Apa yang Sudah Kita Berikan untuk Kehidupan?
Oleh DR. Ali Al Hammadi
Apa yang Sudah Kita Berikan untuk Kehidupan? |
(Hal-64) Di tahun 1930-an, ada seseorang mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi di Mesir. Ketika datang waktu shalat, ia segera mencari tempat untuk melakukan shalat. Ia bertanya kepada para mahasiswa lain dan ditunjukkan sebuah tempat untuk melakukan shalat.
Tempat yang ditunjukkan itu bukan tempat yang biasa digunakan mahasiswa untuk belajar, melainkan sebuah ruangan kecil, ruangan bawah tanah yang pengap. Di sanalah tempat shalat yang ditunjukkan teman-temannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain, kecuali pergi ke tempat itu dan shalat di ruangan itu. Ia sendiri merasa heran dengan rekan-rekannya yang tidak memperhatikan datangnya waktu shalat. Apakah mereka shalat atau tidak.
Tapi yang penting, di dalam ruangan kecil dan pengap itu, ia mendapati sebuah tikar usang. Ruangan kecil itu kumuh dan berantakan. Tapi di sana ia juga mendapatkan seorang pekerja kampus yang juga akan melakukan shalat. Ia bertanya,”Apakah Anda juga kan shalat di tempat ini?” Orang itu menjawab,”Ya, karena tidak ada orang yang shalat bersama saya dan tidak ada lagi tempat kecuali di sini.”
Mahasiswa
baru itu lalu mengatakan,”Saya tidak mau shalat di bawah tanah.” Ia lalu naik
kembali ke atas dan mencari tempat perkuliahan lalu melakukan tindakan aneh. Ia
berdiri dan mengumandangkan azan dengan suaranya yang keras. Orang-orang
terkejut dan sebagian menertawakan pemuda itu, sambil mencemoohnya sebagai
orang gila. Tapi mahasiswa itu tak peduli dengan sikap mereka. Setelah azan, ia
duduk sebentar lalu mendirikan shalat seperti tidak ada orang (Hal-65) yang
melihat sikapnya.
Beberapa hari
berlalu, kondisi itu berulang. Orang-orang seperti sebelumnya, kembali menertawakannya,
tapi ia tetap melakukan hal yang sama setiap hari. Sampai akhirnya, orang-orang
tidak lagi menertawakannya ... dan terjadilah perubahan itu.
Pekerja kampus
yang semula shalat di ruang bawah tanah, mulai terdorong berani melakukan
shalat dan menjadi makmum mahasiswa baru itu. Tidak lama kemudian, jumlah yang
ikut shalat berjamaah bertambah, menjadi tiga orang, empat orang dan bahkan
setelah satu minggu, ada seorang dosen yang ikut shalat di tempat itu. Tema shalat
di ruang terbuka kampus, lalu menjadi pembicaraan ramai di kalangan para
mahasiswa. Rektor kampus akhirnya memanggil pemuda itu dan mengatakan
kepadanya,”Kondisi ini tidak boleh berlarut, kalian shalat di tengah perkuliahan.
Nanti kami akan bangunkan untuk kalian sebuah Masjid yang bersih dan rapih
untuk digunakan di waktu shalat.”
Akhirnya, dibangunkanlah
sebuah masjid pertama di satu Fakultas di kampus. Dan peristiwanya tidak
berakhir di sini. Karena para mahasiswa ternyata tersentuh semangat dan
sentimen keis (Hal-66) mannya, hingga akhirnya mereka membangun Masjid
di setiap fakultas.
Baca Juga: MaafkanAku
Al Quranul
karim telah berbicara tentang keutamaan membangun semangat dalam banyak tema,
dengan lafaz yang berbeda, baik dengan ajuran berlomba-lomba, bersegera dan
sebagainya. Lihatlah firman Allah Swt dalam surat Al Anbiya ayat 9, Ali Imran
ayat 114 dan 133, Al Hadid ayat 22, Al Muthaffifin ayat 26, atau surat Al A’raf
ayat 163.
Sunnah Rasulullah
Saw juga menjelaskan banyak hal tentang nilai agung ini. Rasulullah Saw
bersabda,
“Jika hari
kiamat terjadi dan di tangan salah seorang kamu ada biji, jika ia bisa
menanamnya segera maka tanamlah.” (HR. Ahmad)
Melalui
Hadits ini Rasulullah Saw menjelaskan bahwa seorang Muslim harus menjadi
manusia positif bahkan ketika terjadinya hari Kiamat, atau sampai detik-detik
akhir usianya.
Rasulullah
Saw juga bersabda,
“Barangsiapa
diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubahnya.” (HR.
Muslim dari Abu Sa’id)
Rasulullah
ingin menjelaskan bahwa bagaimanapun seorang Muslim harus segera berpikir
positif. Penggunaan huruf “fa” dalam
hadits ini (fal yughayyir hu), menandakan kesegeraaan, kecepatan, karena
kecepatan dan kesegeraan dalam merubah kemungkaran itu adalah wajib,
sebagaimana merubah kemungkaran itu dengan berbagai pertimbangan dan kondisi
yang memungkinkan.
Diriwayatkan
oleh Imam Al Bukhari dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah bersabda,
“Perumpamaan
orang yang proaktif menegakkan aturan-aturan Allah dan orang yang melanggarnya
seperti kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian mereka naik di bagian atas,
sebagian lagi naik di bagian bawah. Para penumpang yang dibagian bawah jika
ingin mengambil air harus naik ke atas melewati penumpang yang ada di bagian
atas. Maka (demi efisiensi dan kepraktisan) mereka berkata,’Kalau saja kita
lubangi kapal ini dari tempat kita (niscaya kita mudah mengambil air) dan kita
tidak akan menyakiti dan merepotkan saudara kita penumpang yang ada di lantai atas!’
Jika semua orang yang mendengar dan mengetahui rencana ini apatis dan membiarkan
mewujudkan ide mereka, niscaya semua penumpang tanpa kecuali akan tenggelam dan
binasa. Namun, jika mereka (menyatukan) langkah) melarang dan mencegah agar
tidak direalisasikan rencana itu, niscaya mereka selamat dan menyelamatkan para
penumpang seluruhnya.” (HR. Bukhari)
semua ini
adalah pesan-pesan yang sangat jelas untuk mereka yang jiwanya diterpa penyakit
“saya bisa apa?,” “saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk merubah”, “pak,
memangnya Anda siapa?”, “biarkan saja, saya dan Anda berbeda.”
Baca Juga: Sudah Membuka Lembar Keberapa?
Itu alasan-alasan yang biasa digunakan mereka yang tertidur dari melihat kebenaran. Meninggalkan kebatilan tumbuh membesar hingga akhirnya mencelakakan banyak orang. Mereka yang tidak melakukan perbaikan dalam kehidupan. Karena kehidupan ini hanya membutuhkan orang yang memiliki keberanian, pro aktif, inisiatif, dan berkompetisi. ***
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar