melanggar ketentuan.

Hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah ‘sumber ketakutannya’ : rasional atau ilusif. Beberapa kampanye sosial, misalnya seputar pencegahan penyakit, anti alkohol dan narkoba, terbukti efektif melalui strategi simulasi rasa takut yang rasional. Karena memang, dampak negatif alkohol, AIDS, atau buah terjerat narkoba adalah nyata. Rogers yang melakukan riset tentang ini menyimpulkan, pesan kampanye jauh lebih efektif pada khalayak yang mengalami rasa takut lebih tinggi.

Kemudian bagaimana komunikasinya sendiri dilakukan. Jika sebatas ancaman saja mungkin bisa dimengerti, tapi jika sudah menggunakan kekerasan langsung, pasti sulit dipahami. Komunikasi dengan kekerasan, terbukti hanya akan menimbulkan antipati. Kekerasan akan berbalas kekerasan. Petugas ketertiban yang lekat dengan pentungan tak selalu efektif ketika menggertak, apalagi jika nanti mereka dibekali senjata api.***


 Majalah Tarbawi, Edisi 233 Th 12, Sya’ban 1431 H, 29 Juli 2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar