Kamis, 19 September 2024

Rasa Ingin Tahu

 

Rasa Ingin Tahu

Oleh Edi Santoso

Rasa Ingin Tahu
Rasa Ingin Tahu

 

(Hal-48) selalu ingin tahu. Begitulah karakter dasar manusia. Karena selalu ingin tahu, hidup manusia berkembang, dengan lahirnya beragam ilmu pengetahuan. Manusia terus tertantang untuk menjawab misteri yang ada dalam dirinya (mikrokosmos) maupun di luar dirinya (makrokosmos). Karena selalu ingin tahu, manusia tak pernah berhenti untuk berpikir, bertanya dan mencoba, sehingga muncul berbagai macam observasi (penelitian) untuk memberikan jawaban-jawaban.

Namun, rasa ingin tahu tak melulu pada persoalan serius seputar hidup manusia, kadang juga pada masalah remeh-temeh, misalnya tentang kehidupan orang lain. Orang lain seringkali bukan siapa-siapa, bukan sanak saudara kita. Mereka mungkin para pesohor, orang-orang yang bertabur popularitas. Kita bisa jadi tak punya urusan dengan mereka, tetapi anehnya kita selalu ingin tahu tentang hidupnya, bahkan sampai hal-hal yang paling pribadi.

Jika rasa ingin tahu yang pertama melahirkan pengetahuan, yang kedua memunculkan pergunjingan. Repotnya, inilah yang diafirmasi oleh media-media yang memburu sensasi. Temanya bisa apa saja, termasuk isu-isu politik atau gossip para pesohor. Faktanya, media-media semacam ini laris manis di pasaran. Larisnya beraneka acara gossip dalam dunia televisi kita menegaskan fakta ini.

Baca Juga: Membaca Bahasa Cinta

Dalam jurnalisme, kegintahuan khalayak dijawab dengan ekslusifitas liputan. Media massa berlomba untuk menjadi yang pertama, atau bahkan satu-satunya yang memiliki akses pada sumber informasi penting. Tentu, ini semua soal uang, muara bagi media pada umumnya di era industrialisasi pers. Semakin ekslusif nara sumber, semakin di buru khalayak, apalagi itu menyangkut sebuah wilayah yang selama ini tertutup atau nyaris tak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya.

Itulah yang menjelaskan tragedi ‘News of The World’. Tabloid dengan tiras (Hal-49) 2,6 juta eksemplar itu terbukti melakukan penyadapan ribuan sambungan telepon pada berbagai strata sosial. Demi berita yang ekslusif, media milik taipan Rupert Murdoch itu melakukan dengan berbagai cara, termasuk dengan menyuap polisi setempat. Tentu, terbongkarnya kasus ini menuai kecaman luas. Beberapa negara seperti Amerika dan Australia pun siaga, khawatir hal serupa juga dilakukan media-media di bawah News Corporation lainnya.

Murdoch, raja media itu,pamornya terjun bebas. Warga Amerika Serikat itu tak lagi dikagumi atau disegani politisi dan publik Inggris. Padahal, taipan kelahiran Australia itu merupakan aktor di balik panggung politik Inggris. Murdoch berpengaruh sejak era Perdana Menteri Margaret Thatcher hingga David Cameron, karena kedekatannya. Orang-orang kepercayaan Murdoch di perusahaan medianya pun satu persatu mengundurkan diri.

Rasa ingin tahu itu pula yang kini dimainkan Nazarudin. Pada kasus korupsi yang pada umumnya gelap, mantan bendahara partai Demokrat itu menyibaknya, sedikit demi sedikit. Terlepas dari benar dan salahnya, Nazarudin memainkan emosi khalayak melalui pesan-pesannya di Blackberry Messeger atau lewat suaranya ditelepon melalui stasiun televisi. Kepentingan media dan Nazar bertemu, sehingga siapa yang lebih memanfaatkan siapa menjadi tidak jelas. Yang sudah jelas, rasa ingin tahu itu selalu menyeruak dalam perbincangan publik.

Pada dasarnya tak ada yang salah dengan rasa ingin tahu. Karena pada sebagian rasa ingin tahu itu ada kontrol sosial. Faktanya, kita menyerahkan otoritas pada orang-orang terpilih, baik eksekutif maupun legislatif, sehingga menjadi wajar, jika kita selalu ingin tahu sejauh mana kepercayaan kita dijalankan. Adalah hak kita untuk mengetahui segala informasi berkaitan dengan nasib kita sebagai warga negara. Karena itu pula, ada Komisi Informasi Publik yang bertugas menjamin keterbukaan informasi. Singkatnya, pada ranah kepentingan publik, rasa ingin tahu itu relevan, bahkan wajib ada.

Lantas bagaimana jika itu menyangkut kehidupan pribadi orang? Cara paling mudah menjawabnya adalah dengan membayangkan jika kita adalah mereka. Bayangkan, jika hidup selalu diawasi, termasuk dalam urusan yang sangat pribadi. Betapa menjijikkan para ‘mata-mata’ itu. Media yang ‘merampok’ privasi jelas tak bisa dibenarkan, tetapi semua juga berawal karena kita, khalayaknya yang gemar menikmati sensasi.

Baca Juga: Interaksi, Variasi dan Harmoni

Mari kita dudukkan ‘rasa ingin tahu’ pada tempatnya. Rasa ingin tahu yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan solusi hidup, bukan pertanyaan yang membawa masalah. Pertanyaan sebagaimana dimaksudkan dalam ungkapan Albert Einstein yang populer,

“The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its owns reason for existing. One cannot help but be in awe when he completes the mysteries of eternity, of life, of marvelous structure of reality. It is enough if one tries merely to comprehend a little of this mystery every day. Never lose a holy curiosity. ***


Majalah Tarbawi, Edisi 257, Th.13 Ramadhan 1432 H, 11 Agustus 2011 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar