Terbelenggu
Oleh Hepi
Andi Bastoni
Seorang
petani tak seganja menemukan seekor anak gajah dekat rumahnya. Mungkin anak
gajah itu tertinggal dari kumpulan teman-temannya. Lantaran iba, sang petani
merawat anak gajah itu. Karena khawatir hewan itu akan berkeliaran dan merusak
tanaman, si petani mengikatnya dengan rantai yang dipatok pada sepotong bambu.
Hari pn berlalu. Anak gajah itu mulai tumbuh. Sudah jadi naluri binatang untuk bebas. Si anak gajahpun berusaha melepaskan diri dari belenggu rantai. Berulang kali ia mencoba, berulangkali juga gagal. Bahkan, ia pernah memberontak sampai kakinya terluka. Lama kelamaan, niat anak gajah untuk bebas itu melemah. Bahkan lama kelamaan hilang.
Ketika
binatang itu dewasa, gadingnya pun tumbuh dengan kokoh. Dan, gajah itu pun
tetap tidak melarikan diri. Padahal, sangat mudah baginya menghentak rantai
kecil dari patok bambu itu. Ketika si petani melepaskan ikatannya, gajah itu
bahkan tak melarikan diri. Keinginannya untuk memberontak dan kabur, hilang
sudah.
Ini
kisah seekor binatang yang dilanda kegagalan demi kegagalan, akhirnya membuat
asanya pupus. Puncaknya, ia justru menikmati kegagalan dan tak pernah berusaha
lagi memberontak. Ia ‘keenakan’ dalam belenggu. Saat ada kesempatan datang
untuk melarikan diri, ia justru diam.
Kita
memang bukan anak gajah itu. Tapi perilaku kita sering seperti binatang itu:
terbuai dalam belenggu! Kita kerap tak menyadari, punya potensi lebih dari
sekadar yang kita keluarkan. Namun karena terlalu lama dalam buaian kondisi,
potensi itu tak sempat dikembangkan.
Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Betapa
banyak dari kita yang begitu betah menjadi karyawan misalnya, tanpa pernahmau
berpikir untuk sejenak melongok keluar jendela, melihat rekan-rekan yang lebih
dulu berhasil mengembangkan potensinya. Kita dibuat ‘betah bertahan’ dan
dininabobokan oleh secuil gaji yang jika dibandingkan dengan kemampuan kita,
jauh tak berimbang.
Ini mental yang ditanamkan penjajah yang telah mematikan sebagian hasrat generasi kita. Ia telah membunuh kemauan kita untuk memaksimalkan potensi. Kita lebih memilih diam dan tak berani keluar dari ikatan meski belenggu itu sudah terbuka. Akibatnya, negeri kaya ini dinikmati orang-orang asing. Kita pun terbuai dalam lumpur kemelaratan. ***
Majalah Sabiliku
Bangkit Edisi 5/TH 01/Rabiul Akhir – Jumadil Awal H/ Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar