Minggu, 09 Juni 2024

Badai Menghantam Veteran AS, Cermin Kehebatan yang Hanya di Layar Film

 

Badai Menghantam Veteran AS, Cermin Kehebatan yang Hanya di Layar Film

Oleh M Lili Nur Aulia

 

(Hal-32) Pasukan digdaya AS menginjak tahun keenam kehadirannya di Irak. Lima tahun Silam, mereka hadir dengan penuh rasa kemenangan dan kesombongan. Mereka datang dengan bangga bersama sekutu militernya, Inggris, Prancis, Jerman yang di dukung ragam peralatan militer modern untuk menumpas kekuatan senjata penghancur massal Irak yang ternyata tak kunjung terbukti. Kini setelah enam tahun, pasukan AS sedikit banyak telah menerima “hasil” keberadaan mereka selama di Irak.

Badai Menghantam Veteran AS, Cermin Kehebatan yang Hanya di Layar Film
Badai Menghantam Veteran AS, Cermin Kehebatan yang Hanya di Layar Film

(Hal-33) Ternyata kebesaran nama tentara AS mungkin hanya tinggal di layar film action. Ribuan veteran AS asal Afganistan dan Irak menjadi korban dan sisanya menderita depresi dahsyat adalah buktinya. Minimal tentara AS kehilangan 4.000 pasukannya di Irak. Bila digabungkan jumlah pasukan yang tewas di Irak dan Afganistan sejak tahun 2001, maka jumlahnya lebih dari 60.000 orang. Benar-benar jumlah yang fantastis untuk ukuran pasukan AS yang selama ini merasa digdaya dengan kekuatannya. Sementara masih ribuan orang tentara AS veteran Iran dan Afganistan yang mengalami depresi hingga berdampak kasus bunuh diri di antara mereka yang jumlahnya terus bertambah.

Yang baru dalam hal ini adalah bahwa kemajuan teknologi kedokteran dan teknologi modern yang dimiliki AS, justru memiliki andil lebih besar memperpanjang kesengsaraan ribuan veteran AS yang masih hidup. Mereka terus menerus hidup dalam kungkungan penyakit fisik dan mental selama dalam tugas, mendapatkan kesulitan yang luar biasa di negaranya untuk mendapatkan terapi maupun pengobatan. Menunggu antri pengobatan yang sangat lama, perawatan yang tidak teratur, pengobatan yang tidak jarang menguras kantong para veteran, menambah beban ekonomi dan sosial yang begitu berat (Hal-34) bagi mereka.

Diperkirakan sepanjang tahun 2008 ini saja ada 300 ribu pasukan AS yang pulang dari Irak dan Afganistan. Pemerintah AS menggelontorkan dana pengobatan mereka sebesar 650 miliar dolar. Penyakit yang paling banyak di derita adalah depresi atau keguncangan jiwa yang tersebar di rata-rata pasukan veteran. Disebutkan pula dalam laporan resmi AS, bahwa kondisi depresi itu melanda 38% para veteran, bahkan 50% dari pasukan khusus AS yang ditugaskan di Irak dan Afganistan, mengalami guncangan jiwa yang serius.

Selain itu, penyakit yang mewabah di kalangan pasukan adalah penyakit tekanan darah tinggi. Setelah didiagnosa, penyakit ini termasuk sudah dalam stadium akut yang mengakibatkan emosi seseorang sudah sangat sulit dikontrol, kemarahan besar yang tiba-tiba, hingga kesulitan berjalan dan kesulitan bicara. Total pasukan yang mengalami penyakit ini dalam tahun 2008 sudah lebih dari 4.200 orang, dan seluruhnya dirawat inap jangka panjang di rumah sakit. Masih ada ribuan pasukan lagi yang menderita penyakit yang sama, tapi tidak terdata mengingat mereka melakukan pengobatan sendiri di berbagai rumah sakit.

Baca Juga: Ketika Media Menjadi Hakim 

Dilaporkan, satu dari lima pasukan yang pulang dari tugas militer, mengalami penyakit darah tinggi yang seperti ini. Dalam survey medis, disimpulkan, para penderita umumnya pernah ditugaskan menanam bom di sisi jalan di Afganistan dan Irak. Sebagian lain pernah menerima instruksi pembunuhan dengan senjata yang ada di tangannya, atau menyaksikan rekan tentaranya yang tewas dan terluka di Irak maupun Afganistan.

Secara ekonomi, kehidupan para veteran juga memprihatinkan. Kebanyakan mereka hidup di rumah sederhana yang kecil dan mengalami kesulitan ekonomi. The National Alliance to End Homelessness, LSM yang mengawasi kondisi perumahan veteran AS menyebutkan,”Ribuan pasukan veteran AS bahkan mendekati jumlah satu juta orang, hidup tanpa memiliki tempat tinggal yang layak di tahun 2006. Rincinya, ada 194.254 pasukan yang bahkan tidak mempunyai rumah dan tinggal di tepi-tepi jalan.

Pemerintah AS pun sudah berusaha mengatasi soal ini dengan memberikan 15 ribu rumah sederhana, ditambah bantuan dari yayasan sosial AS yang membangunkan sekitar 8.000 rumah untuk para veteran AS. Dengan bantuan rumah itu, berarti masih ada ribuan orang pasukan yang tidak memiliki rumah dan terancan dideportasi karena kehidupan mereka di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 43% para veteran AS berupaya meminta bantuan makanan dari pemerintah karena sangat sulit mencari makan. Mereka umumnya juga kehilangan dukungan keluarga, hidup tanpa teman, dan menyewa rumah-rumah kecil sangat murah. Masalahnya lagi, mayoritas veteran itu adalah pasukan yunior yang usiannya masih sangat muda, yakni kisaran 17 atau 18 tahun.

Mereka mendaftar sebagai tentara karena tekanan ekonomi yang sangat buruk. Ada data lain yang makin membuat citra pasukan AS terpuruk. Data itu berasal dari Departemen Kehakiman AS yang menjelaskan bahwa (Hal-35) 12% napi kini yang berada di balik penjara AS, dari total 7 juta napi, adalah mantan tentara. Dan empat dari lima orang napi itu dipenjara karena terlibat kasus narkotika. Benar-benar rangkaian data yang menghancurkan.

Krisis paling hebat yang menanti pasukan perang AS ini, bukan pada kondisi depresi, darah tinggi hingga lilitan kesulitan ekonomi yang begitu mencekik. Tapi krisis dahsyat adalah kemungkinan mereka akan tetap menerima instruksi militer ke medan perang lainnya, meski mereka mengalami kondisi-kondisi yang memprihatinkan itu. AS benar-benar membutuhkan tenaga mereka untuk tugas militer ke berbagai tempat, dan karenanya bahkan militer AS membuka pendaftaran militer dengan syarat yang ringan hingga membolehkan orang-orang sakit bahkan orang-orang kriminil untuk bergabung.

Baca Juga: Kekuatan Bahasa 

Penthagon kemudian mengeluarkan kebijakan yang memperpanjang tugas militer dan tidak mudah memberikan izin untuk cuti. Dalam kondisi seperti  ini, para pasukan AS itu memang sangat terjepit. Sebagian mereka memilih keluat dari tugas Militer, dan sebagian mereka bahkan lebih memilih... bunuh diri.

Naomi Spencer pengamat militer AS terkenal sudah lama resah dengan kondisi kekacauan yang dialami tentara AS di Irak dan Afganistan. Ia mengutip pernyataan dari keluarga para veteran, antara lain seorang ibu yang bercerita tentang anaknya,

“Usianya belum sampai 25 tahun. Ia mengalami depresi akut. Ia pernah bercerita bahwa dirinya hidup 365 hari dalam satu tahun di bawah dentuman bom, roket, mortir di jalan-jalan. Ia juga mengaku menyaksikan banyak rekan-rekannya yang mati. Setiap hari hidup dalam kegalauan yang semakin lama semakin parah. Ia mengaku lebih baik mati bunuh diri daripada kembali ditugaskan.

Baca Juga: Cerita yang Mempersatukan 

Seperti inilah kondisi tentara Negara digdaya Amerika Serikat. Ya, mungkin mereka terhindar dari kematian yang cepat di medan perang. Tapi Allah Swt mendatangkan kematian atas mereka dengan cara perlahan-lahan. Tanpa mereka rasakan. Sampai, bila mereka pun tidak mati dengan cara perlahan melalui penyakit, banyak dari mereka akhirnya pun bunuh diri. ***


Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429  H, 11 September  2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar