Badai Menghantam Veteran AS, Cermin Kehebatan yang Hanya di Layar Film
Oleh M Lili
Nur Aulia
(Hal-32) Pasukan
digdaya AS menginjak tahun keenam kehadirannya di Irak. Lima tahun Silam,
mereka hadir dengan penuh rasa kemenangan dan kesombongan. Mereka datang dengan
bangga bersama sekutu militernya, Inggris, Prancis, Jerman yang di dukung ragam
peralatan militer modern untuk menumpas kekuatan senjata penghancur massal Irak
yang ternyata tak kunjung terbukti. Kini setelah enam tahun, pasukan AS sedikit
banyak telah menerima “hasil” keberadaan mereka selama di Irak.
![]() |
Badai Menghantam Veteran AS, Cermin Kehebatan yang Hanya di Layar Film |
(Hal-33) Ternyata kebesaran nama tentara AS mungkin hanya tinggal di layar film action. Ribuan veteran AS asal Afganistan dan Irak menjadi korban dan sisanya menderita depresi dahsyat adalah buktinya. Minimal tentara AS kehilangan 4.000 pasukannya di Irak. Bila digabungkan jumlah pasukan yang tewas di Irak dan Afganistan sejak tahun 2001, maka jumlahnya lebih dari 60.000 orang. Benar-benar jumlah yang fantastis untuk ukuran pasukan AS yang selama ini merasa digdaya dengan kekuatannya. Sementara masih ribuan orang tentara AS veteran Iran dan Afganistan yang mengalami depresi hingga berdampak kasus bunuh diri di antara mereka yang jumlahnya terus bertambah.
Yang baru
dalam hal ini adalah bahwa kemajuan teknologi kedokteran dan teknologi modern
yang dimiliki AS, justru memiliki andil lebih besar memperpanjang kesengsaraan
ribuan veteran AS yang masih hidup. Mereka terus menerus hidup dalam kungkungan
penyakit fisik dan mental selama dalam tugas, mendapatkan kesulitan yang luar
biasa di negaranya untuk mendapatkan terapi maupun pengobatan. Menunggu antri
pengobatan yang sangat lama, perawatan yang tidak teratur, pengobatan yang
tidak jarang menguras kantong para veteran, menambah beban ekonomi dan sosial
yang begitu berat (Hal-34) bagi
mereka.
Diperkirakan
sepanjang tahun 2008 ini saja ada 300 ribu pasukan AS yang pulang dari Irak dan
Afganistan. Pemerintah AS menggelontorkan dana pengobatan mereka sebesar 650
miliar dolar. Penyakit yang paling banyak di derita adalah depresi atau
keguncangan jiwa yang tersebar di rata-rata pasukan veteran. Disebutkan pula
dalam laporan resmi AS, bahwa kondisi depresi itu melanda 38% para veteran, bahkan
50% dari pasukan khusus AS yang ditugaskan di Irak dan Afganistan, mengalami
guncangan jiwa yang serius.
Selain itu,
penyakit yang mewabah di kalangan pasukan adalah penyakit tekanan darah tinggi.
Setelah didiagnosa, penyakit ini termasuk sudah dalam stadium akut yang
mengakibatkan emosi seseorang sudah sangat sulit dikontrol, kemarahan besar
yang tiba-tiba, hingga kesulitan berjalan dan kesulitan bicara. Total pasukan
yang mengalami penyakit ini dalam tahun 2008 sudah lebih dari 4.200 orang, dan
seluruhnya dirawat inap jangka panjang di rumah sakit. Masih ada ribuan pasukan
lagi yang menderita penyakit yang sama, tapi tidak terdata mengingat mereka
melakukan pengobatan sendiri di berbagai rumah sakit.
Baca Juga: Ketika Media Menjadi Hakim
Dilaporkan,
satu dari lima pasukan yang pulang dari tugas militer, mengalami penyakit darah
tinggi yang seperti ini. Dalam survey medis, disimpulkan, para penderita
umumnya pernah ditugaskan menanam bom di sisi jalan di Afganistan dan Irak. Sebagian
lain pernah menerima instruksi pembunuhan dengan senjata yang ada di tangannya,
atau menyaksikan rekan tentaranya yang tewas dan terluka di Irak maupun
Afganistan.
Secara
ekonomi, kehidupan para veteran juga memprihatinkan. Kebanyakan mereka hidup di
rumah sederhana yang kecil dan mengalami kesulitan ekonomi. The National
Alliance to End Homelessness, LSM yang mengawasi kondisi perumahan veteran AS
menyebutkan,”Ribuan pasukan veteran AS bahkan mendekati jumlah satu juta orang,
hidup tanpa memiliki tempat tinggal yang layak di tahun 2006. Rincinya, ada
194.254 pasukan yang bahkan tidak mempunyai rumah dan tinggal di tepi-tepi
jalan.
Pemerintah
AS pun sudah berusaha mengatasi soal ini dengan memberikan 15 ribu rumah
sederhana, ditambah bantuan dari yayasan sosial AS yang membangunkan sekitar
8.000 rumah untuk para veteran AS. Dengan bantuan rumah itu, berarti masih ada
ribuan orang pasukan yang tidak memiliki rumah dan terancan dideportasi karena
kehidupan mereka di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 43% para veteran AS
berupaya meminta bantuan makanan dari pemerintah karena sangat sulit mencari
makan. Mereka umumnya juga kehilangan dukungan keluarga, hidup tanpa teman, dan
menyewa rumah-rumah kecil sangat murah. Masalahnya lagi, mayoritas veteran itu
adalah pasukan yunior yang usiannya masih sangat muda, yakni kisaran 17 atau 18
tahun.
Mereka
mendaftar sebagai tentara karena tekanan ekonomi yang sangat buruk. Ada data
lain yang makin membuat citra pasukan AS terpuruk. Data itu berasal dari
Departemen Kehakiman AS yang menjelaskan bahwa (Hal-35)
12% napi kini yang berada di balik penjara AS, dari total 7 juta napi, adalah
mantan tentara. Dan empat dari lima orang napi itu dipenjara karena terlibat
kasus narkotika. Benar-benar rangkaian data yang menghancurkan.
Krisis
paling hebat yang menanti pasukan perang AS ini, bukan pada kondisi depresi,
darah tinggi hingga lilitan kesulitan ekonomi yang begitu mencekik. Tapi krisis
dahsyat adalah kemungkinan mereka akan tetap menerima instruksi militer ke
medan perang lainnya, meski mereka mengalami kondisi-kondisi yang
memprihatinkan itu. AS benar-benar membutuhkan tenaga mereka untuk tugas
militer ke berbagai tempat, dan karenanya bahkan militer AS membuka pendaftaran
militer dengan syarat yang ringan hingga membolehkan orang-orang sakit bahkan
orang-orang kriminil untuk bergabung.
Penthagon
kemudian mengeluarkan kebijakan yang memperpanjang tugas militer dan tidak
mudah memberikan izin untuk cuti. Dalam kondisi seperti ini, para pasukan AS itu memang sangat
terjepit. Sebagian mereka memilih keluat dari tugas Militer, dan sebagian
mereka bahkan lebih memilih... bunuh diri.
Naomi
Spencer pengamat militer AS terkenal sudah lama resah dengan kondisi kekacauan
yang dialami tentara AS di Irak dan Afganistan. Ia mengutip pernyataan dari
keluarga para veteran, antara lain seorang ibu yang bercerita tentang anaknya,
“Usianya
belum sampai 25 tahun. Ia mengalami depresi akut. Ia pernah bercerita bahwa
dirinya hidup 365 hari dalam satu tahun di bawah dentuman bom, roket, mortir di
jalan-jalan. Ia juga mengaku menyaksikan banyak rekan-rekannya yang mati.
Setiap hari hidup dalam kegalauan yang semakin lama semakin parah. Ia mengaku
lebih baik mati bunuh diri daripada kembali ditugaskan.
Baca Juga: Cerita yang Mempersatukan
Seperti inilah kondisi tentara Negara digdaya Amerika Serikat. Ya, mungkin mereka terhindar dari kematian yang cepat di medan perang. Tapi Allah Swt mendatangkan kematian atas mereka dengan cara perlahan-lahan. Tanpa mereka rasakan. Sampai, bila mereka pun tidak mati dengan cara perlahan melalui penyakit, banyak dari mereka akhirnya pun bunuh diri. ***
Majalah Tarbawi Edisi 187 Th. 10, Ramadhan 1429 H, 11 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar