Senin, 31 Agustus 2020

Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup

Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup[1][2]

(Hal-76) “Semua permainan itu batil,” ujar Rasulullah saw. Tapi hadits Rasulullah itu tak berhenti sampai kalimat itu. “Kecuali tiga hal: seseorang yang melatih kudanya, pencengkramaan suami dan istri, dan latihan memanah dan menombak. Ketiganya itu termasuk al haq.” (HR. Abu Dawud dalam Bab Jihad, bab Latihan Memanah).



Meski sepintas saja, hadits ini menyimpan banyak hal yang unik. Bagaimana Rasulullah saw, menggambarkan sesuatu yang bersifat permainan, tetapi bisa membawa manfaat dalam tiga aktivitas yang begitu detail. Hadits senada, ada pula yang berbunyi, “Segala sesuatu kecuali dzikrullah  adalah kesia-sian dan permainan. Kecuali empat hal: sendagurau suami dan istri, latihan berkuda, seorang yang berkompetisi dengan musuhnya,(Hal-77) dan mengajarkan cara berenang.” (HR. An Nasaidalam bab Usyratu An Nisa, Shahih Al Jami’, no.4534)

Saudaraku,

Coba kita kupas lebih dalam hadits ini. Di sini, Rasulullah mengkhususkan arti permainan, pada sesuatu yang bisa mendatangkan manfaat. Jika kita dalami,  kita akan mendapati semua hal yang disebutkan itu sangat terkait dengan kondisi manusia secara lengkap. Terkait dengan kesinambungan keturunan, terkait dengan kesehatan dan kekuatannya, terkait dengan kehormatan dan kemuliaannya. Artinya, semua itu bisa membawa manusia lebih mendekat pada kemuliaan dan kelengkapan hidupnya.

Saudaraku,

Para ulama menafsirkan hadits ini dengan menyebutkan bahwa yang dimaksud senda gurau antara suami istri, adalah keadaan yang lazim dilakukan keduanya sebelum melakukan hubungan yang bisa menjadi awal lahirnya keturunan bagi keduanya. Sedangkan kompetisi dengan musuh terkait situasi kondusif dalam menunjukkan siapa yang lebih piawai, lebih baik, lebih kuat, lebih menguasai di hadapan musuh. Kemudian mengajarkan berenang , tentu terkait dengan aspek kesehatan dan kekuatan seseorang. Lalu, melemparkan tombak dan berlatih memanah, dan juga melatih kuda, adalah persiapan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi serangan musuh. Ini bisa ditafsirkan dalam bentuk persiapan apapun, yang bisa menjadi benteng pertahanan umat Islam bila mendapatkan serangan, dan itu menjadi syarat kehormatan di hadapan musuh yang menyerang.

Sempurna sekali hadits ini....

Saudaraku,

Mari kita lanjutkan dengan dengan melihat pilihan kata Rasulullah saw dalam hadits ini. Rasul menyebutkan, semua permainan itu adalah batil. Sebenarnya, arti adalah, tak ada kebaikan di dalamnya dan tak ada manfaat apapun. Batil, memiliki arti lebih umum dari haram. Batil, bisa mencakup haram, dan tidak haram tapi tidak bermanfaat. Singkatnya, mungkin kata “batil” bisa diartikan semua yang bisa mendatangkan bahaya. Bagaimana mungkin sesuatu yang bahaya tapi tidak haram?

Benar. Itu bisa dilihat dari dua hal. Pertama, mubah yang dilakukan berlebihan, itu bisa menjadi batil. Misalnya, air dan makanan, keduanya mubah. Tapi bila berlebihan digunakan, melewati keperluan, bisa membawa bahaya. Bisa mematikan. Kedua, makruh atau dibenci dilakukan. Contohnya, ikut (Hal-78)hadir ke tempat orang yang ramai bercanda dan banyak humor. Bila dilakukan berlebihan, itu bisa membuat hati seseorang manjadi kasat dan mati.

Intinya, baik haram dan tidak haram, setiap kita sebagai Muslim harus memperhatikan apakah segala sesuatu yang dilakukan itu bisa membawa bahaya bagi tubuh, bagi ruh atau jiwa, bagi akal, bagi harta, bagi kehormatan, bagi keluarga dan lainnya. Ya, meskipun tidak sampai haram. Itulah subtansi yang dimaksud dalam hadits Rasulullah saw tadi. Begitu dalam Rasulullah saw memberikan batasan dalam hidup ini. Bahwa kehidupan ini, memang selalu berdiri diatas prinsip yang sama, siapapun yanb berbuat maka ia akan menuai akibatnya. Dan siapapun yang lalai, ia akan rugi.

Saudaraku,

Perhatikanlah hewan yang ada di sekitar kita. Burung-burung yang terbang di pohon-pohon dan hinggap di ranting pohon atau di tempat tertentu itu, mereka sangat mengerti apa arti keseriusan, usaha dan kerja. Mereka melewati hidupnya dengan begitu serius, baik untuk mempersiapkan kerja, atau dalam proses kerja yang bisa mendatangkan manfaat bagi mereka. Permainan, dalam hidup mereka adalah saat mereka bekerja mencari makan. Bahkan itu menjadi bagian yang bisa menopang hidup mereka. Seperti itulah ketetapan Allah swt kepada mereka.

Saudaraku,

Hewan-hewan itu tidak diberi taklif (tugas) oleh Allah swt. Sedangkan kita, manusia, diberi taklif  oleh Allah swt. Mereka hewan-hewan itu, menanam dan menuai hasilnya di dunia. Sedangkan kita, menanam dan menuai hasilnya di dunia dan tentu akhirat. Hikmahnya, kita dan mereka harus sama-sama bahkan lebih serius dan sungguh-sungguh menjalani hidup ini. Bukan untuk sekedar permainan, yang tak membawa manfaat tapi bisa membawa bahaya.

Kini, kita begitu banyak diantara kita yang tenggelam dan terseret-seret dalam permainan yang tidak membawa manfaat dan membahayakan. Tenggelam dalam game elektronik, pesta nyanyi, mode dan sebagainya. Padahal dalam protokolat Zionist disebutkan bahwa salah satu misi mereka yang tercantum dalam point 13, adalah menenggelamkan manusia dalam permainan. “Agar menjauhkan kalangan non Yahudi mengetahui apa langkah baru kita, kita akan hanyutkan mereka dalam ragam permainan yang melalaikan.”

Saudaraku,

Orang-orang yang mengerti tentang keseriusan dalam hidup ini, akan mengatakan,”Kewajiban lebih banyak dari waktu yang ada.” Bagi mereka yang mengerti apa peran mereka dalam hidup, mengetahui apa yang harus dilakukan dan yang harus diterima akibatnya dari hidup. Mereka akan menimbang-nimbang. Lalu mendapati bahwa apa yang harus mereka lakukan lebih banyak dari rentang waktu yang mereka miliki. Selanjutnya, mereka tenggelam di lautan amal, bekerja, keseriusan, jauh dari permainan yang tidak membawa manfaat apalagi yang membahayakan.

Dalam surat Ath Thariq, Allah swt yang artinya,

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil, dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau. (QS. Ath Thariq:13-14)

 



[1]M. Lili Nur Aulia

[2]Majalah Tarbawi Edisi 235 Th.12, Ramadhan-Syawal 1431H, 23 September 2010

DOSA YANG TERUS MENGALIR

 

DOSA YANG TERUS MENGALIR .......[1][2]

(Hal-76) Coba renungkan sebentar, firman Allah swt dalam surat yasin ayat 12 ini:”Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.”



Saudaraku,

Soal bagaimana kehidupan ini tidak berakhir dengan kematian di dunia. Soal Allah mencatat amal-amal kita dan apa saja yang kita (Hal-77) tinggalkan selama hidup. Lalu semuanya dikumpulkan dalam sebuah kitab.

Diamlah sejenak.perhatikanlah lebih seksama bagaimana Allah swt berfirman,”.... wa aatsaarahum” dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan ....” kalimat ini penting kita pahami dan renungkan dalam-dalam. Karena artinya, selain amal-amal yang telah kita lakukan, ada pula bekas-bekas yang kita tinggalkan, yang termasuk dalam catatan Allah swt.

Saudaraku,

Sebenarnya, pembicaraan tentang kebaikan dan keburukan, sudah terlalu sering kita baca. Juga, ulasan tentang nikmatnya amal jariyah, atau aliran pahala yang tidak putus meski kita sudah meninggal, sudah berulangkali kita mendengar dan membacanya. Ya, pahala shadaqah, ilmu dan do’a anak yang shalih, akan terus mengalir pada kita meski kita sudah tidak ada di dunia. Sekali lagi, tema tentang itu, sudah berulangkali kita dengar dan kita pikirkan.

Tapi barangkali kita belum atau jarang sekali berpikir bila kebalikannya yang terjadi. Ketika justru keburukan yang terus mengalir pada kita meski kita telah tiada dia atas bumi? Jika justru kejahatan yang balasannya terus mendatangi kita meski kita sudah tidak lagi hidup? Dan justru aliran dosa demi dosa yang terus-menerus tersalur pada tubuh kita yang sudah mati? Itu termasuk dalam kandungan kalimat Allah swt tadi,”.... wa atsaarahum”  yang artinya, “.... dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan...”

Saudaraku,

Para menguraikan penjelasan panjang tentang kondisi manusia bila telah meninggal. Diantaranya adalah dua kategori manusia bila dilihat dari aliran pahala atau dosa dari apa yang ia lakukan semasa hidup.

Kelompok pertama, mereka yang mati dan terputus semua aliran kebaikan serta keburukannya. Dua-duanya terputus, tidak ada keshalihan yang pahalanya mengalir, tidak ada juga dosa yang dosanya mengalir. Orang-orang seperti ini, tak memiliki apapun kecuali apa yang telah mereka kerjakan semasa hidup. Kelompok kedua, mereka yang meninggal tapi masih ada aliran pahala maupun dosa yang dilakukan semasa hidup. Kelompok kedua ini terbagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama, mereka yang meninggal lalu tetap mendapatkan aliran balasan kebaikan dan keburukannya selama di dunia. Ia tetap memperoleh pahala kebaikannya dan juga mendapatkan tradisi buruknya yang diikuti orang lain. Nasib orangyan seperti ini nantinya kan tergantung  mana yang lebih berat, timbangan balasan, (Hal-78) kebaikan dan keburukannya.

Bagian kedua, orang yang meninggal dan terputus semua aliran keburukan yang pernah ia lakukan di dunia. Hanya aliran amal kebaikannya saja yang mengalir terus mesk ia telah meninggal. Untuk bagian kedua ini, mereka akan mendapatkan ganjaran kebaikan dari Allah swt sesuai tingkat keikhlasannya, pengorbanannya dalam melakukan amal shalih di dunia. Ini tema yang seringkali kita dengar dan kita kaji, yakni yang disebut dengan amal jariyah. Semoga Allah membantu kita bisa masuk dalam golongan ini.

Bagian ketiga, adalah mereka yang meninggal tapi terputus semua aliran kebaikan darinya, yang tersisa hanya aliran balasan atas keburukannya saja, meski ia sudah meninggal. Orang yang masuk dalam kategori ini, ia terbujur dalam liang kubur, tapi bekal keburukannya setiap hari bertambah dan bertambah. Hingga kelak bila terjadi kiamat, keburukannya sangat banyak. Semoga Allah benar-benar melindungi dan menghindari kita dari keadaan ini.

Saudaraku,

Ini sebabnya, Imam Hamid Al Ghazali menegaskan,”Beruntunglah orang bila ia mati, mati bersama-sama dosanya. Kesengsaraan yang panjanglah bagi orang yang mati, tapi dosa-dosanya tidak mati selama seratus tahun, dua ratus tahun, atau lebih lama dari itu yang membuatnya tersiksa di dalam kuburnya.” (Ihya Ulumuddin, 2/73)

Dalam sejumlah ayat Al Qur an disebutkan masalah dosa yang terus mengalir ini, agar kita lebih waspada dan berhati-hati meniti hidup. Seperti firman Allah swt surat An Nahl ayat 25 yang artinya, “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa yang mereka sesatkan yang tidak mengerti sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”

Lalu, salah satu sabdanya ang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah saw juga bersabda tentang hal yang sama. Sabdanya, “ Barangsiapa yang melakukan tradisi buruk dalam Islam, maka atasnya balasannya dan balasan orang yang melakukan keburukan itu tanpa mengurangi sedikitpun balasan keburukan atas diri mereka.”

Saudaraku,

Mari sadari lebih jauh keadaan kita hari ini. Pikirkanlah. Adakah ide dan pikiran kita yang telah sampai ke banyak orang, tapi bermuat penyimpangan dan dosa di hadapan Allah swt dan mereka lalu melakukan ide dan pemikiran kita? Adakah tulisan kita yang bermakna dosa, tapi kemudian diikuti dan dilakukan oleh orang lain? Lalu orang lain itu ditiru oleh orang yang lainnya yang melakukan dosa yang asalnya kita lakukan?

Saudaraku,

Mari mohon ampun kepada Allah swt dan lebih waspada berbuat di hari esok. Mari mengganti semuanya dengan amal shalih yang bisa menjadi aliran kebaikan hingga kelak jika kita sudah tidak memiliki waktu beramal lagi di sini .....

(Elqinet, Senin , 10 Mei 2010 M, 19:13:12WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 227 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 06 Mei 2010 M

[2] M. Lili Nur Aulia

Minggu, 30 Agustus 2020

UCAPKANLAH “ALHAMDULILLAH....

 

UCAPKANLAH “ALHAMDULILLAH......”[1]

 

(Hal-76) As-syukru (syukur) dalam bahasa Arab, artinya ‘irfan al ihsan wa nasyruhu atau mengakui kebaikan dan menyebarkan kebaikan itu. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, “Syukur itu ketetapan hati dalam mencintai Yang Memberi nikmat, juga ketetapan anggota tubuh untuk mentaati-Nya, serta terus-menerusnya lisan untuk berdzikir dan memuji-Nya. (Madarij Salikin, 2/136)



Saudaraku,

Dalam ungkapan yang lebih sederhana tapi mendalam, Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Syukur itu mengakui nikmat dan melakukan pengabdian pada yang memberi nikmat.” Lalu, Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Mensyukuri semua nikmat itu adalah tidak bermaksiat pada Allah setelah menerima nikmat itu.” Ia juga mengatakan,”Hakikat syukur itu adalah ketika kondisi seseorang tidak mampu lagi mensyukuri nikmat Allah, karena banyaknya.”

Syukur nikmat itu tak hanya dengan lisan. Tidak hanya sekadar (Hal-77) memuji Allah dan berdzikir, tetapi juga termasuk membaca Al Quran yang juga menggunakan lisan, menyampaikan nasihat yang baik kepada orang lain, berbicara tentang nikmat Allah dan tidak mengingkarinya yang semuanya menggunakan lisan. Syukur  dengan cara seperti ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Itu sebabnya, dalam hadist disebutkan bahwa Rasul saw kerap bertanya pada sahabatnya,”Bagaimana kabarmu wahai Fulan?” Kemudian dijawab,”Aku memuji Allah swt” Rasulullah lalu bersabda,”Inilah yang aku inginkan darimu..” (HR. Thabrani dishahihkan oleh Al Abani).

Karena suasana yang dibangun Rasulullah saw itu, para sahabat radhiallahu anhum, meski sering bertemu, mereka tetap menanyakan kabar satu sama lain. Seperti perkataan Ibnu Umar radhiallahu anhu, “Kami bisa saja berulangkali bertemu dalam satu hari, tapi satu sama lain dari kami tetap saling bertanya kabar. Kami tidak ingin dari itu, kecuali saudara kami memuji Allah swt.” (HR Baihaqi)

Saudaraku,

Apakah syukur dipraktikkan hanya saat seseorang menerima nikmat saja? Jawabannya, bisa iya, bisa juga tidak. Sebab, saat kita mengalami suatu kedukaanpun, sebenarnya, ada banyak nikmat yang Allah swt berikan di sekeliling kedukaan atau bencana itu. Dan itulah cara syukur yang didalami oleh orang-orang shalih.

Perhatikanllah Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, saat menceritakan bagaimana sebagian ahli ilmu menyebutkan bahwa Allah swt memerintahkan pada Malaikat-Nya untuk memberikan sesuatu yang membahagiakan pada seorang hamba-Nya yang beriman. Setiap kali diberikan sesuatu yang membahagiakan, hamba itu mengatakan,”Alhamdulillah ... Alhamdulillah ... maa syaa Allah ...” Kemudian Allah swt memerintahkan Malaikat-Nya untuk memberikan sesuatu yang menyedihkan dan menakutkan hamba-Nya itu. Tapi tetap saja hamba itu meski mendapatkan sesuatu yang tidak ia sukai, mengatakan, ”Alhamdulillah,alhamdulillah”. Maka, Allah swt berfirman,”Aku melihat hamba-Ku memujiku ketika Aku memberikan sesuatu yang menakutkannya, sebagaimana ketika Aku memberi kesenangan padanya. Masukkanlah hambaku itu ke dalam surga-Ku karena ia telah memuji-Ku dalam segala keadaan.” (Syu’abul Iman 4/117)

Mari merenungkan bagaimana sikap orang-orang shalih selalu memuji Allah swt, dalam kondisi apapun keadaan mereka. Syuraih rahimahullah mengatakan, “Sungguh aku ditimpa musibah, tapi aku tetap memuji Allah atas musibah itu karena empat perkara. (Hal-78)  Pertama, aku memuji Allah, karena aku tidak ditimpa musibah yang lebih besar dari yang aku terima. Kedua, aku memuji Allah karena aku diberikan kesabaran oleh Allah dalam menghadapi musibah. Ketiga, aku memuji Allah swt karena Allah swt telah menempatkan aku dalam kondisi aku bisa berharap pahala dari-Nya. Dan keempat, aku memuji Allah karena tidak ditimpakan musibah dalam urusan agamaku.”Dari mana mereka mendapatkan energi untuk bisa tetap bersyukur dan mengucap “Alhamdulillah”? Jawabnya adalah, dari kesadaran dan pengetahuan mereka yang begitu mendalam terhadap nikmat Allah swt yang diberikan kepada mereka.

Saudaraku,

Pernah ada seorang sahabat yang terburu-buru datang berusaha bergabung dalam shaff shalat berjamaah. Setelah sampai di shaff, ia mengatakan,”Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih?” Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya, “Siapa diantara kalian yang mengatakan, ”Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih?” Para sahabat awalnya terdiam. Namun kemudian, seorang sahabat berkata, “Aku ya Rasulullah. Aku terburu-buru berjalan untuk bisa bergabung dalam shaff shalat berjamaah. Lalu aku mengatakan itu.” Rasulullah saw bersabda,”Aku melihat duabelas Malaikat berlomba mengangkat orang yang mengucapkan kalimat itu.” Setelah itu Rasulullah Saw bersabda,”Bila salah seorang kalian berjalan untuk shalat, hendaklah berjalan dengan tenang. Lalu Shalatlah, sebagaimana yang ia dapatkan. Lalu tunaikanlah yang tertinggal.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Saudaraku,

Bersyukur bukan hal mudah. Tanpa terus menggali untuk mengenal Allah swt, kita akan sulit merasakan kesyukuran. Tanpa berupaya merenungi nikmat demi nikmat Allah swt kepada kita, tidak akan mudah menghadirkan kedamaian syukur dalam hati. Tanpa berusaha mengalahkan kecenderungan manusiawi yang selalu menginginkan lebih baik, kita akan susah memiliki sikap syukur. Tanpa menghadirkan rasa tunduk dan patuh pada kehendak Allah Swt Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu, Maha Kasih Sayang, kita sulit mengucapkan kesyukuran atas keadaan yang kita terima.

Mari banyak-banyak mengucapkan “Alhamdulillah”. Semakin banyak kita mengucapkannya, tekanan dalam jiwa akan semakin berkurang dan hati menjadi kian lapang. Semakin banyak kita mengucapkan “Alhamdulillah” akan selalu membawa keberkahan, lalu wajah menjadi lebih menarik, berseri dan penuh sabar. Semakin banyak kita mengucapkan “Alhamdulillah” berarti tak akan ada yang dapat melukai hati kita, dan menyakiti kita.

Saudaraku,

Mari mulai kebiasaan untuk mensyukuri nikmat Allah swt dengan menghidupkan kembali sunnah para sahabar dulu yang bertanya kepada saudaranya,”Bagaimana kabarmu saudaraku?”

Bagaimana jawabmu saudaraku?

( Sekretariat Masjid Arfaunnas Universitas Riau ,Kamis, 21 April 2010, 09:51:32WIB )

 

        

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 225 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 22 April 2010, hal. 76-78

BIARKAN AIRNYA MENETES

 

BIARKAN AIRNYA MENETES[1][2]

 

(Hal-76) Islam banyak sekali meninggalkan pesan yang berisi membangun semangat dan optimis dalam jiwa. Sebaliknya, Islam juga banyak sekali menuangkan pesan yang menutup pintu pesimis dan putus asa bagi umatnya. Ayat-ayat yang menerangkan kebersamaan Allah Swt pada orang yang bersabar, ayat  yang melarang sikap sedih, ayat yang menggambarkan Allah Swt Maha Pemaaf, Maha Luas Ampunan-Nya, dan lain sebagainya benar-benar menyimpulkan bahwa kita, dilarang bersedih dan tidak boleh (Hal-77) putus asa, dalam kondisi apapun.



Saudaraku,

Ada satu hal yang terlihat sangat sederhana dalam proses kita menjalani ibadah, ternyata membawa pesan-pesan penting untuk tidak putus asa, pantang bersedih, terus semangat dan optimis menyongsong kebaikan. Salah satu pesan penting itu ada dalam tetes-tetes air wudhu kita.

Coba perhatikan lebih detail lagi, satu persatu, aktivitas wudhu yang sering kita lakukan itu. Dari Abdullah Ash-Shanaji ra, Rasulullah Saw bersabda:”Apabila seorang hamba berwuduhu, lalu berkumur, maka dikeluarkanlah (dihapuskan) kesalahan-kesalahan itu dari mulutnya. Apabila ia memasukkan air ke rongga hidung, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari hidungnya. Apabila ia membasuh wajahnya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan yang dibuat wajahnya, sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi keluar dari bawah tempat tumbuh rambutnya, dari kedua matanya. Apabila ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari kedua tangannya, sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dari bawah (celah) kukunya. Apabila ia mengusap kepalanya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan itu dari kepalanya, sehingga kesalahan-kesalahan keluar dari kedua telinganya. Apabila ia membasuh kakinya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan tersebut dari kedua kakinya, sehingga kesalahan-kesalahan yang terjadi dari bawah kedua kakinya. Kemudian perjalanannya ke mesjid dan shalatnya merupakan nilai ibadah tersendiri baginya” (HR. Imam Malik, An-Nasaai, Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Saudaraku,

Maka, ketika siraman air wudhu itu menitik dan menetes dari wajah, tangan dan bagian-bagian tubuh kita, bayangkanalah itu adalah jatuhnya satu-persatu dosa-dosa yang kita lakukan. Ketika siraman air wudhu itu terbasuh di telapak tangan, lalu mulut, lalu hidung, lalu muka, lengan, rambut hingga telinga dan telapak kaki kita, bayangkanlah bahwa air yang menetes dari bagian tubuh kita itu adalah pertanda seluruh tubuh kita sedang dibersihkan untuk menyongsong lembar baru dalam hidup ini. Renungkanlah hal-hal seperti ini. Jika kita berhasil memahami (Hal-78) dan memahami sabda Rasulullah Saw ini, rasakanlah perbandingan antara perasaan kita sebelum dan sesudah berwudhu.

Ya... Bahwa kita kini baru saja memiliki kunci untuk bisa memulai perjumpaan dengan Allah Rabb semesta alam, dalam shalat.

Saudaraku,

Tahukah kita, bila ternyata pandangan Rasulullah Saw itu mendapat penjelasan yang lebih detail dalam ilmu kedokteran? Beberapa waktu lalu, melalui artikel di majalah Al Ishlah yang mengulas seminar Kemukjizatan Ilmiyah Al Quran, di Kairo, disebutkan perkataan DR. Ahmad Syauqi, salah seorang anggota ikatan dokter Inggris sekaligus konsultan penyakit jiwa. Ia mengatakan bila sampai saat ini, para ilmuwan membenarkan bahwa jatuhnya sinar terhadap air tatkala seseorang berwudhu, berpengaruh sehingga membangkitkan ion yang hilang dan menyedikitkan ion yang bisa memberikan efek lemah pada anggota tubuh. Lalu, tetesan-tetesan air yang memantulkan sinar itu, juga bisa menghilangkan tekanan darah dan rasa sakit persendian anggota tubuh, meringankan suasana kegundahan dalam jiwa.

Saudaraku, mari lanjutkan perenungan kita pada firman Allah Swt, dalam surat Al Maidah ayat 6, yang artinya: “ Wahai orang-orang beriman, apabila kalian hendakmengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai ke siku. Kemudian sapulah kepala kalian dan basuhlah kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.”

Berwudhu mungkin aktifitas rutin yang sudah sangat biasa kita lakukan. Namun tanpa mengetahui sandaran nilai dan keutamaan dari Al Quran dan hadist, mungkin wudhu yang kita lakukan tanpa mengetahui sandaran nilai dan keutamaannya dari Al Quran dan hadist, mungkin wudhu yang kita lakukan menjadi tak bernilai bagi jiwa. Tapi akan sangat berbeda suasananya, bila kita mengetahui landasan nilainya dari Al Quran dan hadist, ditambah penemuan ilmiah yang luarbiasa tentangnya.

Optimisme yang ditumbuhkan melalui wudhu, akan terus tertanam hingga kita memasuki kehidupan akhirat. Rasulullah bersabda, “sungguh umatku kelak akan datang pada hari kiamat dalam keadaan (muka dan kedua tangannya) kemilau bercahaya karena bekas wudhu. Karenanya barangsiapa dari kalian yang mampu memperbanyak kemilau cahayanya (dengan memperlebar basuhan wudhunya)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saudaraku,

Biarkanlah air wudhu itu membasahi bagian-bagian tubuh kita. Biarkanlah tetes-tetes air wudhu jatuh keatas bumi. Berdoalah semoga kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah swt karena kemilau wudhu. “Pada hari kiamat kelak umatku akan dipanggil al gurr muhajjaluun karena (cahaya) bekas wudhu mereka. Siapa yang dapat meluaskan wilayah cahayanya, haruslah memperluaskannya.” (HR.Bukhari)

(Sekretariat Masjid Kampus UR, Sabtu, 01 Mei 2010 M, 07:38:12WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 223 Th.11, Rabiul Awal 1431 H, 11 Maret 2010

[2] M.Lili Nur Aulia

Mimpi-Mimpi Besar

 

Mimpi-Mimpi Besar[1][2]

Oleh M lili Nur Aulia

[Hal-76] Letakkan telapak tangan kita diatas dahi. Berusaha merenung dan konsentrasi berpikir. Bertanya pada diri sendiri:”Apa mimpiyang ingin kita raih dalam hidup ini? Apa obsesi yang begitu menyibukkan kita dalam hidup ini? Apa yang kita pikirkan siang malam? Apa yang kita pikirkan itu bersifat duniawi? Atau ukhrawi? Apakah obsesi dan mimpi kita itu sifatnya umum, atau spesifik?



Saudaraku,

Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu dan simpanlah baik-baik dalam ingatan. Panggillah anak dan tanyakanlah,”Apa kondisi yang ia inginkan di masa mendatang?”  Bandingkanlah antara apa yang menjadi keinginan mereka dan keinginan kita di masa depan. Hampir pasti anak-anak akan menjawab secara ideal, tinggi, bahkan mungkin ada yang tak mungkin diwujudkan. Sedangkan obsesi dan keinginan kita umumnya lebih rendah, tidak terlalu tinggi, dan pandangan terbatas. Bahkan, boleh jadi ada sebagian kita merasa berat sekadar bersobsesi atau bermimpi dan menginginkan sesuatu yang tinggi serta ideal.

Saudaraku,

Kita, hidup di zaman yang penuh [Hal-77] kelemahan. Wajar bila obsesi serta mimpi kita dan masyarakat kita pun menjadi rendah, kurang berbobot, tujuannya pendek. Kita semua sama dalam hal ini. Sebabnya banyak, tapi setidaknya ada sebab penting yang harus kita sadari. Yakni, minim atau tidak adanya, “contoh ideal” yang hidup diantara kita. Termasuk contoh dari para orangtua kita, kita para bapak dan ibu bagi anak-anak, para pendidik, para guru, para pejabat, para tokoh dan sebagainya. Minim atau tidak adanya figur atau contoh itu, mau tidak mau menciptakan lemahnya motivasi kita, untuk memiliki cita-cita atau keinginan yang tinggi. Seperti yang kita alami sekarang ini.

Mari perhatikan bagaimana kondisi orang-orang yang memiliki mimpi-mimpi besar. Barangkali kondisi mereka bisa mendorong dan menumbangkan penghalang mimpi yang kini sedang mengepung kita. Barangkali keadaan mereka bisa mengeluarkan kita dari mimpi kecil menjadi mimpi besar. Barangkali peran-peran mereka bisa menjadikan kita memiliki peran-peran yang lebih luas dari sekarang.

Saudaraku,

Adalah Hindun binti Utbah Ummu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, seorang wanita yang termasuk memiliki besar itu. Suatu saat, ia berada di Mina bersama puteranya Mu’awiyah yang baru saja tersandung batu dan terjatuh di atas tanah. Hindun berkata pada anaknya, Mu’awiyah,

”Bangunlah, bila engkau bisa bangkit maka engkau akan ditinggikan derajatnya oleh Allah.” Seseorang yang mendengarkan perkataan ini bertanya,”Mengapa engkau mengatakan seperti itu? Saya yakin bahwa dia (Mu’awiyah) akan memimpin kaumnya.” Hindun balik bertanya,”Kaumnya? Allah tidak akan meninggikan kedudukannya kecuali bila ia tidak memimpin bangsa Arab semuanya.”

Ini episode kecil tentang bagaimana mimpi besar seorang ibu. Ia ingin anaknya menjadi pemimpin bangsa Arab semuanya. Dan mimpi itu hadir di pelupuk matanya, dan mimpi itulah yang menjadi panduannya sehari-hari dalam mendidik anaknya. Ia terus menanamkan mimpi itu pada anaknya, dan meyakinkannya. Ia kondisikan keadaannya untuk mencapai mimpi itu. Ia beri asupan apa yang bisa membekalinya mewujudkan mimpinya. Hingga akhirnya, Mu’awiyah menjadi khalifah pertama dari Khulafa daulah umawiyah. Mu’awiyah memimpin bangsa Arab sekaligus umat Islam selama kurang lebih 20 tahun yakni tahun 661-680 H.

[Hal-78] saudaraku,

Ada kisah di zaman kita, tentang ibu dari DR. Ahmad Zeweil, yang juga memiliki mimpi besar. Sejak Ahmed masih kecil, sang Ibu sudah menuliskan di pintu kamar Ahmed sebuah kalimat “Kamar DR. Ahmed Zewail.” Apa yang dituliskannya, tak lain merupakan saluran keinginan atau mimpi yang ada dalam diri sang ibu. Dan tampaknya telah sampai dalam diri anaknya. Ahmad zewail meraih penghargaan Nobel bidang Kimia tahun 1999, dan menjadi salah satu ilmuwan besar dunia. Zewail sendiri mengakui pengaruh motifasi dan mimpi ibunya itu pada dirinya. Tentu bukan hal yang mudah bagi seorang ibu untuk mewujudkan mimpi besar itu pada Zewail. Karena hari-hari merawat, mendidik dan membesarkan Zewaillah yang juga menjadi kunci keberhasilan Zewail.

Saudaraku,

Lagi. Tentang bagaimana seorang ibu dari Syaikh Abdurrahman As Sudais yang kini menjadi Imam Masjidil Haram. Bagaimana sang ibu menanamkan dan mengarahkan mimpi besar itu kepada anaknya. Bagaimana sang ibu hari demi hari bersama As Sudais kecil itu mengingatkannya untuk bisa mencapai mimpinya? Ibunya sering mengingatkan,

”Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghapal kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram, ...” “ Wahai Abdurrahman jangan malas menghapal kembali hafalan harianmu, bagaimana kamu bisa menjadi Imam Masjidil Haram bila kamu malas?”

Akhirnya, Syaikh Abdurrahman As Sudais kini menjadi Imam Masjidil Haram. Dan menjadi salah satu ulama besar yang disegani di dunia Islam.

Saudaraku,

Salah satu kisah lain yang boleh jadi kita juga sudah mendengarnya. Seorang sahabat, Rabi’ah bin Kaab Al Aslami radhiallahu anhu.

Dialah yang mengatakan kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, aku ingin menjadi pendampingmu di surga.” Rasulullah saw mengatakan,”Adakah yang selain itu Rabi’ah?” Rabi’ah menjawab, “Hanya itu ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah saw mengatakan,”Jika begitu, bantulah aku untuk mencapai keinginanmu itu dengan memperbanyak sujud.”

 (HR. Muslim)

Diriwayatkan,  Rabi’ah  atas bimbingan orantuanya, sejak kecil memang sudah kerapkali terlihat dalam kondisi shalat dan sujud. Dan sepanjang usianya, Rabi’ah diriwayatkan tak pernah tertinggal shalat berjamaah. Mengapa Rabi’ah mampu melakukan itu semua? Karena ia ingin meraih mimpinya yang besar tadi. Mimpi ingin menjadi pendamping Rasulullah saw di surga....

Saudaraku,

Bandingkanlah antara keinginan kita yang tercetus diawal tulisan ini, dengan keinginan mereka yang bermimpi besar itu? Sesungguhnya, mimpi dan obsesi seseorang yang besar, indikator ia akan menjadi orang besar.

(Elqinet, Rabu , 05 Mei 2010 M, 16:17:34WIB)

 



[1]Majalah Tarbawi, edisi 220 Th.11, Shafar 1431 H, 28 Januari 2010 M

[2]M. Lili Nur Aulia

MUNGKINKAH MASJID AL AQSHA RUNTUH ?

 

MUNGKINKAH MASJID AL AQSHA RUNTUH?[1]

(Hal-76) Kita ingin lebih serius, berbicara tentang Masjid Al Aqsha. Kiblat pertama kita, yang penuh peninggalan sejarah. Sebuah masjid tempat di isra’-kannya Rasulullah saw, yang kini tidak bisa bebas diziarahi oleh umat Islam kecuali mereka yang berusia diatas 50 tahun. Sebuah bangunan bersejarah yang begitu unik dan penuh arti bagi keimanan kita, namun berada di bawah cengkraman Zionis Israel selama lebih dari separuh abad. Sebuah masjid, yang pernah menjadi simbol kekuatan Islam. Tapi kini, pondasinya kian rapuh lantaran lorong-lorong bawah tanah yang terus digali oleh orang-orang ekstrim Yahudi yang bermimpi (Hal-77) mendapat peninggalan Kuil Solomon di bawahnya.



Saudaraku,

Mungkinkah Al Aqsha runtuh? Pertanyaan itu mungkin pernah muncul dalam pikiran kita. Menjawabnya, pasti diiringi kedukaan. Tapi, tidak menjawabnya, berarti membiarkan ancaman yang mungkin terjadi. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi atas masjid Al Aqsha. Bisa saja, terjadi bencana alam yang kemudian membuat runtuhnya Masjid Al Aqsha. Atau, bisa saja umat Islam akhirnya berhasil diusir dari seluruh Al Quds dan digantikan penguasaannya oleh Zionis Israel. Mungkin saja Al Quds dikuasai Zionis dan benar-benar menjadi ibukota abadi Israel selama berpuluh tahun. Mengapa? Karena dahulupun, kekuatan Qaramithah pernah menyerang Ka’bah Baitullah Al Haram. Hingga di tahun 317 H, dikabarkan mereka mampu mencuri Batu Hajarul Aswad dari Ka’bah dan membawanya ke ibukota mereka di Hijr, sisi Timur Saudi sekarang. Hajarul Aswad lalu tetap tercuri hingga 22 tahun, yakni hingga tahun 339 H.

Saudaraku,

Kita tidak berada di zaman Abrahah. Dahulu, Abrahah ingin menghancurkan Ka’bah. Lalu Allah Swt mengutus burung-burung ababil untuk melindungi Baitullah Al Haram. Tapi kondisi kita setelah diutusnya Rasulullah saw, sangat berbeda. Burung-burung ababil atau pasukan yang diutus Allah Swt dalam bentuk apapun, takkan datang kecuali kita mengerahkan tenaga, keseriusan, kesungguhan, harta, jiwa dan seluruhnya untuk memelihara Masjid Al Aqsha.

Maka, Masjid Al Aqsha mungkin saja runtuh. Dan memang itulah yang diinginkan Zionis Israel. Itu sebabnya, mereka melakukan tahap demi tahap penghancuran itu sedikit demi sedikit, lewat analisa pertimbangan bahaya paling kecil yang mereka hadapi, jika Masjid Al Aqsha akhirnya roboh. Perhatikanlah, mereka sendiri yang membuka informasi di berbagai media, bahwa ada puluhan lorong bawah tanah yang telah mereka gali, di sekitar pondasi Masjid Al Aqsha. Informasi itu bahkan cuplikan filmnya, yang kian menegaskan bahwa lorong-lorong itu benar-benar telah mereka gali.

Ada apa di balik peristiwa ini? Mari pikirkan lebih jauh. Boleh jadi, Zionis Israel mempunyai target tertentu di balik informasi itu. Pertama, membiasakan umat Islam dengan isu kehancuran Masjid Al Aqsha. Semakin sering umat Islam mendengar berita Masjid Al Aqsha akan hancur, semakin terbiasa umat menyikapi (Hal-78) nya. Bahkan informasi itupun bisa menjadi kata-kata yang tidak lagi menarik perhatian. Lalu, jika kelah kehancuran Masjid Al Aqsha benar-benar terjadi, mungkin tidak mampu menggerakkan dunia Islam secara massif untuk melakukan perlawanan.

Logika ini, mirip dengan terapi yang dilakukan oleh para dokter. Dokter memberi suatu asupan yang bisa melindungi manusia dari mikroba tertentu. Seseorang diberi suplai makanan mikroba sedikit demi sedikit, hingga akhirnya tubuh terbiasa dengannya. Jika kelak mikroba sesungguhnya menyerang tubuh, maka serangan itu tidak terlalu memberi efek pada tubuh.

Begitulah Zionis Israel. Mereka terus-menerus memberikan informasi umat Islam dengan pemberitaan bertahap, terkait kehancuran Al Aqsha. Lalu jika kehancuran itu benar-benar terjadi- semoga Allah melindunginya- umat Islam tidak terpicu untuk melakukan aksi penolakan seperti yang dikhawatirkan. Dan Zionis Israel bisa melanjutkan proyek penting lainnya.

Saudaraku,

Sasaran kedua, untuk mengantisipasi tingkat reaksi umat Islam bila kehancuran itu terjadi. Orang-orang Yahudi Zionis pasti khawatir dengan reaksi umat Islam, yang boleh dikatakan bila bersatu sangat mampu memerangi dan mengusir mereka dari Al Quds. Karenanya, mereka berusaha mengantisipasi reaksi umat Islam itu secara bertahap. Mereka mengukur sejauh mana respon umat Islam terhadap upaya penghancuran Masjid Al Aqsha. Hingga akhirnya mereka bisa menganggap mampu mengatasi aksi balasan bila target penghancuran Masjid Al Aqsha itu terjadi.

Saudaraku,

Zionis Israel sangat yakin, hingga sekarang tidak ada bukti secuilpun tentang sisa Kuil Solomon yang mereka yakini. Mereka juga tahu, bahwa klaim peradaban Yahudi di Al Quds, sangat mungkin merupakan hasil manipulasi orang-orang mereka sendiri. Lalu kenapa mereka ingin menguasai dan menghancurkan Masjid Al Aqsha?

     Orang-orang Zionis Israel sangat menyadari bahwa Al Aqsha bagi umat Islam sama dengan panji-panji peperangan bagi suatu pasukan. Selama panji itu ada, panji-panji itulah yang akan memberikan semangat dan keberanian bagi pasukannya. Itulah sebabnya panji harus segera berkibar dan berdiri hingga dapat dilihat pasukan. Seperti itu pulalah kedudukan Al Aqsha. Andai Al Aqsha jatuh, Zionis Israel yakin itu akan meruntuhkan juga mentalitas umat Islam. Sebagaimana dahulu, direbutnya Masjid Al Aqsha diawal-awal perang salib telah menipiskan semangat umat Islam selama puluhan tahun dalam menghadapi kaum Salib. Dan kini, target penghancuran itu terjadi, Zionis Israel yakin akan mampu memenangkan seluruh medan peperangan.

Saudaraku,

Uraian ini bisa saja, membuat kita sedih bahkan terluka. Tapi kita juga tidak boleh berbasa-basi untuk masalah yang sangat penting ini. Tunjukkan bahwa umat Islam di Al Quds (Jerussalem) tidak sendiri menentang pendudukan dan serangan Zionis Israel. Buktikan bahwa mampu bekerja dengan bidang dan ruang apapun yang kita miliki, untuk menghalangi kehancuran dari Masjid Al Aqsha.

(Bangkinang, Selasa, 20 April 2010, 20:36:28 WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 225 Th.11, Rabiul Akhir 1431 H, 8 April 2010, hal. 76-78