Jumat, 21 Februari 2025

Jenak-Jenak Kejujuran

 

Jenak-Jenak Kejujuran

Oleh M Anis Matta

Jenak-Jenak Kejujuran
Jenak-Jenak Kejujuran 

(Hal-36) hari-hari menjelang kedatangan Rasulullah dari Tabuk sangat menegangkan. Setidaknya bagi Ka’ab bin Malik. Kalau saja ia berada dalam rombongan Rasulullah, tentu lain ceritanya.

Seperti biasa, setiap pulang dari perjalanan, Rasul lebih dahulu ke Masjid. Ternyata, sekitar 80-an munafik sudah menunggu di sana. Mereka memohon kepada Rasulullah agar meminta ampunan kepada Allah Swt karena tidak ikut perang. Mereka juga berharap agar Rasul sendiri mau memaafkan. 

Permintaan itu dikabulkan Rasul. Tapi, tiba-tiba wajah beliau berubah merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka’ab bin Malik menemuinya. “Mengapa engkau tidak ikut ke Tabuk? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu?” tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu. 

Ka’ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relatif tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tidak logis untuk ukuran kader yang ditarbiyah Rasul.

Baca juga: Para Pencipta Kemakmuran

Ka’ab terdiam. Ia menduga pertanyaan itu muncul. Itulah detik-detik penuh konflik dalam batinnya. Bukan tak mampu beralasan. Ia bisa melakukan itu, karena sepertikatanya sendiri, ia diberikan kemampuan berargumentasi yang baik.

 Tapi, masalahnya ia bermuamalah dengan Allah Swt dan berhadapan dengan Rasul Allah. Dalam situasi seperti itu, biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan “air muka” atau “kebesaran” atau “kehormatan” atau “wibawa” atau, “nama baik.”

Bentuk kedustaan bisa beragam. Yang paling sering adalah rasionalisasi kesalahan, yaitu kecenderungan membenarkan kesalahan dengan alasan apapun. Atau dalam ungkapan Al Qur’an,”akhadzat hul izzatu bil itsmi” (ia dipaksa oleh keangkuhan untuk membela dosanya). Konflik batin, itulah yang dirasakan Ka’ab bin Malik. Namun apa jawaban Ka’ab?

“Wahai Rasulullah, andaikan aku berhadapan dengan selain engkau, aku yakin dapat meloloskan diri dengan satu alasan. Namun, andaikan aku berdusta kepadamu yang membuatmu ridha padaku, aku khawatir Allah membuatmu marah padaku. (dengan mengungkap kedustaan melalui wahyu). Wahai Rasulullah, jika aku jujur padamu, dan itu membuatmu marah padaku, aku masih berharap kelah Allah mengampuni dosaku.”

Ka’ab telah melewati jenak-jenak pertarungan itu, melewati detik-detik yang menegangkan, sangat berat. Dan ia menang. Ia mengalahkan dirinya sendiri, dan memenangkan kejujuran imannya  atas dusta dan kemunafikan. “orang-orang ini telah berkata jujur,” ucap Rasulullah. 

Selanjutnya, ia berkata,”wahai Ka’ab, berdirilah sampai Allah memutuskan sesuatu untukmu.” Akhirnya Ka’ab mendapat hukuman, diboikot selama 50 hari. Tapi itu lebih ringan ketimbang beratnya pertarungan memenangkan kejujuran iman.

Baca Juga: Peradaban Para Pembelajar 

Kita semua akan menghadapi detik-detik seperti itu. Dan, kita bisa menang jika di saat seperti itu bisa menyadari bahwa kita hanya bermu’amalah dengan Allah, yang mengetahui pengkhianatan mata dan segala yang tersembunyi di dalam dada.

 Bukan dengan manusia yang mudah dibohongi, atau bahkan senang di bohongi. Itulah yang membuat kejujuran bernilai lain di mata Allah SWT. Itu pula sebabnya, mengapa banyak diantara kita yang selalu gagal di etape ini.

Wallahu a’lam bishawab.


Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar