Minggu, 18 Agustus 2024

Apa yang Sudah Kita Berikan untuk Kehidupan?

 

Apa yang Sudah Kita Berikan untuk Kehidupan? 

Oleh  DR. Ali Al Hammadi

Apa yang Sudah Kita Berikan untuk Kehidupan?
Apa yang Sudah Kita Berikan untuk Kehidupan? 


(Hal-64)  Di tahun 1930-an, ada seseorang mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi di Mesir. Ketika datang waktu shalat, ia segera mencari tempat untuk melakukan shalat. Ia bertanya kepada para mahasiswa lain dan ditunjukkan sebuah tempat untuk melakukan shalat. 

Tempat yang ditunjukkan itu bukan tempat yang biasa digunakan mahasiswa untuk belajar, melainkan sebuah ruangan kecil, ruangan bawah tanah yang pengap. Di sanalah tempat shalat yang ditunjukkan teman-temannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain, kecuali pergi ke tempat itu dan shalat di ruangan itu. Ia sendiri merasa heran dengan rekan-rekannya yang tidak memperhatikan datangnya waktu shalat. Apakah mereka shalat atau tidak.

Tapi yang penting, di dalam ruangan kecil dan pengap itu, ia mendapati sebuah tikar usang. Ruangan kecil itu kumuh dan berantakan. Tapi di sana ia juga mendapatkan seorang pekerja kampus yang juga akan melakukan shalat. Ia bertanya,”Apakah Anda juga kan shalat di tempat ini?” Orang itu menjawab,”Ya, karena tidak ada orang yang shalat bersama saya dan tidak ada lagi tempat kecuali di sini.”

 Mahasiswa baru itu lalu mengatakan,”Saya tidak mau shalat di bawah tanah.” Ia lalu naik kembali ke atas dan mencari tempat perkuliahan lalu melakukan tindakan aneh. Ia berdiri dan mengumandangkan azan dengan suaranya yang keras. Orang-orang terkejut dan sebagian menertawakan pemuda itu, sambil mencemoohnya sebagai orang gila. Tapi mahasiswa itu tak peduli dengan sikap mereka. Setelah azan, ia duduk sebentar lalu mendirikan shalat seperti tidak ada orang (Hal-65) yang melihat sikapnya.

Beberapa hari berlalu, kondisi itu berulang. Orang-orang seperti sebelumnya, kembali menertawakannya, tapi ia tetap melakukan hal yang sama setiap hari. Sampai akhirnya, orang-orang tidak lagi menertawakannya ... dan terjadilah perubahan itu.

Pekerja kampus yang semula shalat di ruang bawah tanah, mulai terdorong berani melakukan shalat dan menjadi makmum mahasiswa baru itu. Tidak lama kemudian, jumlah yang ikut shalat berjamaah bertambah, menjadi tiga orang, empat orang dan bahkan setelah satu minggu, ada seorang dosen yang ikut shalat di tempat itu. Tema shalat di ruang terbuka kampus, lalu menjadi pembicaraan ramai di kalangan para mahasiswa. Rektor kampus akhirnya memanggil pemuda itu dan mengatakan kepadanya,”Kondisi ini tidak boleh berlarut, kalian shalat di tengah perkuliahan. Nanti kami akan bangunkan untuk kalian sebuah Masjid yang bersih dan rapih untuk digunakan di waktu shalat.”

Akhirnya, dibangunkanlah sebuah masjid pertama di satu Fakultas di kampus. Dan peristiwanya tidak berakhir di sini. Karena para mahasiswa ternyata tersentuh semangat dan sentimen keis (Hal-66) mannya, hingga akhirnya mereka membangun Masjid di setiap fakultas.  

Baca Juga: MaafkanAku

Al Quranul karim telah berbicara tentang keutamaan membangun semangat dalam banyak tema, dengan lafaz yang berbeda, baik dengan ajuran berlomba-lomba, bersegera dan sebagainya. Lihatlah firman Allah Swt dalam surat Al Anbiya ayat 9, Ali Imran ayat 114 dan 133, Al Hadid ayat 22, Al Muthaffifin ayat 26, atau surat Al A’raf ayat 163.

Sunnah Rasulullah Saw juga menjelaskan banyak hal tentang nilai agung ini. Rasulullah Saw bersabda,

“Jika hari kiamat terjadi dan di tangan salah seorang kamu ada biji, jika ia bisa menanamnya segera maka tanamlah.” (HR. Ahmad)

Melalui Hadits ini Rasulullah Saw menjelaskan bahwa seorang Muslim harus menjadi manusia positif bahkan ketika terjadinya hari Kiamat, atau sampai detik-detik akhir usianya.

Rasulullah Saw juga bersabda,

“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubahnya.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id)

Rasulullah ingin menjelaskan bahwa bagaimanapun seorang Muslim harus segera berpikir positif. Penggunaan huruf  “fa” dalam hadits ini (fal yughayyir hu), menandakan kesegeraaan, kecepatan, karena kecepatan dan kesegeraan dalam merubah kemungkaran itu adalah wajib, sebagaimana merubah kemungkaran itu dengan berbagai pertimbangan dan kondisi yang memungkinkan.

Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah bersabda,

“Perumpamaan orang yang proaktif menegakkan aturan-aturan Allah dan orang yang melanggarnya seperti kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian mereka naik di bagian atas, sebagian lagi naik di bagian bawah. Para penumpang yang dibagian bawah jika ingin mengambil air harus naik ke atas melewati penumpang yang ada di bagian atas. Maka (demi efisiensi dan kepraktisan) mereka berkata,’Kalau saja kita lubangi kapal ini dari tempat kita (niscaya kita mudah mengambil air) dan kita tidak akan menyakiti dan merepotkan saudara kita penumpang yang ada di lantai atas!’ Jika semua orang yang mendengar dan mengetahui rencana ini apatis dan membiarkan mewujudkan ide mereka, niscaya semua penumpang tanpa kecuali akan tenggelam dan binasa. Namun, jika mereka (menyatukan) langkah) melarang dan mencegah agar tidak direalisasikan rencana itu, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan para penumpang seluruhnya.” (HR. Bukhari)

semua ini adalah pesan-pesan yang sangat jelas untuk mereka yang jiwanya diterpa penyakit “saya bisa apa?,” “saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk merubah”, “pak, memangnya Anda siapa?”, “biarkan saja, saya dan Anda berbeda.”

Baca Juga: Sudah Membuka Lembar Keberapa?

Itu alasan-alasan yang biasa digunakan mereka yang tertidur dari melihat kebenaran. Meninggalkan kebatilan tumbuh membesar hingga akhirnya mencelakakan banyak orang. Mereka yang tidak melakukan perbaikan dalam kehidupan. Karena kehidupan ini hanya membutuhkan orang yang memiliki keberanian, pro aktif, inisiatif, dan berkompetisi. ***


 Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430  H, 8 Oktober 2009  M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar