Rasa Ingin Tahu
Oleh Edi Santoso
(Hal-48) selalu
ingin tahu. Begitulah karakter dasar manusia. Karena selalu ingin tahu, hidup
manusia berkembang, dengan lahirnya beragam ilmu pengetahuan. Manusia terus
tertantang untuk menjawab misteri yang ada dalam dirinya (mikrokosmos) maupun
di luar dirinya (makrokosmos). Karena selalu ingin tahu, manusia tak pernah
berhenti untuk berpikir, bertanya dan mencoba, sehingga muncul berbagai macam
observasi (penelitian) untuk memberikan jawaban-jawaban.
Namun, rasa ingin tahu tak melulu pada persoalan serius seputar hidup manusia, kadang juga pada masalah remeh-temeh, misalnya tentang kehidupan orang lain. Orang lain seringkali bukan siapa-siapa, bukan sanak saudara kita. Mereka mungkin para pesohor, orang-orang yang bertabur popularitas. Kita bisa jadi tak punya urusan dengan mereka, tetapi anehnya kita selalu ingin tahu tentang hidupnya, bahkan sampai hal-hal yang paling pribadi.
Jika rasa ingin tahu yang
pertama melahirkan pengetahuan, yang kedua memunculkan pergunjingan. Repotnya,
inilah yang diafirmasi oleh media-media yang memburu sensasi. Temanya bisa apa
saja, termasuk isu-isu politik atau gossip para pesohor. Faktanya, media-media
semacam ini laris manis di pasaran. Larisnya beraneka acara gossip dalam dunia
televisi kita menegaskan fakta ini.
Baca Juga: Membaca Bahasa Cinta
Dalam jurnalisme,
kegintahuan khalayak dijawab dengan ekslusifitas liputan. Media massa berlomba
untuk menjadi yang pertama, atau bahkan satu-satunya yang memiliki akses pada
sumber informasi penting. Tentu, ini semua soal uang, muara bagi media pada
umumnya di era industrialisasi pers. Semakin ekslusif nara sumber, semakin di
buru khalayak, apalagi itu menyangkut sebuah wilayah yang selama ini tertutup
atau nyaris tak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya.
Itulah yang menjelaskan
tragedi ‘News of The World’. Tabloid dengan tiras (Hal-49) 2,6 juta eksemplar itu terbukti
melakukan penyadapan ribuan sambungan telepon pada berbagai strata sosial. Demi
berita yang ekslusif, media milik taipan Rupert Murdoch itu melakukan dengan
berbagai cara, termasuk dengan menyuap polisi setempat. Tentu, terbongkarnya
kasus ini menuai kecaman luas. Beberapa negara seperti Amerika dan Australia
pun siaga, khawatir hal serupa juga dilakukan media-media di bawah News
Corporation lainnya.
Murdoch, raja media
itu,pamornya terjun bebas. Warga Amerika Serikat itu tak lagi dikagumi atau
disegani politisi dan publik Inggris. Padahal, taipan kelahiran Australia itu
merupakan aktor di balik panggung politik Inggris. Murdoch berpengaruh sejak
era Perdana Menteri Margaret Thatcher hingga David Cameron, karena
kedekatannya. Orang-orang kepercayaan Murdoch di perusahaan medianya pun satu
persatu mengundurkan diri.
Rasa ingin tahu itu pula
yang kini dimainkan Nazarudin. Pada kasus korupsi yang pada umumnya gelap,
mantan bendahara partai Demokrat itu menyibaknya, sedikit demi sedikit. Terlepas
dari benar dan salahnya, Nazarudin memainkan emosi khalayak melalui
pesan-pesannya di Blackberry Messeger atau lewat suaranya ditelepon
melalui stasiun televisi. Kepentingan media dan Nazar bertemu, sehingga siapa
yang lebih memanfaatkan siapa menjadi tidak jelas. Yang sudah jelas, rasa ingin
tahu itu selalu menyeruak dalam perbincangan publik.
Pada dasarnya tak ada yang
salah dengan rasa ingin tahu. Karena pada sebagian rasa ingin tahu itu ada
kontrol sosial. Faktanya, kita menyerahkan otoritas pada orang-orang terpilih,
baik eksekutif maupun legislatif, sehingga menjadi wajar, jika kita selalu
ingin tahu sejauh mana kepercayaan kita dijalankan. Adalah hak kita untuk
mengetahui segala informasi berkaitan dengan nasib kita sebagai warga negara. Karena
itu pula, ada Komisi Informasi Publik yang bertugas menjamin keterbukaan
informasi. Singkatnya, pada ranah kepentingan publik, rasa ingin tahu itu
relevan, bahkan wajib ada.
Lantas bagaimana jika itu
menyangkut kehidupan pribadi orang? Cara paling mudah menjawabnya adalah dengan
membayangkan jika kita adalah mereka. Bayangkan, jika hidup selalu diawasi,
termasuk dalam urusan yang sangat pribadi. Betapa menjijikkan para ‘mata-mata’
itu. Media yang ‘merampok’ privasi jelas tak bisa dibenarkan, tetapi semua juga
berawal karena kita, khalayaknya yang gemar menikmati sensasi.
Baca Juga: Interaksi, Variasi dan Harmoni
Mari kita dudukkan ‘rasa
ingin tahu’ pada tempatnya. Rasa ingin tahu yang melahirkan
pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan solusi hidup, bukan pertanyaan yang membawa
masalah. Pertanyaan sebagaimana dimaksudkan dalam ungkapan Albert Einstein yang
populer,
“The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its owns reason for existing. One cannot help but be in awe when he completes the mysteries of eternity, of life, of marvelous structure of reality. It is enough if one tries merely to comprehend a little of this mystery every day. Never lose a holy curiosity. ***
Majalah Tarbawi, Edisi 257, Th.13 Ramadhan 1432 H, 11 Agustus 2011 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar