Jumat, 16 Agustus 2024

Mengakhiri Kesendirian Setelah I’tikaf

 

Mengakhiri Kesendirian Setelah  I’tikaf 

Oleh Ahmad Zairofi AM dan Rahmat Ubaidillah

Mengakhiri Kesendirian Setelah  I’tikaf
Mengakhiri Kesendirian Setelah  I’tikaf


(Hal-21)  I’tikaf bagi Miftahuddin (31) adalah lompatan besar. Hidupnya berproses, tangga demi tangga bersama I’tikaf. Mulanya kesadaran, sesudah itu perasaan bergantung kepada Allah yang mendalam. Kesendiriannya sebagai seorang bujangan, pun ia akhiri dengan memintanya kepada Allah, melalui I’tikaf.

Kepada Tarbawi ia mengisahkan, bahwa sejak tahun 2002, ia sudah terbiasa melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan. Waktu itu, ia masih bekerja di daerah Citeurup pada bagian maintenance di sebuah pabrik yang cukup ternama. Kebiasaan i’tikaf itu karena pengaruh lingkungan tempat di mana ia kost. Bersama teman-teman satu kost, miftahuddin sering mengikuti pengajian rutin di Masjid terdekat. Dari situ rasa keislamannya tergugah. Ia tersadar, bahwa selama ini dirinya banyak melalaikan perintah Allah. Rasa dahaga terhadap pemahaman agama membuat Miftahuddin banyak membaca buku-buku Islam. Rajin menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah, termasuk sunnah i’tikaf.

Kamis, 15 Agustus 2024

Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf

 

Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf 

Oleh Ahmad Zairofi AM dan Purwanti 

Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf
Meminta Buah Hati di Malam-Malam I’tikaf

   

(Hal-12)  Bagi Perempuan ini, bertutur tentang pengalaman I’tikaf membelah lagi segala perasaan hatinya. Betapa tidak, permintaannya untuk segera mendapatkan buah hati, terasa terkabul melalui I’tikaf. Tapi Bersama itu ada duka sangat mendalam: suaminya tidak sempat melihat kehadirn anak tercinta yang mereka  rindukan Bersama untuk segera hadir.

Rohimah Fadlah (31), seorang guru Sekolah Menengah Pertama, di Jakarta. Kala itu, belum lama menikah, menanti buah hati, dalam situasi rintisan kebersamaan membangun rumah tangga, rasanya Bahagia tak punya kesudahan kiranya. Sepertinya semua kisah ini baru saja mulai. Dan tiba-tiba begitu cepat harus selesai.

Membangunkan Kekuatan Zakat Indonesia

 

Membangunkan Kekuatan Zakat Indonesia 

Oleh  Ahmad Juwaini

Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa Republika  

Membangunkan Kekuatan Zakat Indonesia
Membangunkan Kekuatan Zakat Indonesia


(Hal-54)  Zakat adalah ajaran Islam yang pernah mewarnai sejarah perkembangan Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw, sampai kepada generasi sahabat dan para khalifah sesudahnya. Zakat pernah membuktikan telah menjadi salah satu faktor penting mengatasi kemiskinan. Sebagaimana pernah terjadi pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, sehingga dalam waktu singkat telah mampu memberantas kemiskinan.

Zakat sebagai sumber daya ekonomi umat yang besar akan senantiasa hadir dengan kekuatannya manakala dikelola dengan tepat. Pengelolaan zakat yang bersifat individualis dan sesaat menyebabkan zakat tidak dapat dimobilisasi dan didayagunakan dalam rangka mendanai keperluan strategis umat.

I’tikaf yang Membuka Pintu Rezeki

I’tikaf yang Membuka Pintu Rezeki 

Oleh  Purwanti    

I’tikaf yang Membuka Pintu Rezeki
I’tikaf yang Membuka Pintu Rezeki


(Hal-17)  Keyakinan akan janji Allah terus ia tempa. Bahwa seorang yang cacat seperti dirinya pun, pasti punya jalan lain untuk tetap mendapat rezeki. Sebab rezeki tak semata jatah orang-orang yang bertubuh sempurna.

Dadan Rusmawan (30), lelaki yang ditakdirkan cacat kedua kakinya itu meyakini, bahwa berkeluh kesah bukanlah penyelesaian. Maka ia mencoba menjalani keniscayaan hidup. Berusaha dan berusaha. Berdo’a dan berdo’a.

Kepada Tarbawi ia mengisahkan. “sejak tahun 1999, setiap kamis sore saya selalu menyempatkan diri untuk pergi ke pengajian pekanan di daerah Bandung Barat, di jalan Gegerkalong Girang, tepatnya di pesantren Daarut Tauhid. Perjalanan saya menuju lokasi sekitar satu jam dengan dua kali naik angkot. Jika kondisi fisik saya normal, tentu tidak masalah, tapi inilah kendalanya. Saya menderita cacat kaki sejak kecil. Ibu dan dokter saya juga tidak tahu penyebab pastinya. Tapi saya pasrah saja. Selama perjalanan itu saya ditemani kruk kayu untuk menopang kedua kaki saya ini.”

Rabu, 14 Agustus 2024

Indonesia Masih Kekurangan Ulama

 

Indonesia Masih Kekurangan Ulama

DR. Anwar Ibrahim

(Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia) 

Oleh Rahmat Ubaidillah

Indonesia Masih Kekurangan Ulama

Indonesia Masih Kekurangan Ulama

(Hal-37) Perasaan keterarahan masyarakat Islam Indonesia kepada Ulama, terasa kian menjauh. Sepertinya mereka tidak lagi mendengarkan atau mengikuti apa yang telah difatwakan oleh para ulama. Pada sisi lain Indonesia kekurangan sosok kharismatik ulama yang memiliki kompetensi keilmuan yang mendalam pada bidangnya. Semua permasalahan itu menjadi kekhawatiran ulama berusia 68 tahun ini, yang kini menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI. Di kantor MUI, Jakarta, Tarbawi berbincang dengannya. Berikut petikannya.

Yang Anda rasakan, semakin ke depan, apa tantangan terberat para ulama?

Berdasarkan pengalaman. Tantangan terberat itu adalah mendalami pengetahuan (agama) dalam bidangnya masing-masing. Sebab ilmu pengetahuan semakin luas, dan dunia semakin modern. Sehingga permasalahan-permasalahan yang kita hadapi semakin berat. Maka penanggulangannya memerlukan pengetahuan yang begitu luas, terutama dalam segi ilmu agama (Islam). Nah, kita Indonesia ini, masih sangat memerlukan pendalaman ilmu Islam itu sejak pendidikan tingkat bawah. Jadi kita tidak mungkin bisa langsung ke pendidikan tingkat atas. Terutama masalah bahasa Arab sebagai alat pendalaman. Bahasa pengantar yang mau tidak mau, harus kita kuasai. Sementara itu, boleh dikatakan kita belum mempunyai guru untuk belajar bahasa Arab. Hingga kini, kita juga masih sulit menemukan ulama-ulama yang mempunyai pengetahuan luas dalam bidangnya masing-masing. Dari segi jumlah, kita kesulitan menghitungkan berapa lama yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari dapat kita rasakan, kekurangan kita itu terutama kalau kita mengikuti penerangan-penerangan agama di media. Kurang (Hal-38) begitu mendalam. Sangat jauh.

“ ‘Makan’ Batu, Takdir Kami ....”

 

“ ‘Makan’ Batu, Takdir Kami ....”

Oleh Tarbawi

Makan’ Batu, Takdir Kami
Makan’ Batu, Takdir Kami


(Hal-46)  Kertamenawi dan Wiyatma kakek-kakek pengumpul dan pemecah batu di usianya yang lebih dari 80 tahun.

Entah sudah berapa lama saya menjalani hidup. Tapi pasti sudah 80 tahun lebih, karena saya menikah ketika Jepang masih menjajah negeri ini. Saya masih mengalami jaman Dung Tong. Itu istilah ketika negeri ini jauh dari rasa aman. Maksudnya, jika ada suara dung tung-tung, mlebu marang orong-orong (Jika ada bebunyian, tanda bahaya, segera masuk ke lubang persembunyian – Red).

Nama kecil saya sebetulnya Samingin. Tradisi di kampung kami, begitu seseorang menikah, dia harus berganti nama. Biasanya diambil dari dua keluarga besar, keluarga suami (Hal-48) dan keluarga istri. Setelah menikah nama saya menjadi Karta Menawi. Saya tidak tahu arti nama itu, karena keluarga yang memberikannya. Yang jelas, itu gabungan dua keluarga. Mungkin dari keluarga saya diambil ‘Karta’-nya, sedangkan ‘Menawi’ dari keluarga istri.

Belajar Dari Uang Recehan

 

Belajar Dari Uang Recehan

Belajar Dari Uang Recehan
Belajar Dari Uang Recehan


(Hal-42) Sudah dua tahun ini saya memulai usaha jualan pulsa di rumah. Alhamdulillah pelan-pelan usaha mulai ramai. Meskipun kemudian banyak yang membuka usaha yang sama di sekitar kami tapi kami yakin bahwa Allah SWT tak pernah tertukar memberi rezeki pada makhluk-Nya.

Yang sering jadi kendala kami adalah sulitnya mendapatkan uang pecahan receh untuk kembalian. Terkadang kami keliling toko kelontong atau grosiran untuk menukarkan uang receh. Atau tak jarang tetangga kami yang juga suka berjualan suka menukarkan uang receh beliau tidak mau. Kesal dan tak jari kami ngomel-ngomel sendiri, sampai suatu ketika dengar sebuah nasehat bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan atau pertolongan Allah, mudahkanlah/tolonglah urusan orang lain maka Allah akan memudahkan urusanmu.