Sabtu, 17 Agustus 2024

Ramadhan di Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkotika, Bogor

 

Ramadhan di Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkotika, Bogor 

Oleh  Rahmat Ubaidillah

Ramadhan di Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkotika, Bogor
Ramadhan di Unit Terapi dan Rehabilitasi Narkotika, Bogor


(Hal-58)  Ramadhan terus bergulir. Suasana kekhusu’an sangat terasa saat Tarbawi menyusuri perkampungan di sekitar Unit Pusat Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, di Jalan Raya Sukabumi, Bogor. Tadarus ayat-ayat suci Al Qur’an terdengar jelas dari pengeras suara Masjid. Beberapa orang laki-laki yang mengenakan sarung dan kopiah, larut dalam tilawah dan dzikir. Hamparan perkebunan pisang, menyambut kedatangan Tarbawi siang itu. Pusat rehabilitasi yang dibangun sejak 2005 ini diperkirakan sebagai yang terbesar, terlengkap dan termodern di Asia Tenggara. Hingga saat ini sudah bisa menampung 500 pasien narkoba dan akan dikembangkan lagi hingga kapasitas 1000 orang.

Di areal sekitar 11 hektare tersebut, terdapat banyak fasilitas, diantaranya rumah sakit, rehabilitasi sosial, labora (Hal-59) torium diagnostik, ruang penyembuhan berbasis keimanan dan sejumlah tempat ibadah. Unit rehabilitasi BNN ini juga menyediakan berbagai fasilitas penunjang seperti: ruang medical akupuntur, poli gigi, poli umum, penyakit dalam, poli neurologi, psikologis (detoksifikasi), konseling, psikiater dan rontgen. Bangunannya seluas 15.712 meter persegi yang diresmikan oleh Wapres Yusuf Kalla ini, terletak diatas lahan berbukit-bukit, di tepi Danau Lido.

Pembangunan Unit Pusat Terapi dan Rehabilitasi BNN Lido Bogor dilandasi dari komitmen negara-negara anggota ASEAN dengan deklarasi ASEAN BEBAS NARKOBA TAHUN 2015. Sebuah issue global, regional yang harus disikapi secara serius untuk mewujudkannya. Target penyembuhan terapi dan rehabilitasi yang dilakukan di UPT BNN ini sekitar 1 tahun dengan tahapan fase awal detoksifikasi, body spotche dan fase depresi. Selain itu, pasien narkotika terapi farmakologis dengan medis. Rehab sosial, metodenya terapi komuniti (Therapeutic community/ TC yang diadopsi dari Amerika Serikat). Badan Narkotika Nasional yang langsung diketuai Kapolri ini adalah LNS dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.

Siang itu, beberapa orang nampak sedang duduk. Ada yang sekadar menjenguk anggota keluarganya yang sedang diterapi. Ada juga yang bersiap-siap akan kembali pulang ke rumah. Ada rina kebahagiaan di wajah Muhammad Ghozali siang itu. Ibunda tercinta yang datang dari Bangil, menjemputnya dengan penuh suka cita. Pemuda berusia 29 tahun ini mengaku sudah mengenal minuman keras sejak kelas 5 SD.

“Ketika Bapak meninggal, saya kehilangan pegagangan hidup. Saya sendiri mencoba-coba obat-obatan dan narkoba, dari kakak yang juga seorang pemakai.” Jelasnya.

Baca Juga: AndaiBukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

Ketergantungannya terhadap narkoba semakin parah. Ia bahkan tidak lulus SMP. “ketika ibu tahu saya seorang pemakai, ia langsung menyuruh saya menjalani rehabilitasi,”tegasnya lagi. Ghozali pun menjalani terapi demi terapi di sekitar Surabaya. Namun, ia tetap saja tidak bisa lepas dari ketergantungan. “Kalau sudah sakaw, sakit sekali. Kalau sudah begitu, harus segera pakai. Uangnya dari mana saja. Saya sering mencuri barang-barang di rumah atau bahkan menjambret untuk membeli putaw,” imbunya serius. Ghozali akhirnya merasa lelah dengan semua perilakunya itu. Dengan (Hal-60) kemauannya sendiri, ia menjalani terapi dan rehabilitasi di UPT BNN, Bogor. Setelah menjalani 4 bulan terapi, Ghozali dinyatakan semakin pulih. “sebenarnya masih ada jatah 2 bulan lagi di sini. Tetapi karena saya menderita penyakit Liver, keluarga akan membawa saya berobat medis di Surabaya,” urainya.

Ghozali merasa berterima kasih kepada BNN, yang telah membantunya. Ia juga merasa semakin PD menghadapi hidup di masyarakat luas. “Subhanallah, setelah didetoktisasi secara medis, para residen (sebutan pasien) boleh memilih program terapi komuniti atau religi. Semoga saya bisa mempertahankan shalat lima waktu selamanya,” urainya sumringah.

Beberapa residen lainnya tampak mengantri di poli gigi. Sebagian besar mereka tetap menjalankan puasa selama menjalani terapi dan rehabilitasi.

Terapi Religi untuk Penyembuhan Ketergantungan Narkoba

Dzuhur menjelang tiba. Lantunan shalawat terdengar jelas dari Masjid di lingkungan UPT BNN. Tarbawi berkunjung ke asrama residen mengikuti program religi. Jumlah mereka 15 orang yang diawasi tiga orang ustadz. Satu per satu para residen bergegas menuju Masjid. Mereka tampak rapi dengan setelan sarung dan baju koko. Selepas melaksanakan shalat Dzuhur, mereka larut dalam lautan dzikir yang dipimpin oleh Muslim Hasibuan. Beberapa residen bahkan berdzikir dengan suara yang cukup kencang. Mereka sangat khusu’ dan menikmati hidangan dzikir siang itu. “Dzikir ini sangat efektif untuk pembinaan mental residen,” urai Muslim Hasibuan.

Ustadz yang berasal dari Sumatera itu sudah dua tahun bertugas di UPT BNN, Bogor. “Sejak jam 2 dini hari, mereka kita bangunkan untuk melaksanakan shalat sunnah seperti, tahajud dan sholat hajat. Selepas sholat wajib kita ajak mereka mengingat Allah lewat dzikir. Dzikir-dzikir yang kita pakai, sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Hadits,” imbuh lelaki yang telaah menetap di Tasik selama 20 tahun ini. Lebih jauh ia menambahkan bahwa 24 jam penuh mengawasi para residen. “Dalam satu kamar terdiri dari 3 sampai 5 orang residen, diawasi oleh seorang Ustadz. Tetapi perlu diingat, bahwa tugas kami hanya memberikan bimbingan. Apa yang tersembunyi di hati masing-masing residen  kami tidak tahu. Bagaimana mereka setelah pulang dari sini, tergantung niat dan tekad mereka masing-masing,” urainya.

Sementara itu Sholikun, S.Ag, petugas Pembina Rohani dan Mental, menyatakan, selain program rutin Dzikir dan Shalat, para residen juga diberikan program problem solving. Kegiatannya memetakan masalah lewat sharing informasi dalam suasana kekeluargaan. Dari kegiatan ini, para residen bisa saling curhat satu sama lain, layaknya sebuah keluarga. Setelah itu mereka saling memberi dorongan. “selama Ramadhan kegiatannya ditambah dengan Pesantren Ramadhan, yang diisi oleh para ustadz selepas Sholat Dzuhur. Program terapi religi ini, diberikan sete (Hal-61) lah para residen menjalani detoksifikasi,” imbuh ayah satu orang anak ini. Senada dengan itu Nashruddin, S.Ag yang juga petugas Pembina Rohani dan Mental, menyatakan bahwa tujua program religi ini untuk mengembalikan alam kesadaran para residen sebagai makhluk yang punya tugas dan fungsi hidup. “setiap masalah pasti ada solusinya. Makanya, kita harus kita kembalikan kepaada Yang Maha Perkasa, Allah Swt,” tegasnya. Ia menambahkan, seorang residen yang telah menjalani detoksifikasi bisa mengikuti terapi religi, sesuai dengan kemauan sendiri, saran dari orang tuanya, atau rujukan dari BNN.

Budi (29), pemuda yang mengantongi gelar sarjana hukum dari sebuah kampus ternama di Bandung mengaku program terapi religi yang dijalaninya sangat bermanfaat. “lewat program ini, saya berkeinginan mendekatkan diri kepada Allah secara total. Intinya kan masalah keimanan. Jika iman kita juat, akan mampu menghadapi godaan dari lingkungan yang kurang kondusif,” tegasnya di teras Masjid. Budi mengaku memakai narkoba sejak kelas satu SMA. Awalnya ketika ia melanjutkan sekolah di Bandung ikut sang kakak. Sementara orangtuanya tetap tinggal di Batam. “Ketika kost saya merasa bebas. Tak ada pengawasan dari orang tua. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, saya berkenalan dengan pemakai putaw sekaligus menjadi bandar,” tegasnya.

Baca Juga: Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup

Menjelang kelulusan SMA, ia pernah ditangkap pihak berwajib. Dari situlah orangtuanya mengetahui bahwa ia adalah seorang adiksi/pemakai.” Kira-kira 4 kali, saya pernah ditangkap pihak berwajib. Saya bisa bebas atas jaminan orang tua. Selama 16 tahun menjadi pemakai, saya banyak menyusahkan orang tua. Untuk membeli barang terlarang itu, saya pernah menggadaikan 3 buah motor,” imbuhnya.

Sebagai seorang pengedar Budi harus bolak-balik Bandung-Cianjur setiap hari untuk mendapatkan barang terlarang itu. Bahkan ia pernah bolak-balik setiap hari Bandung-Jogjakarta naik kereta, untuk mendapatkan barang yang diinginkannya.

“Saya merasa capek dengan semua ini. Atas dorongan bapak dan kemauan sendiri, saya menjalani terapi selama 4 bulan di sini. Saya ingin hidup normal. Saya ingin kembali bermain dengan para keponakan, yang sempat dilarang oleh ayahnya. Saya berharap, bisa meninggalkan ini selamanya. Terima kasih BNN, yang telah memberikan semua ini (Hal-62) secara gratis,” urainya.

Sementara Syaiful pemuda lajang berusia 37 tahun, mempunyai harapan yang sama dengan Budi.”Saya ingin berusaha berubah menjadi orang yang baik. Dengan terapi ini, hidup saya terasa damai. Bisa beribadah secara total. Bisa berpuasa penuh. Ke depan saya ingin merubah hidup saya agar lebih taat,” ujar pemuda yang telah mengikuti terapi religi selama 2 bulan ini. Nashruddin, S.Ag yang mendengar harapan itu, berpesan kepada residen yang nantinya kembali ke rumah, agar mempunyai tekad yang membaja untuk bisa menghadapi godaan yang datang. “Kalau kita punya keinginan yang kuat untuk berubah, Insya Allah akan ada jalan,” tegas ustadz yang ada di Cibitung ini.

Therapeutic Community (TC), Terapi Komunitas Untuk Rehabilitasi Para Pengguna Narkotika.

Hari semakin sore. Tarbawi berkunjung ke lokasi terapi komunitas yang jaraknya tidak jauh dari lokasi terapi religi. Beberapa orang staff nampak sibuk berbincang-bincang sambil berdiskusi. Pada sebuah lobi yang terbilang mewah, Tarbawi berbincang dengan Aldi Novrudi, Program Manager Re Entri TC atau terapi komunitas. Menurut laki-laki yang pernah mengenal obat-obatan sejak kelas empat SD ini, fokusnya ada dalam empat unsur.

Empat unsur ini adalah Behavior Management Saving, yang menekankan pada pembangunan pribadi yang baik. Sehingga mempunyai kepedulian yang tinggi dengan sekitarnya. Selanjutnya adalah Emotional Psikological  Development. Pembangunan dan pengembangan dalam sisi mengatur emosi. Mengolah rasa ingin tahu. Meningkatkan gairah dalam hidup, hingga pembentukan karakter pola pikir serta pengasahan dalam proses pengambilan keputusan.

 Ada lagi Spiritual and Intelectual.  Yaitu membina hubungan harmonis antara sesama manusia. Dan hubungan dengan Allah Swt selaku hamba. Residen juga diberikan pengetahuan lewat berbagai seminar. “Yang terakhir Vocational and Survival Skill. Berupa Problem Solving Skill, bagaimana memecahkan masalah, sehingga mereka dapar berperan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Tujuannya agar hidup menjadi benar. Mengimplementasikan nilai dan norma yang berlaku. Semua komunitas wajib menjalankan aturan TC ini,” tegasnya.

Baca Juga: Dosa Yang Terus Mengalir 

Lebih dari itu, laki-laki yang juga mantan pemakai narkoba ini menjelaskan tentang lima pilar yang terdapat dalam TC. Yang pertama Family Milieu Concept. Konsep kekeluargaan semua residen sejajar tidak ada perbedaan dalam hal pangkat atau jabatan. Yang selanjutnya adalah pear preasure, dimana residen dipacu untuk berkompetisi dalam hal-hal yang baik. Dalam hal ini terdapat dukungan dari semua anggota komunitas. Kemudian, masih menurut Aldi, ada Therapeutic Session. Sesi terapi. Tetapi group-group oleh konselor atau clinical suvervisor seperti dokter dan psikiater.

Yang keempat Spiritual session. Pendalaman keyakinan agama. (Hal-63) seluruh komponen TC senantiasa memberikan dorongan untuk berubah menjadi manusia yang taat. Sehingga akan timbul rasa cinta dan empati terhadap sesama. Dan terakhir adalah Role Modeling, semua pihak harus memberikan contoh yang baik. “Seseorang boleh menegur orang lain, setelah dia sendiri telah melaksanakannya,” Urai Aldi serius.

Secara teknis, lanjut Aldi  metode TC berusaha mengkondisikan dengan kehidupan sehari-hari. Asrama tempat para korban narkoba tinggal diberi nama State of the House. Ada yang kebagian peran sebagai kepala rumah (head of departement), ada yang disebut coordinator of departement, chief and crew. Chief  adalah sebutan para residen (pecandu) yang sudah melalui proses rehabilitasi selama empat bulan (dari sembilan bulan program). Sedangkan crew adalah korban narkoba yang baru saja mengikuti program.

Dalam penerapan metode TC, chief bisa menyuruh, bahkan membentak crew. Mirip acara perpeloncoan. Tujuan semua ini adalah man help himself. “Di sini semuanya dibuat teratur. Disiplin. Sehingga menjadi bekal, saat mereka keluar dari sini. Jumlah residen mengikuti program TC ini sekitar 136 orang pada semua program,” tegasnya. Hampir semua yang mengambil peran dalam TC ini adalah mantan pecandu. Jumlah konselor ada berjumlah 14 orang.

Lutfi, S.Ag staf konselor spiritual mengaku senang bisa membantu mereka yang dalam hidupnya pernah mempunyai masalah dengan penggunaan barang-barang terlarang. “Setiap hari, saya membimbing mereka untuk bisa shalat berjamaah. Selama bulan suci Ramadhan, sebagian besar mereka berpuasa. Kita hanya membantu mereka dengan metoda, bukan sepenuhnya memberikan solusi. Ini tergantung pada niat dan tekad masing-masing residen. Dengan berkah Ramadhan ini, semoga mereka bisa istiqomah di jalan yang lurus,” tegasnya penuh harap.

Tempat terapi itu sejatinya lebih dari sekadar penginapan para pencari sembuh. Itu adalah tempat pergolakan batin. Saat setiap hari tarikan candu dan keinginan menjadi baik seperti pertempuran yang tak pernah usai. Hari itu Tarbawi kembali dengan sebuah perasaan perih. Betapa di tengah kegetiran anak-anak muda yang terjerambab dalam ketergantungan narkoba seperti mereka, para bandar terus menumpuk kegelimangan dari bisnis obat-obatan yang menghinakan itu.

Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar

Tapi setidaknya, di tengah rutinitas sebagian kita yang merasa datar, ada sebuah tempat di mana para pecandu tak pernah berhenti berusaha menjadi lebih baik, di Ramadhan ini. ***


 Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430  H, 8 Oktober 2009  M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar