Teknologi Semestinya Mendekatkan
Oleh Edi
Santoso
Teknologi Semestinya Mendekatkan |
(Hal-44) Teknologi
mempermudah, tetapi kadang juga membuat susah. Teknologi komunikasi bisa
menghilangkan batas, tetapi sering juga membuat jarak. Teknologi seluler
misalnya, jelas bisa mendekatkan banyak orang. Dengan segala fiturnya, telpon
seluler menghubungkan orang secara lintas kota, pulau, bahkan lintas negara. Tetapi
kadang juga menjauhkan. Lihatlah saat lebaran, orang cukup mengirimkan SMS
permintaan maaf sebagai pengganti silaturahmi. Padahal mereka dalam satu
kampung. “kosong-kosong ya, hehe...,” begitu saja salam silaturahmi mereka.
Teknologi memang membentuk peradaban. Setidaknya itu pendapat McLuhan mewakili paham determinisme teknologi. Sampai cara berpikir orang juga dibentuk oleh teknologi. Dulu di era mesin ketik misalnya, orang tak punya banyak pilihan dalam merevisi tulisan. Terlalu rumit dan merepotkan. Di masa itu, orang dituntut untuk berpikir linier, runtut, sistematis, dan rapi. Di masa komputer, semua berubah. Orang bisa melakukan copy paste dengan mudah. Jadilah orang cenderung berpikir zig zag, instant, dan acak.
Teknologi
komunikasi sedikit banyak telah menggerus akal budi, mendangkalkan cita rasa.
Ruang-ruang narasi jiwa tergantikan oleh layar digital yang memaksakan
efisiensi. Nampaknya semakin jarang orang menulis surat untuk berkirim kabar. Tak
ada lagi puisi keluh kesah atau cerita panjang tentang sepenggal kisah hidup
dalam beberapa lembar kertas. Seorang anak pun merasa cukup sopan, ketika
menuliskan pesan pendek, “Pak uang sdh hbs, mhn sgra dikrm. Tq!” pada bapaknya.
Kekuatan
bahasa pun tunduk pada kuasa teknologi. Nilai-nilai moral, ajaran sopan santun,
dan juga kebajikan hidup yang melekat pada bahasa tenggelam dalam logika
efisiensi ala teknologi. Kaidah bahasa kembali pada karakteristik dasarnya,
sekadar simbol interaksi yang bisa dipahami bersama. Bahasa hadir tanpa nilai.
Bahasa sekadar medium fungsional untuk berkomunikasi. Ini agak merisaukan,
karena seperti dikatakan pakar linguistik Edward Sapir dan Benjamin Whorf,
bahasa akan membentuk dan mempengaruhi cara berpikir para penuturnya.
Bahasa
semakin kering makna dalam sebuah rumah tangga. Akibatnya, seorang anak semakin
kehilangan rasa hormatnya pada orang tua. Orang tua mulai sulit menemukan kosa
kata kasih sayang untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Seorang istri atau
suami kian lemah mengartikulasikan jiwa romantismenya.
Kondisi itu
semakin diperparah dengan ilusi kedekatan yang ditawarkan berbagai situs
jejaring sosial di internet. Memang, internet telah menisbikan ruang dan waktu.
Teknologi ini membantu (Hal-45) kita
‘bertemu’ dengan banyak orang, termasuk saudara dan teman-teman lama kita. Kita
punya ribuan teman, seolah kita sungguh-sungguh menjadi warga digital nan
modern. Ini semacam mega silaturahmi. Kita merasa dekat dengan mereka, meski
sejatinya tidak. Semakin susah membedakan, mana yang nyata dan mana yang semu belaka.
Banyak
konteks yang hilang dari silaturahmi maya. Kita bisa melihat atau mendengar
teman virtual, tetapi pasti tak bisa merasakan kondisi dia yang sesungguhnya.
Apakah dia seceria foto yang diposting? Serasional ungakapan-ungkapan dalam
status online-nya? Terlalu banyak pesan nonverbal yang hilang dari jangkauan
kita sebagai seorang teman.
Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat
Dalam
nasihat klasik tentang ukhuwah, jika masuk ke rumah salah seorang teman,
masuklah ke kamar mandi. Lihatlah perlengkapan mandinya. Apakah sabunnya masih
utuh, tinggal separuh, atau bahkan tinggal sebesar ibu jari. Perkakas mandi
bisa menjadi representasi kondisi ekonomi seseorang. Banyak dari saudara kita
yang sangat menjaga martabat dan kehormatannya (iffah), sehingga tak
pernah berkeluh kesah. Silaturahmi virtual tak akan mampu menjelaskan kondisi
teman kita yang sesungguhnya.
Kehangatan
tatap muka tak akan tergantikan. Bertemu, bercakap, berjabat tangan secara
langsung, pastilah wujud silaturahmi yang paling indah. Teknologi mungkin akan
membantu, tetapi tidak menggantikan.
Di sinilah
kita perlu merubah cara pandang, dari perspektif ‘diskuasi’ atau dipengaruhi
teknologi (technological determinism) dan menjadi mengkonstruksi
pemanfaatan teknologi (Social construction of technology).
Memang,
ketemu pertemuan fisik tak memungkinkan, setidaknya perjumpaan di udara atau di
alam maya bisa menjadi solusi. Biar teknologi melakukan fungsinya sebagai the
extention of men, kata McLuhan.
Teknologi bisa menjadi perpanjangan indera kita. Tetapi, semoga kita tak
berpikir teknologi akan mengganti pertemuan langsung sebuah silaturahmi.
Baca Juga: Karena Syaitan itu Musuh
“Maukah
kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan
shaum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja” Rasulullah pun kemudian
menjelaskan,”Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang
terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani
berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua
itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin
dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, maka hendaklah ia menyambungkan
tali persaudaraan.”
(HR. Bukhari-Muslim).
Edi santoso, Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil tesis tentang Jurnalisme Kontemplasi dalam mengulas tema kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar