Sabtu, 24 Agustus 2024

Terbelenggu

 

Terbelenggu 

Oleh Hepi Andi Bastoni

Terbelenggu
Terbelenggu 

Seorang petani tak seganja menemukan seekor anak gajah dekat rumahnya. Mungkin anak gajah itu tertinggal dari kumpulan teman-temannya. Lantaran iba, sang petani merawat anak gajah itu. Karena khawatir hewan itu akan berkeliaran dan merusak tanaman, si petani mengikatnya dengan rantai yang dipatok pada sepotong bambu.

Hari pn berlalu. Anak gajah itu mulai tumbuh. Sudah jadi naluri binatang untuk bebas. Si anak gajahpun berusaha melepaskan diri dari belenggu rantai. Berulang kali ia mencoba, berulangkali juga gagal. Bahkan, ia pernah memberontak sampai kakinya terluka. Lama kelamaan, niat anak gajah untuk bebas itu melemah. Bahkan lama kelamaan hilang.

Ketika binatang itu dewasa, gadingnya pun tumbuh dengan kokoh. Dan, gajah itu pun tetap tidak melarikan diri. Padahal, sangat mudah baginya menghentak rantai kecil dari patok bambu itu. Ketika si petani melepaskan ikatannya, gajah itu bahkan tak melarikan diri. Keinginannya untuk memberontak dan kabur, hilang sudah.

Ini kisah seekor binatang yang dilanda kegagalan demi kegagalan, akhirnya membuat asanya pupus. Puncaknya, ia justru menikmati kegagalan dan tak pernah berusaha lagi memberontak. Ia ‘keenakan’ dalam belenggu. Saat ada kesempatan datang untuk melarikan diri, ia justru diam.

Kita memang bukan anak gajah itu. Tapi perilaku kita sering seperti binatang itu: terbuai dalam belenggu! Kita kerap tak menyadari, punya potensi lebih dari sekadar yang kita keluarkan. Namun karena terlalu lama dalam buaian kondisi, potensi itu tak sempat dikembangkan.

Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Betapa banyak dari kita yang begitu betah menjadi karyawan misalnya, tanpa pernahmau berpikir untuk sejenak melongok keluar jendela, melihat rekan-rekan yang lebih dulu berhasil mengembangkan potensinya. Kita dibuat ‘betah bertahan’ dan dininabobokan oleh secuil gaji yang jika dibandingkan dengan kemampuan kita, jauh tak berimbang.

Ini mental yang ditanamkan penjajah yang telah mematikan sebagian hasrat generasi kita. Ia telah membunuh kemauan kita untuk memaksimalkan potensi. Kita lebih memilih diam dan tak berani keluar dari ikatan meski belenggu itu sudah terbuka. Akibatnya, negeri kaya ini dinikmati orang-orang asing. Kita pun terbuai dalam lumpur kemelaratan. ***


Majalah Sabiliku Bangkit Edisi 5/TH 01/Rabiul Akhir – Jumadil Awal  H/ Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar