Sabtu, 17 Agustus 2024

Untuk Kesempurnaan I’tikaf

 

Untuk Kesempurnaan I’tikaf 

Oleh Sulthan Hadi

Untuk Kesempurnaan I’tikaf
Untuk Kesempurnaan I’tikaf 


(Hal-31)  Definisi I’tikaf

I’tikaf secara bahasa, adalah konsistensi dalam melakukan sesuatu dengan memusatkan fisik, hati dan pikiran dalam hal tersebut, baik itu dalam perkara yang baik maupun yang tidak baik. Allah berfirman,

“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?”

(QS. Al Anbiya’: 52)

Atau juga diartikan sebagai sikap berdiam diri di suatu tempat untuk melakukan ibadah terhadap sesuatu itu. Tetapi yang dimaksud di sini adalah mendekati Masjid dan berdiam diri di dalamnya dengan niat untuk taqarub kepada Allah azza wa jalla.

Ulama sepakat bahwa I’tikaf adalah sesuatu yang disyariatkan dalam Islam. Karena Rasulullah saw telah melakukannya. Di setiap Ramadhan selama sepuluh hari. Dan bahkan di Ramadhan terakhir menjelang wafatnya, beliau melakukan I’tikaf selama dua puluh hari (HR. Bukhari dan Abu Daud).

Istri-istri dan juga sahabat beliau melakukan I’tikaf bersama beliau, dan mereka semua tetap melanjutkan kebiasaan itu setelah beliau wafat.

Baca Juga: Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

Macam-Macam I’tikaf

I’tikaf itu ada yang sunnah dan ada yang wajib. I’tikaf yang sunnah adalah I’tikaf yang dilakukan oleh seorang Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan mendapatkan pahala dari-Nya, dengan mengikuti tata cara yang diajarkan Rasulullah saw, dan hal inilah yang dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan seperti telah disebutkan di atas. 

Sedang I’tikaf yang wajib adalah apa yang dibebankan seseorang kepada dirinya, baik karena nadzar mutlak (tidak ada batas waktu dan jumlah hari), seperti seseorang berkata, “Aku bernadzar melakukan beri’tikaf  untuk Allah.” Atau nadzar bersyarat, seperti kata seseorang, (Hal-32)Kalau Allah menyembuhkan peyakitku maka sungguh aku akan beri’tikaf sekian hari.”

Landasannya, disebutkan dalam shahih,

“Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka hendaklah ia mentaatinya-Nya.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Umar bin Khatab yang pernah berkata kepada Rasulullah saw,

“Ya Rasulullah, sungguh aku telah bernadzar untuk I’tikaf semalam di Masjidil Haram.” Lalu beliau saw menjawab,”Penuhi nadzarmu!”

Memulai dan Mengakhiri I’tikaf

I’tikaf wajib dilakukan sesuai dengan yang dinadzarkan dan orang yang bernadzar itu telah menyebutkannya. Jika ia bernadzar melakukan I’tikaf sehari atau lebih, maka ia wajib menunaikan apa yang dinadzarkan. Sedang I’tikaf yang sunnah tidak memiliki batasan waktu. Kapan pun seorang berada atau duduk di Masjid, maka ia dinamakan mu’takif selama dia berniat melakukan I’tikaf, baik itu dalam waktu yang lama atau hanya sesaat, dan pahalanya terus mengalir sepanjang ia tetap berada di dalam masjid tersebut. Jika ia keluar dari Masjid dan kembali ke tempat duduknya ia harus memperbaharui niatnya jika ia masih bermaksud untuk beri’tikaf.

Dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata,

“Sesungguhnya, aku ketika berada di dalam Masjid walau hanya satu jam, tidaklah aku melakukannya kecuali niat I’tikaf.” Atha’ berkata,”Ia adalah I’tikaf selama seseorang berada di dalamnya. Dan jika ia duduk di dalam masjid dengan tujuan mendapatkan kebaikan maka dinamakan mu’takif. Jika tidak, maka ia tidak disebut demikian.”

Baca Juga: Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup

Untuk sepuluh hari terakhir Ramadhan, jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai I’tikaf hendaknya memasuki Masjid sebelum matahari terbenam, karena sepuluh akhir maksudnya sepuluh akhir yaitu di mulai malam ke-21. Tetapi sebagian mengatakan, diutamakan memulai I’tikaf setelah shalat Subuh. Sebab Aisyah ra meriwayatkan dari rasulullah saw bahwasanya jika beliau hendak I’tikaf beliau melakukan shalat fajar kemudian memasuki tempat I’tikaf, dan meminta tendanya didirikan.

Rukun I’tikaf

Hakekat I’tikaf adalah berdiam diri di Masjid dengan niat taqarrub kepada Allah swt, yang dilakukan di dalam Masjid. Jika tidak dilakukan di Masjid, atau tidak diawali dengan niat berdiam diri itu tidak disebut I’tikaf. Rasulullah saw telah menegaskan pentingnya niat dalam amal, seperti disebutkan dalam haditsnya,

“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niat, dan bagi setiap orang apa yang diniatkan.”

Adapun Masjid sebagai tempat pelaksanaan, Allah berfirman,

“Janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”

(QS. Al Baqarah: 187)

Ayat ini memberikan pemahaman pada kita, bahwa andaikan Allah mem (Hal-33) bolehkan kita beri’tikaf di selain Masjid maka tentu Allah tidak mengkhususkan larangannya menggauli istri di saat seseorang sedang melakukan I’tikaf di Masjid. Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa I’tikaf itu hanya bisa dilakukan di Masjid, bukan di rumah ataupun Mushalla.

Baca Juga: Dosa Yang Terus Mengalir 

Hal-Hal yang Dianjurkan dan Dimakruhkan Bagi Orang yang Beri’tikaf

Dianjurkan bagi orang yang melakukan I’tikaf untuk memperbanyak ibadah-ibadah nawafil atau sunah; menyibukkan diri dengan melakukan shalat, tilawah Al Qur’an, membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istigfar, bershalawat kepada Rasulullah, berdoa dan sebagainya dari ketaatan-ketaatan dan ibadah-ibadah yang mendekatkan seorang hamba kepada Rabbnya azza wa jalla. Juga dianjurkan untuk membaca atau mempelajari kitab-kitab tafsir, hadits, dan sebagainya. Atau dalam lingkaran majelis dzikir dan ilmu.

Dimakruhkan bagi orang yang i’tikaf menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan ibadah dan ketaatan, seperti mengobrol yang tidak manfaatnya, atau melakukan semua aktifitas di luar amal ketaatan. Begitu juga, seseorang dimakruhkan untuk diam saja, tidak mau berbicara karena menganggap bahwa hal itu termasuk cara mendekatkan diri kepada Allah. Telah disebutkan dalam riwayat Bukhari, bahwa Rasulullah saw pernah menyuruh seseorang bernadzar tidak ingin berbicara dengan siapapun, untuk berbicara.

Yang Membatalkan I’tikaf

I’tikaf dinyatakan batal jika seorang mu’takif keluar dari masjid tanpa alasan dan tanpa keperluan yang dibolehkan, karena Rasulullah saw tidak pernah keluar dari Masjid kecuali untuk kebutuhan manusiawi, seperti makan, jika tidak ada mengantarkan untuknya. Salim mengatakan,

“Adapun makan dan minum beliau, selalu diantarkan kepadanya di tempat I’tikafnya.”

Begitu juga untuk ersuci dari hadats kecil dan berwudhu seperti dikatakan Aisyah ra,

“Sungguh Rasulullah memasukkan kepala beliau kepadaku ketika beliau sedang beri’tikaf di Masjid, lalu aku menyisirnya. Apabila beliau beri’tikaf, maka beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena ada keperluan.”

Selain itu, orang yang beri’tikaf juga tidak oleh melakukan hubungan suami istri, karena larangannya sangat jelas disebutkan dalam Al Qur’an,

“Tetapi jangan kamu campuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu beri’tikaf dalam Masjid (QS. Al Baqarah: 187)

Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar

Bagi wanita mengalami haidh atau nifas ketika sedang I’tikaf, secara otomatis I’tikafnya batal. Dia wajib segera keluar Masjid demi menjaga kesucian dan kebersihan Masjid, begitu pula dengan orang junub sampai ia bersuci.

Pun, jika seoerang wanita ditinggal mati suaminya sedang ia dalam keadaan I’tikaf di Masjid, maka dia wajib meninggalkan Masjid dan dia harus menjalani masa iddahnya di rumah. Dan yang terakhir, bagi orang yang murtad, secara otomatis I’tikafnya juga batal, karena Islam adalah salah satu syarat sahnya I’tikaf.***


Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430  H, 8 Oktober 2009  M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar