Jenak-Jenak Kejujuran
Oleh M Anis Matta
![]() |
Jenak-Jenak Kejujuran |
(Hal-36) hari-hari
menjelang kedatangan Rasulullah dari Tabuk sangat menegangkan. Setidaknya bagi
Ka’ab bin Malik. Kalau saja ia berada dalam rombongan Rasulullah, tentu lain
ceritanya.
Seperti biasa, setiap
pulang dari perjalanan, Rasul lebih dahulu ke Masjid. Ternyata, sekitar 80-an
munafik sudah menunggu di sana. Mereka memohon kepada Rasulullah agar meminta
ampunan kepada Allah Swt karena tidak ikut perang. Mereka juga berharap agar
Rasul sendiri mau memaafkan.
Permintaan itu dikabulkan Rasul. Tapi, tiba-tiba wajah beliau berubah merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka’ab bin Malik menemuinya. “Mengapa engkau tidak ikut ke Tabuk? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu?” tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu.
Ka’ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track
record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relatif tanpa cacat nama baik.
Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tidak logis untuk ukuran kader yang
ditarbiyah Rasul.
Baca juga: Para Pencipta Kemakmuran
Ka’ab terdiam. Ia menduga pertanyaan itu muncul. Itulah detik-detik penuh konflik dalam batinnya. Bukan tak mampu beralasan. Ia bisa melakukan itu, karena sepertikatanya sendiri, ia diberikan kemampuan berargumentasi yang baik.
Tapi, masalahnya ia bermuamalah
dengan Allah Swt dan berhadapan dengan Rasul Allah. Dalam situasi seperti itu,
biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan “air muka” atau
“kebesaran” atau “kehormatan” atau “wibawa” atau, “nama baik.”
Bentuk kedustaan bisa
beragam. Yang paling sering adalah rasionalisasi kesalahan, yaitu kecenderungan
membenarkan kesalahan dengan alasan apapun. Atau dalam ungkapan Al Qur’an,”akhadzat
hul izzatu bil itsmi” (ia dipaksa oleh keangkuhan untuk membela dosanya). Konflik
batin, itulah yang dirasakan Ka’ab bin Malik. Namun apa jawaban Ka’ab?
“Wahai
Rasulullah, andaikan aku berhadapan dengan selain engkau, aku yakin dapat
meloloskan diri dengan satu alasan. Namun, andaikan aku berdusta kepadamu yang
membuatmu ridha padaku, aku khawatir Allah membuatmu marah padaku. (dengan
mengungkap kedustaan melalui wahyu). Wahai Rasulullah, jika aku jujur padamu,
dan itu membuatmu marah padaku, aku masih berharap kelah Allah mengampuni
dosaku.”
Ka’ab telah melewati jenak-jenak pertarungan itu, melewati detik-detik yang menegangkan, sangat berat. Dan ia menang. Ia mengalahkan dirinya sendiri, dan memenangkan kejujuran imannya atas dusta dan kemunafikan. “orang-orang ini telah berkata jujur,” ucap Rasulullah.
Selanjutnya, ia berkata,”wahai
Ka’ab, berdirilah sampai Allah memutuskan sesuatu untukmu.” Akhirnya Ka’ab
mendapat hukuman, diboikot selama 50 hari. Tapi itu lebih ringan ketimbang
beratnya pertarungan memenangkan kejujuran iman.
Baca Juga: Peradaban Para Pembelajar
Kita semua akan menghadapi detik-detik seperti itu. Dan, kita bisa menang jika di saat seperti itu bisa menyadari bahwa kita hanya bermu’amalah dengan Allah, yang mengetahui pengkhianatan mata dan segala yang tersembunyi di dalam dada.
Bukan dengan manusia yang mudah
dibohongi, atau bahkan senang di bohongi. Itulah yang membuat kejujuran
bernilai lain di mata Allah SWT. Itu pula sebabnya, mengapa banyak diantara
kita yang selalu gagal di etape ini.
Wallahu a’lam bishawab.
Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar