Selasa, 27 Agustus 2024

Masihkah Dapat Hidup Nyaman Di Kota Besar ?

 

Masihkah Dapat Hidup Nyaman Di Kota Besar ? 

Oleh  Haryo Setyoko

“I have an affection for great city. I feel safe in the neighborhood of man, and enjoy the sweet security of streets.”

(Hendry Wadsworth Longfellow, (1807-1882),

Pendidik dan Penulis puisi di Amerika Serikat)

Masihkah Dapat Hidup Nyaman Di Kota Besar
Masihkah Dapat Hidup Nyaman Di Kota Besar


(Hal-70) Hidup nyaman di kota besar tentu menjadi impian semua orang. Di kota besar, banyak orang membayangkan akan mendapatkan kehidupan yang makmur, gampang mencari uang, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang maju, dan kesenangan-kesenangan lainnya. Memang masuk akal, karena kota-kota besar biasanya merupakan pusat kegiatan ekonomi, di mana di dalamnya terdapat putaran uang dalam jumlah yang sangat besar. Namun demikian, bukan hanya masalah kesenangan semata. Kota besar juga penuh dengan persoalan sosial, mulai dari kesenjangan ekonomi, tingginya angka kriminalitas, mere (Hal-71) bak kawasan kumuh, polusi udara, buruknya sarana dan prasarana transportasi, dan berbagai masalah lainnya.

Meski begitu, ibarat gula, kota besar tetap mampu menarik “semut-semut” dar desa atau daerah migran lainnya untuk memperebutkannya. Menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, perkembangan penduduk di kota-kota besar di Indonesia akan meningkat dua kali lipat pada 2025 nanti.

Hingga saat ini, 50 persen penduduk Indonesia tersebar di beberapa kota besar di pulau-pulau utama, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Pesatnya pertumbuhan penduduk di kota-kota besar tersebut ironisnya tidak dibarengi dengan manajemen atau tata kelola lingkungan yang baik dari pemerintah lokal setempat. Kalau hal ini dibiarkan, akan berakibat semakin turunnya kualitas lingkungan hidup dan tingkat kenyamanan. Ruang terbuka di kota besar seperti jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan telah berkurang dari 35 persen di awal 1970-an, kini kondisinya sudah tinggal sekitar 10 persen. Semua itu akibat adanya konversi tanah menjadi pusat-pusat perdagangan, pusat jasa, pelebaran infrastruktur transportasi, serta pusat-pusat pemukiman.

Dampak sosial dengan semakin mengecilnya ruang terbuka tersebut antara lain, ruang untuk bersosialisasi masyarakat atau penghuni kota pun semakin sempit. Masyarakat sekarang sudah sangat sulit untuk saling bertemu, melepaskan ketegangan dari rutinitas kota yang padat. 

Demikian pula dengan anak-anak. Mereka juga semakin sulit menemukan ruang bermain yang baik sebagai sarana bersosialisasi, karena situasi kota yang dianggap semakin tidak aman bagi mereka. Akibatnya mereka tertahan bermain di rumah, sehingga pilihan-pilihan medium bermain pun menjadi terbatas. Sebagian orang tua khawatir dengan kondisi tersebut, apalagi sarana satu-satunya (Hal-72) yang mereka sukai adalah menghabiskan waktu  bermain mereka seharian di depan televisi.

Baca Juga: Mungkinkah Masjid Al Aqsha Runtuh

Kondisi infrastruktur jalan juga menjadi ukuran kenyamanan hidup di kota besar. Kalau tidak segera mendapatkan penanganan yang serius, maka lima kota besar di Indonesia terancam kemacetan total (gridlock) pada 2015-2025. Kondisi itu akan diawali oleh DKI Jakarta pada 2014, kemudian disusul oleh lima kota besar lainnya, yaitu Bandung, Surabaya, Medan, Makassar dan Semarang. Berdasarkan hasil kompilasi studi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memperlihatkan kecepatan kendaraan di Bandung pada 2009 hanya 18,81 kilometer per jam. 

Jakarta sudah mencapai 20 kilometer per jam, sedangkan Surabaya rata-rata kecepatan kendaraan masih 25 kilometer per jam. Jika tidak serius ditangani akan menjadi alternatif utama, karena bisa lebih cepat dibandingkan naik kendaraan.

Selain kondisi jalan yang semakin padat, angka kecelakaan dan kematian di jalan raya di kota besar juga termasuk tertinggi. Menurut data dari Departemen Perhubungan, terjadi sekitar 30 ribu kematian akibat kecelakaan lalu pada 2008 lalu. Fenomena jalan sebagai “pembunuh” baru pun ternyata menjadi trend di seluruh dunia. WHO (World Health Organization) melaporkan bahwa setiap tahunnya, lebih dari 1,3 juta manusia meninggal di jalan raya, sedangkan 20-50 juta lainnya terluka. 

Jumlah angka tersebut setara dengan angka kematian yang disebabkan oleh pandemik penyakit HIV/AIDS, Malaria, atau paru-paru. Yang lebih mengejutkan lagi, sebagian besar korban yang jatuh tersebut berasal dari kalangan muda atau usia produktif. Laporan yang berjudul Youth and Road Safety mengungkapkan bahwa hampir 400.000 anak muda di bawah usia 25 tahun tewas dalam kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya. Jutaan lainnya terluka atau cacat.

Kota Besar dan Kualitas Hidup yang Baik

Pada 2009, Economics Intelligence Unit melaporkan hasil asesmen mereka terhadap 140 kota besar untuk menentukan seberapa nyaman dan berkualitas kota tersebut. Penilaiannya berdasarkan pada beberapa kategori utama, seperti politik dan lingkungan sosial (stabilitas politik, kriminalitas, penegakan hukum), lingkungan ekonomi (nilai tukar, pelayanan perbankan), lingkungan sosial budaya (kebebasan sponsorship), sanitasi dan kesehatan (pelayanan kesehatan, penyakit menular, saluran pembuangan, polusi udara), sekolah dan pendidikan (akses dan ketersediaan sekolah, sekolah internasional), palayanan publik dan transportasi (Listrik, air bersih, transportasi publik, kepadatan lalu lintas), sarana rekreasi (restoran, bioskop, teater, pusat olahraga dan hiburan lainnya).

Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar

Hasilnya secara umum kota-kota besar di Amerika dan Eropa jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Asia dan Afrika. Survey mereka  memberi catatan, kota di Asia dan Afrika tidak memuaskan karena persoalan ketidakstabilan politik ekonomi dan miskinnya infrastruktur perkotaaan. Singapura masih menjadi kota terbaik di negara-negara Asia Tenggara, jauh melampaui Kuala Lumpur dan Jakarta yang masing-masing menduduki peringkat 79 dan 123. 

Ranking tertinggi kota-kota di Asia Tenggara antara lain, Osaka (13) dan Tokyo (bersama Frankfurt di peringkat 19), Hong Kong (bersama Madrid di peringkat 39), Singapura (54) dan Seoul (58). Peringkat paling rendah di Asia Tenggara diduduki oleh Pnom Penh Kamboja, yang ada di peringkat 128.

Sementara itu, terdapat penelitian yang dilakukan Ikatan Ahli Perencana (IAP), sebuah organisasi profesi bidang perencanaan wilayah dan kota. Organisasi ini melakukan penelitian terhadap persepsi warga kota mengenai tingkat kenyamanan tinggal di kota di Indonesia pada 2009 lalu. Penelitian tersebut dilakukan di 12 kota yakni Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya Karta, Surabaya, Banjarmasin, Pontianak, Palangkaraya, Makasar, Manado dan Jayapura.

 Kriteria yang dijadikan sebagai dasar penilaian kota-kota besar dunia di atas, yaitu kualitas penataan ruang, jumlah ruang terbuka, kualitas angkutan umum, perlindungan bangunan sejarah, kebersihan, pencemaran, kondisi jalan, fasilitas pejalan kaki, kaum diffable, kesehatan, pendidikan, air bersih, jaringan komunikasi, pelayanan publik, hubungan antar penduduk, listrik, fasilitas rekreasi. Hasilnya, kota Yogyakarta menduduki ranking tertinggi, di susul Manado, Makassar, Bandung, Jayapura, Banjarmasin, Semarang, Medan, Palangkaraya,Jakarta, dan Pontianak sebagai juru kuncinya.

Memang, kota yang bisa memuaskan seluruh penghuninya akan semakin menemukan tingkat ideal atas keberadaannya itu. Sebuah kota seharusnya dirancang uuntuk mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan warganya, khususnya masalah keamanan. 

Sejarah juga menuliskan bahwa banyak kota-kota di dunia dibangun pada tempat yang tinggi dan terlindung serta dekat dengan sumber air bersih, agar hidup para penghuninya jauh dari ancman, baik dari gangguan musuh atau bencana alam, misalnya banjir. Bagi kota-kota di negara-negara yang berada di bawah permukaan laut, seperti Amsterdam, maka membangun kanal-kanal yang kuat dari terjangan air laut merupakan jaminan atas keamanan hidup para penduduknya.

Hampir sebagian besar kota di Eropa, Amerika dan Australia sejak dirancang dengan baik, agar seiring berjalannya waktu tetap mampu menampung pertumbuhan dan perkembangan jaman. Canberra, sebuah daratan lembah di wilayah selatan Benua Australia dipilih sebagai jawaban atas kebutuhan Australia terhadap ibu kota sebagai pusat pemerintahan.

Baca Juga: BiarkanAirnya Menetes

(Hal-74) Blueprint pembangunan kota Canberra diawali dengan perlombaan desain kota, yang dimenangkan oleh sepasang arsitek asal Chicago Amerika Seerikat, Walter Burley Griffin dan Masion Mahony Griffin dan pembangunannya dimulai dari tahun 1913. Lanskap kota yang sekarang ini ada, merupakan desain yang secara konsisten disusun pada waktu hampir satu abad yang lampau. Bagi mereka yang  pernah menyaksikan secara langsung, tentu akan mengakui betapa tertatanya kota tersebut. Awalnya kota tersebut direncanakan didiami 25 ribu penduduk, namun ternyata saat ini sudah berkembang mencapai 315 ribu penduduk. 

Meskipun jumlah penduduk bertambah, namun tidak boleh ada yang membangun bangunan di sembarang tempat, jika memang tidak ada peruntukannya; dan memang ijin pendirian bangunan sangat sulit di dapatkan. Selain itu, kombinasi antara sistem transportasi yang baik dan ruang terbuka hijau tidak hanya menghasilkan pemandangan kota yang indah saja, namun juga mampu menciptakan pola hidup sehat, aman, dan dengan mudah mengakses tujuan kemanapun orang mau.

Creating Value: Kebijakan Tata Kelola Kota

Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kota, maka arus pendatang dari daerah pinggiran atau desa untuk mencari penghidupan yang lebih baik semakin deras. Namun, persoalan sosial tersebut jarang diantisipasi dengan tepat oleh pemerintah kota yang ada. Hal ini pernah terjadi di Inggris dan di banyak negara pada abad ke-18 atau bahkan pada sekarang ini, di mana transformasi dari masyarakat pertanian menuju masyarakat pertanian menuju masyarakat industri meyebabkan kesulitan dalam proses adaptasi dengan kehidupan kota. 

Para pakar ilmu sosial menegaskan bahwa banyak kebijakan perencanaan kota mengabaikan ketegangan-ketegangan personal, yang menekan mereka untuk  dalam kondisi yang tidak biasanya mereka alamai dalam kehidupan normalnya. Akhirnya banyak di antara mereka  yang merasa tidak nyaman meskipun mereka hidup dalam rumah mereka masing-masing. Tentu situasi itu dapat memunculkan ketegangan sosial baru diantara mereka.

Sebenarnya, pembangunan kota mengintegrasikan perencanaan penggu- (Hal-75) naan lahan dan perencanaan transportasi dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat penghuni kota tersebut. Kebijakan pengelolaan tata kota yang tepat tentu sangat memperhatikan karakter kota, identitas lokal, penghormatan terhadap warisan, leluhur, hak-hak pejalan kaki, lalu lintas, dan sebagainya. Dengan memperhatikan itu semua, maka benturan atau ketegangan antara kebutuhan pertumbuhan kota yang pesat dengan kualitas hidup para penghuninya dapat diminimalisir. Inilah ruh yang memberikan kebanggaan bagi kota dan para pembangunnya. Hugh Newell Jacobsen, seorang arsitek terkenal asal Amerika Serikat menggambarkannya dalam sebuah ungkapan,

“When you look at city, it’s like reading the hopes, aspirations and pride of everyone who built it.”

Baca Juga: Saling Mengingatkan tentang Niat

Akhirnya, merujuk kepada kata-kata Jacobsen di atas, setiap kota seharusnya mempunyai kebanggaan atau harapan, entah apa pun bentuknya. Ada yang bangga karena prestasi, bangga karena sejarah besar kotanya, atau bahkan bangga karena banyaknya pusat perdagangan yang menggerakkan ekonomi. Itu semua menjadi value atau nilai untuk bisa menjaga dan melestarikannya. Yang menjadi masalah adalah apabila penduduknya tidak mempunyai kebanggaan dan harapan sama sekali kepada kotanya tersebut. Jika itu terjadi, maka kota ibaratnya hanyalah sebuah rumah tempat lahir, hidup dan mati, tanpa ada makna sama sekali. ***



Majalah Tarbawi, Edisi 233 Th 12, Sya’ban 1431 H, 29 Juli 2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar