Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf
Oleh Ahmad Zairofi AM dan Purwanti
Meminta
Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf
(Hal-12) Bagi Perempuan ini, bertutur tentang
pengalaman I’tikaf membelah lagi segala perasaan hatinya. Betapa tidak,
permintaannya untuk segera mendapatkan buah hati, terasa terkabul melalui
I’tikaf. Tapi Bersama itu ada duka sangat mendalam: suaminya tidak sempat
melihat kehadirn anak tercinta yang mereka
rindukan Bersama untuk segera hadir.
Rohimah Fadlah (31), seorang guru Sekolah Menengah Pertama, di Jakarta. Kala itu, belum lama menikah, menanti buah hati, dalam situasi rintisan kebersamaan membangun rumah tangga, rasanya Bahagia tak punya kesudahan kiranya. Sepertinya semua kisah ini baru saja mulai. Dan tiba-tiba begitu cepat harus selesai.
“Saya
menikah pada tahun 2005. Semenjak awal pernikahan, kami berdua tidak punya
keinginan untuk menunda memiliki momongan. Selama 10 bulan pernikahan, ternyata
Allah belum mengamanahkan kepada kami seorang anak. Sampai akhirnya, tibalah
Ramadhan pertama kami berdua menjalani Ramadhan.
Tanpa
terasa, Ramadhan waktu itu akan segera berakhir. Kami berdua pun sepakat untuk
tidak melewatkan malam I’tikaf. Akhirnya kami memutuskan beri’tikaf di salah
satu Masjid di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Selama beri’tikaf, kami jarang
sekali berkomunikasi kecuali untuk keperluan sahur dan berbuka saja. Waktu itu
saya merasakan, saya bisa menjalani I’tikaf dengan sanga khsusu’. Dalam setiap
doa, saya meminta kepada Allah agar saya diberi momongan. Saya dan suami begitu
merindukan tawa riuh (Hal-14) anak-anak
di rumah kami. Saya dan suami kebetulan bekerja sebagai pengajar di Sekolah
Islam Terpadu. Entah apa yang dipinta oleh suami saya saat I’tikaf, mungkin
juga hal yang sama seperti yang saya pinta. Selain itu, saya selalu minta
kepada Allah agar diberikan kecukupan dalam segala hal. Makanya saya berdoa,”Allahumma
inni as’alukal huda, watuqa, al’afafa wal ghina.”
Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi
Tetapi Allah
selalu berkuasa atas kehendak-Nya. Titah-Nya terlakukan. Pasti. Sebagiannya
kita rasakan tanda-tanda takdirnya. Kita duga. Kita cium aromanya. Tapi lebih
dan lebih banyaknya adalah area yang sangat gelap. Bahkan apa yang esok akan
terjadi pun, kita tak pernah tahu. Hidup selamanya punya lebih banyak
rahasianya. Seperti yang tidak pernah dibayangkan Rohimah, perjalanannya pagi
itu Bersama suami tercinta adalah jalan perpisahannya. Selamanya.
Kepada
Tarbawi, ia mencoba menghadirkan Kembali saat-saat menyedihkan itu. “Hingga
pada tiga hari sebelum Idul fitri, saya harus ke rumah Ibu Mertua saya untuk
satu keperluan. Jadi, setelah shalat Subuh saya dan suami berboncengan
mengendarai sepeda motor pulang ke rumah Ibu Mertua. Dengan kecepatan sekitar
40Km/jam saya dan suami sempat membicarakan mengenai bisnis yang akan
dijalankan suami.
Tiba-tiba
saya terjatuh ke bagian kiri jalan dan masuk ke dalam saluran got bersama suami
saya dan motor yang dikendarainya. Saya sempat pingsan entah berapa lama. Hanya
saja yang pasti, saya sudah mendapati diri saya berada di rumah sakit dalam
keadaan penyangga yang sudah terpasang di leher. Sakit sekali. Saya sempat
menanyakan keadaan suami saya, tapi jawaban dari beberapa teman masih simpang
siur. Sampai akhirnya saya mendapat jawaban penyebab kecelakaan ini.
Subuh itu
usai i’tikaf, saya hendak pulang ke rumah Ibu Mertua. Ada seorang saksi mata
melihat, motor suami saya ditendang oleh pengendara motor lain yang ugal-ugalan
sampai akhirnya saya terpelanting dengan kondisi rahang saya bergeser ke kiri. Tapi
ada juga yang mengatakan kalau suami saya dalam keadaan mengantuk ketika
berkendara. Dia membawa saya ke rumah sakit dengan menggunakan taksi. Suami
sempat menghubungi kakak saya yang bekerja di rumah sakit itu. Setelah saya
dirawat, baru diketahui bahwa (Hal-15)
kondisi suami saya pun juga sangat parah. Ginjal kirinya hancur dan kaki
kirinya remuk. Saya langsung dioperasi terlebih dahulu, sehingga ketika
tersadar saya sudah mendapati leher saya diberi penyangga. Setelah dioperasi,
saya langsung dibawa ke rumah untuk perawatan, setelah pulang, saya masih
sempat mengajar. Hanya saja tidak dapat berbicara banyak karena sakit jika
berbicara. Jadi selama mengajar saya menulis saja di papan tulis, lalu
anak-anak mencatat. Selama itu suami masih di rumah sakit.
Pada hari
kesepuluh, saya mendapat kabar dari dokter ternyata saya sudah hamil empat
minggu. Saya sangat bersyukur, Allah mengijabah doa saya dan suami. Ingin
rasanya saya memberitahukan ini kepada suami saya, tapi rasanya tidak mungkin
karena suami saya masih koma pasca operasi. Banyak keluarga dan teman-teman
menguatkan saya atas kejadian ini, mereka selalu mengingatkan saya untuk selalu
pasrah dan sabar menghadapi ini semua. Bersyukur saya memiliki mereka yang
dapat menguatkan dikala saya berduka.
Selama 16
hari suami saya dirawat dalam keadaan koma, akhirnya Allah memanggilnya. Saya
belum sempat memberi kabar gembira mengenai kehamilan saya. Dunia seakan
runtuh, saya benar-benar shock dan hampir saja pingsan. Beruntung saya
segera diingatkan oleh keluarga dan teman-teman saya agar dapat menerima semua
keputusan Allah, seberat dan sepahit apapun pasti ini jalan yang terbaik.
Setelah
kepergian suami, terbayang dalam benak saya masa-masa 10 bulan sebelumnya. Saya
jadi ingat, suami melamar saya pada malam Nulull Qur’an. Sampai sekarang saya
tidak tahu alasan mengapa dia memilih malam itu untuk melamar saya. Kadang jika
merindukannya, saya menangis.
Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat
Allah
memberi apa yang saya dan suami minta, tapi Allah juga punya hak mengambil
sesuatu yang juga milik-Nya. Saya sadar, tidak seharusnya saya berlarut-larut
dalam kesedihan dan kedukaan. Sekarang saya harus lakukan adalah berjuang
membesarkan anak yang dikaruniakan Allah kepada saya. Mungkin ini adalah bentuk
jihad saya, meneruskan amanah yang sudah Allah berikan.”
Rohimah, kini berusaha ,membahagiakan anaknya. Laki-laki. Usianya sudah dua tahun. Menurutnya, ia sangat mirip dengan almarhum ayahnya. ***
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar