Kamis, 15 Agustus 2024

Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf

 

Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf 

Oleh Ahmad Zairofi AM dan Purwanti 

Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf
Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf

   

(Hal-12)  Bagi Perempuan ini, bertutur tentang pengalaman I’tikaf membelah lagi segala perasaan hatinya. Betapa tidak, permintaannya untuk segera mendapatkan buah hati, terasa terkabul melalui I’tikaf. Tapi Bersama itu ada duka sangat mendalam: suaminya tidak sempat melihat kehadirn anak tercinta yang mereka  rindukan Bersama untuk segera hadir.

Rohimah Fadlah (31), seorang guru Sekolah Menengah Pertama, di Jakarta. Kala itu, belum lama menikah, menanti buah hati, dalam situasi rintisan kebersamaan membangun rumah tangga, rasanya Bahagia tak punya kesudahan kiranya. Sepertinya semua kisah ini baru saja mulai. Dan tiba-tiba begitu cepat harus selesai.

“Saya menikah pada tahun 2005. Semenjak awal pernikahan, kami berdua tidak punya keinginan untuk menunda memiliki momongan. Selama 10 bulan pernikahan, ternyata Allah belum mengamanahkan kepada kami seorang anak. Sampai akhirnya, tibalah Ramadhan pertama kami berdua menjalani Ramadhan.

Tanpa terasa, Ramadhan waktu itu akan segera berakhir. Kami berdua pun sepakat untuk tidak melewatkan malam I’tikaf. Akhirnya kami memutuskan beri’tikaf di salah satu Masjid di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Selama beri’tikaf, kami jarang sekali berkomunikasi kecuali untuk keperluan sahur dan berbuka saja. Waktu itu saya merasakan, saya bisa menjalani I’tikaf dengan sanga khsusu’. Dalam setiap doa, saya meminta kepada Allah agar saya diberi momongan. Saya dan suami begitu merindukan tawa riuh (Hal-14) anak-anak di rumah kami. Saya dan suami kebetulan bekerja sebagai pengajar di Sekolah Islam Terpadu. Entah apa yang dipinta oleh suami saya saat I’tikaf, mungkin juga hal yang sama seperti yang saya pinta. Selain itu, saya selalu minta kepada Allah agar diberikan kecukupan dalam segala hal. Makanya saya berdoa,”Allahumma inni as’alukal huda, watuqa, al’afafa wal ghina.”

Baca Juga: Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Tetapi Allah selalu berkuasa atas kehendak-Nya. Titah-Nya terlakukan. Pasti. Sebagiannya kita rasakan tanda-tanda takdirnya. Kita duga. Kita cium aromanya. Tapi lebih dan lebih banyaknya adalah area yang sangat gelap. Bahkan apa yang esok akan terjadi pun, kita tak pernah tahu. Hidup selamanya punya lebih banyak rahasianya. Seperti yang tidak pernah dibayangkan Rohimah, perjalanannya pagi itu Bersama suami tercinta adalah jalan perpisahannya. Selamanya.

Kepada Tarbawi, ia mencoba menghadirkan Kembali saat-saat menyedihkan itu. “Hingga pada tiga hari sebelum Idul fitri, saya harus ke rumah Ibu Mertua saya untuk satu keperluan. Jadi, setelah shalat Subuh saya dan suami berboncengan mengendarai sepeda motor pulang ke rumah Ibu Mertua. Dengan kecepatan sekitar 40Km/jam saya dan suami sempat membicarakan mengenai bisnis yang akan dijalankan suami.

Tiba-tiba saya terjatuh ke bagian kiri jalan dan masuk ke dalam saluran got bersama suami saya dan motor yang dikendarainya. Saya sempat pingsan entah berapa lama. Hanya saja yang pasti, saya sudah mendapati diri saya berada di rumah sakit dalam keadaan penyangga yang sudah terpasang di leher. Sakit sekali. Saya sempat menanyakan keadaan suami saya, tapi jawaban dari beberapa teman masih simpang siur. Sampai akhirnya saya mendapat jawaban penyebab kecelakaan ini.

Subuh itu usai i’tikaf, saya hendak pulang ke rumah Ibu Mertua. Ada seorang saksi mata melihat, motor suami saya ditendang oleh pengendara motor lain yang ugal-ugalan sampai akhirnya saya terpelanting dengan kondisi rahang saya bergeser ke kiri. Tapi ada juga yang mengatakan kalau suami saya dalam keadaan mengantuk ketika berkendara. Dia membawa saya ke rumah sakit dengan menggunakan taksi. Suami sempat menghubungi kakak saya yang bekerja di rumah sakit itu. Setelah saya dirawat, baru diketahui bahwa (Hal-15) kondisi suami saya pun juga sangat parah. Ginjal kirinya hancur dan kaki kirinya remuk. Saya langsung dioperasi terlebih dahulu, sehingga ketika tersadar saya sudah mendapati leher saya diberi penyangga. Setelah dioperasi, saya langsung dibawa ke rumah untuk perawatan, setelah pulang, saya masih sempat mengajar. Hanya saja tidak dapat berbicara banyak karena sakit jika berbicara. Jadi selama mengajar saya menulis saja di papan tulis, lalu anak-anak mencatat. Selama itu suami masih di rumah sakit.

Pada hari kesepuluh, saya mendapat kabar dari dokter ternyata saya sudah hamil empat minggu. Saya sangat bersyukur, Allah mengijabah doa saya dan suami. Ingin rasanya saya memberitahukan ini kepada suami saya, tapi rasanya tidak mungkin karena suami saya masih koma pasca operasi. Banyak keluarga dan teman-teman menguatkan saya atas kejadian ini, mereka selalu mengingatkan saya untuk selalu pasrah dan sabar menghadapi ini semua. Bersyukur saya memiliki mereka yang dapat menguatkan dikala saya berduka.

Selama 16 hari suami saya dirawat dalam keadaan koma, akhirnya Allah memanggilnya. Saya belum sempat memberi kabar gembira mengenai kehamilan saya. Dunia seakan runtuh, saya benar-benar shock dan hampir saja pingsan. Beruntung saya segera diingatkan oleh keluarga dan teman-teman saya agar dapat menerima semua keputusan Allah, seberat dan sepahit apapun pasti ini jalan yang terbaik.

Setelah kepergian suami, terbayang dalam benak saya masa-masa 10 bulan sebelumnya. Saya jadi ingat, suami melamar saya pada malam Nulull Qur’an. Sampai sekarang saya tidak tahu alasan mengapa dia memilih malam itu untuk melamar saya. Kadang jika merindukannya, saya menangis.

Baca Juga:   Saling Mengingatkan tentang Niat

Allah memberi apa yang saya dan suami minta, tapi Allah juga punya hak mengambil sesuatu yang juga milik-Nya. Saya sadar, tidak seharusnya saya berlarut-larut dalam kesedihan dan kedukaan. Sekarang saya harus lakukan adalah berjuang membesarkan anak yang dikaruniakan Allah kepada saya. Mungkin ini adalah bentuk jihad saya, meneruskan amanah yang sudah Allah berikan.”

Rohimah, kini berusaha ,membahagiakan anaknya. Laki-laki. Usianya sudah dua tahun. Menurutnya, ia sangat mirip dengan almarhum ayahnya. ***


Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430  H, 8 Oktober 2009  M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar