Untuk Kesempurnaan I’tikaf
Oleh Sulthan
Hadi
Untuk Kesempurnaan I’tikaf |
(Hal-31) Definisi I’tikaf
I’tikaf
secara bahasa, adalah konsistensi dalam melakukan sesuatu dengan memusatkan
fisik, hati dan pikiran dalam hal tersebut, baik itu dalam perkara yang baik
maupun yang tidak baik. Allah berfirman,
“(Ingatlah),
ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini
yang kamu tekun beribadat kepadanya?”
(QS. Al
Anbiya’: 52)
Atau juga diartikan sebagai sikap berdiam diri di suatu tempat untuk melakukan ibadah terhadap sesuatu itu. Tetapi yang dimaksud di sini adalah mendekati Masjid dan berdiam diri di dalamnya dengan niat untuk taqarub kepada Allah azza wa jalla.
Ulama
sepakat bahwa I’tikaf adalah sesuatu yang disyariatkan dalam Islam. Karena
Rasulullah saw telah melakukannya. Di setiap Ramadhan selama sepuluh hari. Dan
bahkan di Ramadhan terakhir menjelang wafatnya, beliau melakukan I’tikaf selama
dua puluh hari (HR. Bukhari dan Abu Daud).
Istri-istri
dan juga sahabat beliau melakukan I’tikaf bersama beliau, dan mereka semua
tetap melanjutkan kebiasaan itu setelah beliau wafat.
Baca Juga: Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku
Macam-Macam
I’tikaf
I’tikaf itu ada yang sunnah dan ada yang wajib. I’tikaf yang sunnah adalah I’tikaf yang dilakukan oleh seorang Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan mendapatkan pahala dari-Nya, dengan mengikuti tata cara yang diajarkan Rasulullah saw, dan hal inilah yang dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan seperti telah disebutkan di atas.
Sedang I’tikaf yang wajib
adalah apa yang dibebankan seseorang kepada dirinya, baik karena nadzar mutlak
(tidak ada batas waktu dan jumlah hari), seperti seseorang berkata, “Aku
bernadzar melakukan beri’tikaf untuk
Allah.” Atau nadzar bersyarat, seperti kata seseorang, (Hal-32) “Kalau Allah menyembuhkan peyakitku maka
sungguh aku akan beri’tikaf sekian hari.”
Landasannya,
disebutkan dalam shahih,
“Siapa yang
bernadzar untuk mentaati Allah maka hendaklah ia mentaatinya-Nya.”
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa Umar bin Khatab yang pernah berkata kepada
Rasulullah saw,
“Ya
Rasulullah, sungguh aku telah bernadzar untuk I’tikaf semalam di Masjidil
Haram.” Lalu beliau saw menjawab,”Penuhi nadzarmu!”
Memulai dan
Mengakhiri I’tikaf
I’tikaf
wajib dilakukan sesuai dengan yang dinadzarkan dan orang yang bernadzar itu
telah menyebutkannya. Jika ia bernadzar melakukan I’tikaf sehari atau lebih,
maka ia wajib menunaikan apa yang dinadzarkan. Sedang I’tikaf yang sunnah tidak
memiliki batasan waktu. Kapan pun seorang berada atau duduk di Masjid, maka ia
dinamakan mu’takif selama dia berniat melakukan I’tikaf, baik itu dalam waktu
yang lama atau hanya sesaat, dan pahalanya terus mengalir sepanjang ia tetap
berada di dalam masjid tersebut. Jika ia keluar dari Masjid dan kembali ke
tempat duduknya ia harus memperbaharui niatnya jika ia masih bermaksud untuk
beri’tikaf.
Dari Ya’la
bin Umayyah, ia berkata,
“Sesungguhnya,
aku ketika berada di dalam Masjid walau hanya satu jam, tidaklah aku
melakukannya kecuali niat I’tikaf.” Atha’ berkata,”Ia adalah I’tikaf selama
seseorang berada di dalamnya. Dan jika ia duduk di dalam masjid dengan tujuan
mendapatkan kebaikan maka dinamakan mu’takif. Jika tidak, maka ia tidak disebut
demikian.”
Baca Juga: Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup
Untuk sepuluh
hari terakhir Ramadhan, jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai
I’tikaf hendaknya memasuki Masjid sebelum matahari terbenam, karena sepuluh
akhir maksudnya sepuluh akhir yaitu di mulai malam ke-21. Tetapi sebagian
mengatakan, diutamakan memulai I’tikaf setelah shalat Subuh. Sebab Aisyah ra
meriwayatkan dari rasulullah saw bahwasanya jika beliau hendak I’tikaf beliau
melakukan shalat fajar kemudian memasuki tempat I’tikaf, dan meminta tendanya
didirikan.
Rukun
I’tikaf
Hakekat
I’tikaf adalah berdiam diri di Masjid dengan niat taqarrub kepada Allah
swt, yang dilakukan di dalam Masjid. Jika tidak dilakukan di Masjid, atau tidak
diawali dengan niat berdiam diri itu tidak disebut I’tikaf. Rasulullah saw
telah menegaskan pentingnya niat dalam amal, seperti disebutkan dalam
haditsnya,
“Sesungguhnya
amal-amal itu tergantung pada niat, dan bagi setiap orang apa yang diniatkan.”
Adapun
Masjid sebagai tempat pelaksanaan, Allah berfirman,
“Janganlah
kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
(QS. Al
Baqarah: 187)
Ayat ini memberikan pemahaman pada kita, bahwa andaikan Allah mem (Hal-33) bolehkan kita beri’tikaf di selain
Masjid maka tentu Allah tidak mengkhususkan larangannya menggauli istri di saat
seseorang sedang melakukan I’tikaf di Masjid. Jadi, dari sini dapat kita
ketahui bahwa I’tikaf itu hanya bisa dilakukan di Masjid, bukan di rumah
ataupun Mushalla.
Baca Juga: Dosa Yang Terus Mengalir
Hal-Hal yang Dianjurkan dan Dimakruhkan Bagi Orang yang Beri’tikaf
Dianjurkan bagi orang yang melakukan I’tikaf untuk memperbanyak
ibadah-ibadah nawafil atau sunah; menyibukkan diri dengan melakukan shalat,
tilawah Al Qur’an, membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar,
bershalawat kepada Rasulullah, berdoa dan sebagainya dari ketaatan-ketaatan dan
ibadah-ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Rabbnya azza wa jalla. Juga
dianjurkan untuk membaca atau mempelajari kitab-kitab tafsir, hadits, dan
sebagainya. Atau dalam lingkaran majelis dzikir dan ilmu.
Dimakruhkan bagi orang yang i’tikaf menyibukkan diri dengan
sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan ibadah dan ketaatan, seperti
mengobrol yang tidak manfaatnya, atau melakukan semua aktifitas di luar amal
ketaatan. Begitu juga, seseorang dimakruhkan untuk diam saja, tidak mau
berbicara karena menganggap bahwa hal itu termasuk cara mendekatkan diri kepada
Allah. Telah disebutkan dalam riwayat Bukhari, bahwa Rasulullah saw pernah
menyuruh seseorang bernadzar tidak ingin berbicara dengan siapapun, untuk berbicara.
Yang Membatalkan I’tikaf
I’tikaf dinyatakan batal jika seorang mu’takif keluar dari masjid
tanpa alasan dan tanpa keperluan yang dibolehkan, karena Rasulullah saw tidak
pernah keluar dari Masjid kecuali untuk kebutuhan manusiawi, seperti makan,
jika tidak ada mengantarkan untuknya. Salim mengatakan,
“Adapun
makan dan minum beliau, selalu diantarkan kepadanya di tempat I’tikafnya.”
Begitu juga
untuk ersuci dari hadats kecil dan berwudhu seperti dikatakan Aisyah ra,
“Sungguh
Rasulullah memasukkan kepala beliau kepadaku ketika beliau sedang beri’tikaf di
Masjid, lalu aku menyisirnya. Apabila beliau beri’tikaf, maka beliau tidak
masuk ke rumah kecuali karena ada keperluan.”
Selain itu,
orang yang beri’tikaf juga tidak oleh melakukan hubungan suami istri, karena
larangannya sangat jelas disebutkan dalam Al Qur’an,
“Tetapi
jangan kamu campuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu beri’tikaf dalam Masjid (QS.
Al Baqarah: 187)
Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar
Bagi wanita mengalami haidh atau nifas ketika sedang I’tikaf,
secara otomatis I’tikafnya batal. Dia wajib segera keluar Masjid demi menjaga
kesucian dan kebersihan Masjid, begitu pula dengan orang junub sampai ia
bersuci.
Pun, jika seoerang wanita ditinggal mati suaminya sedang ia dalam keadaan I’tikaf di Masjid, maka dia wajib meninggalkan Masjid dan dia harus menjalani masa iddahnya di rumah. Dan yang terakhir, bagi orang yang murtad, secara otomatis I’tikafnya juga batal, karena Islam adalah salah satu syarat sahnya I’tikaf.***
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar