Sabtu, 17 Agustus 2024

Teknologi Semestinya Mendekatkan

 

Teknologi Semestinya Mendekatkan 

Oleh Edi Santoso

Teknologi Semestinya Mendekatkan
Teknologi Semestinya Mendekatkan


(Hal-44) Teknologi mempermudah, tetapi kadang juga membuat susah. Teknologi komunikasi bisa menghilangkan batas, tetapi sering juga membuat jarak. Teknologi seluler misalnya, jelas bisa mendekatkan banyak orang. Dengan segala fiturnya, telpon seluler menghubungkan orang secara lintas kota, pulau, bahkan lintas negara. Tetapi kadang juga menjauhkan. Lihatlah saat lebaran, orang cukup mengirimkan SMS permintaan maaf sebagai pengganti silaturahmi. Padahal mereka dalam satu kampung. “kosong-kosong ya, hehe...,” begitu saja salam silaturahmi mereka.

Teknologi memang membentuk peradaban. Setidaknya itu pendapat McLuhan mewakili paham determinisme teknologi. Sampai cara berpikir orang juga dibentuk oleh teknologi. Dulu di era mesin ketik misalnya, orang tak punya banyak pilihan dalam merevisi tulisan. Terlalu rumit dan merepotkan. Di masa itu, orang dituntut untuk berpikir linier, runtut, sistematis, dan rapi. Di masa komputer, semua berubah. Orang bisa melakukan copy paste dengan mudah. Jadilah orang cenderung berpikir zig zag, instant, dan acak.

Teknologi komunikasi sedikit banyak telah menggerus akal budi, mendangkalkan cita rasa. Ruang-ruang narasi jiwa tergantikan oleh layar digital yang memaksakan efisiensi. Nampaknya semakin jarang orang menulis surat untuk berkirim kabar. Tak ada lagi puisi keluh kesah atau cerita panjang tentang sepenggal kisah hidup dalam beberapa lembar kertas. Seorang anak pun merasa cukup sopan, ketika menuliskan pesan pendek, “Pak uang sdh hbs, mhn sgra dikrm. Tq!” pada bapaknya.

Kekuatan bahasa pun tunduk pada kuasa teknologi. Nilai-nilai moral, ajaran sopan santun, dan juga kebajikan hidup yang melekat pada bahasa tenggelam dalam logika efisiensi ala teknologi. Kaidah bahasa kembali pada karakteristik dasarnya, sekadar simbol interaksi yang bisa dipahami bersama. Bahasa hadir tanpa nilai. Bahasa sekadar medium fungsional untuk berkomunikasi. Ini agak merisaukan, karena seperti dikatakan pakar linguistik Edward Sapir dan Benjamin Whorf, bahasa akan membentuk dan mempengaruhi cara berpikir para penuturnya.

Bahasa semakin kering makna dalam sebuah rumah tangga. Akibatnya, seorang anak semakin kehilangan rasa hormatnya pada orang tua. Orang tua mulai sulit menemukan kosa kata kasih sayang untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Seorang istri atau suami kian lemah mengartikulasikan jiwa romantismenya.

Kondisi itu semakin diperparah dengan ilusi kedekatan yang ditawarkan berbagai situs jejaring sosial di internet. Memang, internet telah menisbikan ruang dan waktu. Teknologi ini membantu (Hal-45) kita ‘bertemu’ dengan banyak orang, termasuk saudara dan teman-teman lama kita. Kita punya ribuan teman, seolah kita sungguh-sungguh menjadi warga digital nan modern. Ini semacam mega silaturahmi. Kita merasa dekat dengan mereka, meski sejatinya tidak. Semakin susah membedakan, mana yang nyata dan mana yang semu belaka.

Banyak konteks yang hilang dari silaturahmi maya. Kita bisa melihat atau mendengar teman virtual, tetapi pasti tak bisa merasakan kondisi dia yang sesungguhnya. Apakah dia seceria foto yang diposting? Serasional ungakapan-ungkapan dalam status online-nya? Terlalu banyak pesan nonverbal yang hilang dari jangkauan kita sebagai seorang teman.

Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat

Dalam nasihat klasik tentang ukhuwah, jika masuk ke rumah salah seorang teman, masuklah ke kamar mandi. Lihatlah perlengkapan mandinya. Apakah sabunnya masih utuh, tinggal separuh, atau bahkan tinggal sebesar ibu jari. Perkakas mandi bisa menjadi representasi kondisi ekonomi seseorang. Banyak dari saudara kita yang sangat menjaga martabat dan kehormatannya (iffah), sehingga tak pernah berkeluh kesah. Silaturahmi virtual tak akan mampu menjelaskan kondisi teman kita yang sesungguhnya.

Kehangatan tatap muka tak akan tergantikan. Bertemu, bercakap, berjabat tangan secara langsung, pastilah wujud silaturahmi yang paling indah. Teknologi mungkin akan membantu, tetapi tidak menggantikan.

Di sinilah kita perlu merubah cara pandang, dari perspektif ‘diskuasi’ atau dipengaruhi teknologi (technological determinism) dan menjadi mengkonstruksi pemanfaatan teknologi (Social construction of technology).

Memang, ketemu pertemuan fisik tak memungkinkan, setidaknya perjumpaan di udara atau di alam maya bisa menjadi solusi. Biar teknologi melakukan fungsinya sebagai the extention of men,  kata McLuhan. Teknologi bisa menjadi perpanjangan indera kita. Tetapi, semoga kita tak berpikir teknologi akan mengganti pertemuan langsung sebuah silaturahmi.

Baca Juga: Karena Syaitan itu Musuh

“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja” Rasulullah pun kemudian menjelaskan,”Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, maka hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan.”

 (HR. Bukhari-Muslim).

Edi santoso, Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil tesis tentang Jurnalisme Kontemplasi dalam mengulas tema kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.


Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430  H, 8 Oktober 2009  M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar