Ramadhan di Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkotika, Bogor
Oleh Rahmat Ubaidillah
Ramadhan di Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkotika, Bogor |
(Hal-58) Ramadhan terus bergulir. Suasana kekhusu’an
sangat terasa saat Tarbawi menyusuri perkampungan di sekitar Unit Pusat
Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, di Jalan Raya Sukabumi, Bogor. Tadarus
ayat-ayat suci Al Qur’an terdengar jelas dari pengeras suara Masjid. Beberapa
orang laki-laki yang mengenakan sarung dan kopiah, larut dalam tilawah dan
dzikir. Hamparan perkebunan pisang, menyambut kedatangan Tarbawi siang itu. Pusat
rehabilitasi yang dibangun sejak 2005 ini diperkirakan sebagai yang terbesar,
terlengkap dan termodern di Asia Tenggara. Hingga saat ini sudah bisa menampung
500 pasien narkoba dan akan dikembangkan lagi hingga kapasitas 1000 orang.
Di areal sekitar 11 hektare tersebut, terdapat banyak fasilitas, diantaranya rumah sakit, rehabilitasi sosial, labora (Hal-59) torium diagnostik, ruang penyembuhan berbasis keimanan dan sejumlah tempat ibadah. Unit rehabilitasi BNN ini juga menyediakan berbagai fasilitas penunjang seperti: ruang medical akupuntur, poli gigi, poli umum, penyakit dalam, poli neurologi, psikologis (detoksifikasi), konseling, psikiater dan rontgen. Bangunannya seluas 15.712 meter persegi yang diresmikan oleh Wapres Yusuf Kalla ini, terletak diatas lahan berbukit-bukit, di tepi Danau Lido.
Pembangunan Unit
Pusat Terapi dan Rehabilitasi BNN Lido Bogor dilandasi dari komitmen
negara-negara anggota ASEAN dengan deklarasi ASEAN BEBAS NARKOBA TAHUN 2015.
Sebuah issue global, regional yang harus disikapi secara serius untuk
mewujudkannya. Target penyembuhan terapi dan rehabilitasi yang dilakukan di UPT
BNN ini sekitar 1 tahun dengan tahapan fase awal detoksifikasi, body spotche
dan fase depresi. Selain itu, pasien narkotika terapi farmakologis dengan
medis. Rehab sosial, metodenya terapi komuniti (Therapeutic community/ TC
yang diadopsi dari Amerika Serikat). Badan Narkotika Nasional yang langsung
diketuai Kapolri ini adalah LNS dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Siang itu,
beberapa orang nampak sedang duduk. Ada yang sekadar menjenguk anggota
keluarganya yang sedang diterapi. Ada juga yang bersiap-siap akan kembali
pulang ke rumah. Ada rina kebahagiaan di wajah Muhammad Ghozali siang itu.
Ibunda tercinta yang datang dari Bangil, menjemputnya dengan penuh suka cita.
Pemuda berusia 29 tahun ini mengaku sudah mengenal minuman keras sejak kelas 5
SD.
“Ketika
Bapak meninggal, saya kehilangan pegagangan hidup. Saya sendiri mencoba-coba
obat-obatan dan narkoba, dari kakak yang juga seorang pemakai.” Jelasnya.
Baca Juga: AndaiBukan Karena Cinta-Nya Kepadaku
Ketergantungannya
terhadap narkoba semakin parah. Ia bahkan tidak lulus SMP. “ketika ibu tahu
saya seorang pemakai, ia langsung menyuruh saya menjalani
rehabilitasi,”tegasnya lagi. Ghozali pun menjalani terapi demi terapi di
sekitar Surabaya. Namun, ia tetap saja tidak bisa lepas dari ketergantungan. “Kalau
sudah sakaw, sakit sekali. Kalau sudah begitu, harus segera pakai. Uangnya dari
mana saja. Saya sering mencuri barang-barang di rumah atau bahkan menjambret
untuk membeli putaw,” imbunya serius. Ghozali akhirnya merasa lelah dengan
semua perilakunya itu. Dengan (Hal-60) kemauannya
sendiri, ia menjalani terapi dan rehabilitasi di UPT BNN, Bogor. Setelah menjalani
4 bulan terapi, Ghozali dinyatakan semakin pulih. “sebenarnya masih ada jatah 2
bulan lagi di sini. Tetapi karena saya menderita penyakit Liver, keluarga akan
membawa saya berobat medis di Surabaya,” urainya.
Ghozali merasa
berterima kasih kepada BNN, yang telah membantunya. Ia juga merasa semakin PD
menghadapi hidup di masyarakat luas. “Subhanallah, setelah didetoktisasi
secara medis, para residen (sebutan pasien) boleh memilih program terapi
komuniti atau religi. Semoga saya bisa mempertahankan shalat lima waktu
selamanya,” urainya sumringah.
Beberapa residen
lainnya tampak mengantri di poli gigi. Sebagian besar mereka tetap
menjalankan puasa selama menjalani terapi dan rehabilitasi.
Terapi
Religi untuk Penyembuhan Ketergantungan Narkoba
Dzuhur menjelang
tiba. Lantunan shalawat terdengar jelas dari Masjid di lingkungan UPT BNN. Tarbawi
berkunjung ke asrama residen mengikuti program religi. Jumlah mereka 15
orang yang diawasi tiga orang ustadz. Satu per satu para residen bergegas
menuju Masjid. Mereka tampak rapi dengan setelan sarung dan baju koko. Selepas melaksanakan
shalat Dzuhur, mereka larut dalam lautan dzikir yang dipimpin oleh Muslim
Hasibuan. Beberapa residen bahkan berdzikir dengan suara yang cukup
kencang. Mereka sangat khusu’ dan menikmati hidangan dzikir siang itu. “Dzikir
ini sangat efektif untuk pembinaan mental residen,” urai Muslim
Hasibuan.
Ustadz yang
berasal dari Sumatera itu sudah dua tahun bertugas di UPT BNN, Bogor. “Sejak
jam 2 dini hari, mereka kita bangunkan untuk melaksanakan shalat sunnah
seperti, tahajud dan sholat hajat. Selepas sholat wajib kita ajak mereka
mengingat Allah lewat dzikir. Dzikir-dzikir yang kita pakai, sesuai dengan
tuntunan Al Qur’an dan Hadits,” imbuh lelaki yang telaah menetap di Tasik
selama 20 tahun ini. Lebih jauh ia menambahkan bahwa 24 jam penuh mengawasi
para residen. “Dalam satu kamar terdiri dari 3 sampai 5 orang residen,
diawasi oleh seorang Ustadz. Tetapi perlu diingat, bahwa tugas kami hanya
memberikan bimbingan. Apa yang tersembunyi di hati masing-masing residen kami tidak tahu. Bagaimana mereka setelah
pulang dari sini, tergantung niat dan tekad mereka masing-masing,” urainya.
Sementara
itu Sholikun, S.Ag, petugas Pembina Rohani dan Mental, menyatakan, selain program
rutin Dzikir dan Shalat, para residen juga diberikan program problem
solving. Kegiatannya memetakan masalah lewat sharing informasi dalam
suasana kekeluargaan. Dari kegiatan ini, para residen bisa saling curhat
satu sama lain, layaknya sebuah keluarga. Setelah itu mereka saling memberi
dorongan. “selama Ramadhan kegiatannya ditambah dengan Pesantren Ramadhan, yang
diisi oleh para ustadz selepas Sholat Dzuhur. Program terapi religi ini,
diberikan sete (Hal-61) lah para residen
menjalani detoksifikasi,” imbuh ayah satu orang anak ini. Senada dengan itu
Nashruddin, S.Ag yang juga petugas Pembina Rohani dan Mental, menyatakan bahwa
tujua program religi ini untuk mengembalikan alam kesadaran para residen sebagai
makhluk yang punya tugas dan fungsi hidup. “setiap masalah pasti ada solusinya.
Makanya, kita harus kita kembalikan kepaada Yang Maha Perkasa, Allah Swt,”
tegasnya. Ia menambahkan, seorang residen yang telah menjalani
detoksifikasi bisa mengikuti terapi religi, sesuai dengan kemauan sendiri,
saran dari orang tuanya, atau rujukan dari BNN.
Budi (29),
pemuda yang mengantongi gelar sarjana hukum dari sebuah kampus ternama di
Bandung mengaku program terapi religi yang dijalaninya sangat bermanfaat. “lewat
program ini, saya berkeinginan mendekatkan diri kepada Allah secara total. Intinya
kan masalah keimanan. Jika iman kita juat, akan mampu menghadapi godaan
dari lingkungan yang kurang kondusif,” tegasnya di teras Masjid. Budi mengaku
memakai narkoba sejak kelas satu SMA. Awalnya ketika ia melanjutkan sekolah di
Bandung ikut sang kakak. Sementara orangtuanya tetap tinggal di Batam. “Ketika
kost saya merasa bebas. Tak ada pengawasan dari orang tua. Dalam waktu yang
tidak terlalu lama, saya berkenalan dengan pemakai putaw sekaligus menjadi
bandar,” tegasnya.
Baca Juga: Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup
Menjelang kelulusan
SMA, ia pernah ditangkap pihak berwajib. Dari situlah orangtuanya mengetahui bahwa
ia adalah seorang adiksi/pemakai.” Kira-kira 4 kali, saya pernah ditangkap
pihak berwajib. Saya bisa bebas atas jaminan orang tua. Selama 16 tahun menjadi
pemakai, saya banyak menyusahkan orang tua. Untuk membeli barang terlarang itu,
saya pernah menggadaikan 3 buah motor,” imbuhnya.
Sebagai seorang
pengedar Budi harus bolak-balik Bandung-Cianjur setiap hari untuk mendapatkan
barang terlarang itu. Bahkan ia pernah bolak-balik setiap hari Bandung-Jogjakarta
naik kereta, untuk mendapatkan barang yang diinginkannya.
“Saya merasa
capek dengan semua ini. Atas dorongan bapak dan kemauan sendiri, saya menjalani
terapi selama 4 bulan di sini. Saya ingin hidup normal. Saya ingin kembali
bermain dengan para keponakan, yang sempat dilarang oleh ayahnya. Saya berharap,
bisa meninggalkan ini selamanya. Terima kasih BNN, yang telah memberikan semua
ini (Hal-62) secara gratis,” urainya.
Sementara Syaiful
pemuda lajang berusia 37 tahun, mempunyai harapan yang sama dengan Budi.”Saya
ingin berusaha berubah menjadi orang yang baik. Dengan terapi ini, hidup saya
terasa damai. Bisa beribadah secara total. Bisa berpuasa penuh. Ke depan saya
ingin merubah hidup saya agar lebih taat,” ujar pemuda yang telah mengikuti
terapi religi selama 2 bulan ini. Nashruddin, S.Ag yang mendengar harapan itu,
berpesan kepada residen yang nantinya kembali ke rumah, agar mempunyai
tekad yang membaja untuk bisa menghadapi godaan yang datang. “Kalau kita punya
keinginan yang kuat untuk berubah, Insya Allah akan ada jalan,” tegas ustadz
yang ada di Cibitung ini.
Therapeutic Community
(TC), Terapi Komunitas Untuk Rehabilitasi Para Pengguna Narkotika.
Hari semakin
sore. Tarbawi berkunjung ke lokasi terapi komunitas yang jaraknya tidak jauh
dari lokasi terapi religi. Beberapa orang staff nampak sibuk berbincang-bincang
sambil berdiskusi. Pada sebuah lobi yang terbilang mewah, Tarbawi berbincang
dengan Aldi Novrudi, Program Manager Re Entri TC atau terapi komunitas. Menurut
laki-laki yang pernah mengenal obat-obatan sejak kelas empat SD ini, fokusnya
ada dalam empat unsur.
Empat unsur
ini adalah Behavior Management Saving, yang menekankan pada pembangunan
pribadi yang baik. Sehingga mempunyai kepedulian yang tinggi dengan sekitarnya.
Selanjutnya adalah Emotional Psikological
Development. Pembangunan dan pengembangan dalam sisi mengatur emosi.
Mengolah rasa ingin tahu. Meningkatkan gairah dalam hidup, hingga pembentukan
karakter pola pikir serta pengasahan dalam proses pengambilan keputusan.
Ada lagi Spiritual and Intelectual. Yaitu membina hubungan harmonis antara sesama manusia.
Dan hubungan dengan Allah Swt selaku hamba. Residen juga diberikan
pengetahuan lewat berbagai seminar. “Yang terakhir Vocational and Survival
Skill. Berupa Problem Solving Skill, bagaimana memecahkan masalah,
sehingga mereka dapar berperan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Tujuannya
agar hidup menjadi benar. Mengimplementasikan nilai dan norma yang berlaku. Semua
komunitas wajib menjalankan aturan TC ini,” tegasnya.
Baca Juga: Dosa Yang Terus Mengalir
Lebih dari
itu, laki-laki yang juga mantan pemakai narkoba ini menjelaskan tentang lima
pilar yang terdapat dalam TC. Yang pertama Family Milieu Concept. Konsep
kekeluargaan semua residen sejajar tidak ada perbedaan dalam hal pangkat
atau jabatan. Yang selanjutnya adalah pear preasure, dimana residen dipacu
untuk berkompetisi dalam hal-hal yang baik. Dalam hal ini terdapat dukungan
dari semua anggota komunitas. Kemudian, masih menurut Aldi, ada Therapeutic
Session. Sesi terapi. Tetapi group-group oleh konselor atau clinical suvervisor
seperti dokter dan psikiater.
Yang keempat
Spiritual session. Pendalaman keyakinan agama. (Hal-63) seluruh komponen TC senantiasa
memberikan dorongan untuk berubah menjadi manusia yang taat. Sehingga akan
timbul rasa cinta dan empati terhadap sesama. Dan terakhir adalah Role Modeling,
semua pihak harus memberikan contoh yang baik. “Seseorang boleh menegur
orang lain, setelah dia sendiri telah melaksanakannya,” Urai Aldi serius.
Secara teknis,
lanjut Aldi metode TC berusaha
mengkondisikan dengan kehidupan sehari-hari. Asrama tempat para korban narkoba
tinggal diberi nama State of the House. Ada yang kebagian peran sebagai
kepala rumah (head of departement), ada yang disebut coordinator of
departement, chief and crew. Chief adalah sebutan para residen (pecandu)
yang sudah melalui proses rehabilitasi selama empat bulan (dari sembilan bulan
program). Sedangkan crew adalah korban narkoba yang baru saja mengikuti
program.
Dalam
penerapan metode TC, chief bisa menyuruh, bahkan membentak crew. Mirip
acara perpeloncoan. Tujuan semua ini adalah man help himself. “Di sini
semuanya dibuat teratur. Disiplin. Sehingga menjadi bekal, saat mereka keluar
dari sini. Jumlah residen mengikuti program TC ini sekitar 136 orang pada
semua program,” tegasnya. Hampir semua yang mengambil peran dalam TC ini adalah
mantan pecandu. Jumlah konselor ada berjumlah 14 orang.
Lutfi, S.Ag
staf konselor spiritual mengaku senang bisa membantu mereka yang dalam hidupnya
pernah mempunyai masalah dengan penggunaan barang-barang terlarang. “Setiap
hari, saya membimbing mereka untuk bisa shalat berjamaah. Selama bulan suci
Ramadhan, sebagian besar mereka berpuasa. Kita hanya membantu mereka dengan
metoda, bukan sepenuhnya memberikan solusi. Ini tergantung pada niat dan tekad
masing-masing residen. Dengan berkah Ramadhan ini, semoga mereka bisa
istiqomah di jalan yang lurus,” tegasnya penuh harap.
Tempat terapi
itu sejatinya lebih dari sekadar penginapan para pencari sembuh. Itu adalah
tempat pergolakan batin. Saat setiap hari tarikan candu dan keinginan menjadi
baik seperti pertempuran yang tak pernah usai. Hari itu Tarbawi kembali dengan
sebuah perasaan perih. Betapa di tengah kegetiran anak-anak muda yang
terjerambab dalam ketergantungan narkoba seperti mereka, para bandar terus menumpuk
kegelimangan dari bisnis obat-obatan yang menghinakan itu.
Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar
Tapi setidaknya, di tengah rutinitas sebagian kita yang merasa datar, ada sebuah tempat di mana para pecandu tak pernah berhenti berusaha menjadi lebih baik, di Ramadhan ini. ***
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar