Senin, 31 Agustus 2020

Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?

 

Bisakah kita Buktikan Keimanan Kita?[1][2]


(Hal-76) Menekuni hadist dan sabda Rasulullah saw, selalu menghasilkan nilai-nilai yang begitu dalam maknanya. Sabda Rasulullah saw, disebut para ulama memiliki sifat “jawaami’ul kamil”, perkataan yang singkat, padat dan berbobot. Salah satu sabdanya yang kita coba renungkan kali ini. “Ada tiga sikap”, kata Rasulullah saw. “Bila ketiganya berkumpul pada diri seseorang, terhimpunlah makna keimanan dalam diri orang itu. Yaitu sikap objektif terhadap diri sendiri, menyebarkan salam kepada siapapun (yang dikenal maupun yang tidak dikenal), dan berinfaq di saat kebutuhan terhadap yang diinfaqkan.”



(Hal-77) perhatikanlah satu persatu sikap itu. Teliti perlahan. Lalu ucapkanlah subhanallah, Maha Suci Allah swt yang memberikan ilham kepada Rasulullah saw dalam perkataan yang sangat penuh nilai itu. Mari kita renungkan.

Saudaraku,

Sikap jujur meskipun diri sendiri, seimbang dalam menilai walaupun terhadap diri sendiri, objektif dalam menghukumi meski terhadap diri sendiri. Itu semua juga berarti mempertahankan sikap netral di saat kita berselisih dengan pihak lain. Artinya, kita tetap bisa memandang sisi baik orang yang berbeda dan kita anggap salah, dan sebaliknya tetap bisa melihat sisi negatif yang mungkin ada dalam diri kita, saat kita menyalahkan perilaku orang lain. Sebagian besar orang mengatakan, seperti itu mustahil dimiliki. Alasannya, hampir tidak ada manusia yang terlepas dari keakuan dan ego, sehingga dia sulit sekali memposisikan dirinya, sama, seimbang dalam menilai pihak lain yang sedang berselisih dengannya.

Saudaraku,

Biasanya, kita memiliki pandangan lebih istimewa terhadap diri kita sendiri. Atau, biasanya juga, kita akan selalu memcoba mencari posisi mana yang bisa membenarkan apa yang kita lakukan. Kita, bagaimanapun umumnya merasakan, memiliki unsur kebenaran yang lebih banyak ketimbang orang lain. Lalu, bila kita dalam posisi sulit membela diri karena telah jelas melakukan kesalahan, kita menelisik dan mencari-cari, sisi mana yang masih mungkin diambil dan diangkat, agar sedikit banyak bisa menambah pembenaran kesalahan yang kita lakukan. Misalnya kita akan berusaha membenarkan sikap keliru yang kita lakukan, dengan melihat dari sisi niat atau keinginan baik yang kita lakukan. Sehingga, meskipun salah, setidaknya kita berniat baik. Poin niat baik itu mengandung unsur ego agar setidaknya bisa menambah sisi baik dari sebuah kesalahan. Atau, jika sudah benar mengakui salah, kita akan mengatakan,”Saya memang salah, tapi mungkin cara pengungkapannya yang salah. Sedangkan maksudnya baik.” Begitulah.

Memang selalu sulit sekali berlaku adil, objektif, jujur, tatkala harus berurusan dengan diri sendiri. Dan itulah sikap pertama yang bila dimiliki, menurut Rasulullah saw, adalah bagian penting dari makna keimanan. Para ulama saat menguraikan hadist ini menjelaskan, bahwa orang yang jujur, yang adil, adalah orang yang mengenal dan mengakui apa yang dilakukannya. Mengakui terhadap dirinya sendiri bahwa ia telah melakukan sesuatu yang salah terhadap fulan. Atau mengakui bahwa ia telah berlaku merendahkan fulan.

(Hal-78) Saudaraku,

Masih dalam konteks yang sama, sangat berbeda sekali bila kita melihat kesalahan yang sama dilakukan oleh orang lain. Rasulullah saw memberikan pemisahan lain tentang hal ini. “Salah seorang kalian melihat bintik kotoran di mata saudaranya. Tapi ia melupakan kotoran besar yang ada di matanya sendiri,” demikian dalam hadist riwayat Bukhari. Kita cenderung hanya melihat kesalahan pihak lain saja, tanpa mau membuka kemungkinan adanya kebenaran yang biasanya kita gunakan dalam menilai bila kondisi itu ada pada diri sendiri. Kita cenderung tidak melihat apa latarbelakang, niat dan maksud orang yang kita anggap melakukan kesalahan itu. Apalagi bila berpikir, bahwa orang tersebut akan bertaubat, beristigfar dan menyesali kesalahannya. Coba bandingkan dua hal ini.

Sikap yang sama juga harusnya berlaku bila kita berhadapan dengan suatu kelompok, organisasi atau lembaga. Tidak menisbatkan kesalahan seseorang dari kelompok tertentu, menjadi kesalahan semua orang yang ada dalam kelompok atau organisasi itu. Persis sama dengan keinginan kita, agar pihak lain tidak menyamarakan kekeliruan satu dua orang kelompok kita, menimpa sepuruh orang yang ada dalam organisasi termasuk kita.

Saudaraku,

Sikap kedua dalam hadist diatas juga memiliki irisan makna yang jelas dengan sikap pertama. Memberi salam kepada siapapun, baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal. Sepertinya mudah, tapi ini merupakan ciri dari ketawadu’an sekaligus keimanan seseorang.

Sedangkan sikap ketiga, berinfaq dengan sesuatu yang diperlukan. Memberikan dan mengeluarkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan di saat kita sendiri sedang membutuhkan sesuatu itu. Pasti tidak mudah. Karena jiwa manusia, cenderung menahan yang ia miliki, dan cenderung tidak memberikan kepada orang lain, sesuatu yang ia butuhkan. Maka, seandainya, ada orang yang memiliki sikap ini seperti ini, hampir dipastikan, tidak ada kesombongan dalam dirinya, tidak ada ego dalam hatinya. Yang ada adalah empati, mendahulukan orang lain, yang otomatis berarti lebih menghargai orang lain.

Saudaraku,

Tiga sikap yang sungguh padat nilainya dan bukan mudah memilikinya. Tiga sikap yang saling berkait dan benar-benar menunjukkan kualitas iman yang luarbiasa bagi orang yang melakukannya. Bersikap jujur terhadap diri sendiri, tak memandang kondisi orang dalam bersikap baik dan bersikap baik, lalu memberikan kepada orang lain, dengan sesuatu yang sedang dibutuhkan.

Adakah diantara kita yang sanggup membuktikan keimanan kita dengan melakukan sikap-sikap itu semua?

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 235 Th.12, Muharram 1432H, 30 Desember 2010

Hanya Karena Kehendak Allah

 

Hanya Karena Kehendak Allah ....[1] [2]

(Hal-76) Saudaraku,

Himmah dalam bahasa Arab, artinya semangat kuat, tekad bulat, yang Allah berikan kepada manusiadalam menempuh beragam keinginan. Keinginan itu, bisa berbentuk prestasi belajar, capaian ekonomi atau bisnis, aspek kekuasaan dan lainnya, termasuk tentu saja keinginan dan obsesi dakwah yang tentu ada dalam diri para juru dakwah. Umumnya kita, memiliki himmah, meski mungkin berbeda sasarannya.



Yang penting kita ingat adalah, tercapainya tujuan dan capaian itu, tidak disebabkan, sarana, cara, metode, yang kita gunakan. Manusia memiliki keinginan, berusaha keras untuk mencapai keinginannya. Manusia memilih cara dan sarana yang dianggap paling bisa mengantarkannya mencapai tujuan. Tapi keberhasilan atau kegagalannya, tidak ditentukan oleh cara dan sarana itu.

(Hal-77) Saudaraku,

Dalam salah satu mutiara nasihatnya, Ibnu Attahilah, “Sawaabiqul himam laa takhriqu aswaar al qadar.” Ibnu Atthailah dalam kitab Al Hikamnya yang terkenal itu, mengambil istilah “aswaar al aqdaar” atau benteng takdir. Aswaar, secara bahasa biasa diartikan tembok perbatasan yang mengelilingi sebuah kota. Sebuah bangunan yang menyerupai pagar, tapi ini dibangun dengan bentuk yang besar, lebih kuat, dan biasanya lebih tinggi karena fungsi utamanya untuk menghalau atau menghambat serangan dari luar. Engkau tidak bisa menembus tembok takdir atau ketetapan Allah swt itu dengan kuatnya tekad dan bulatnya semangat, atau hanya dengan mengandalkan kekuatanmu saja, begitu kira-kira terjemahan yang mudah dipahami dari perkataan Ibnu Athaillah tadi.

Syaikh Ramadhan Al Buthi saat menjelaskan nasihat Ibnu Athaillah itu mengatakan, “Wahai manusia, lakukan saja apapun yang engkau ingin dan berusahalah untuk mencapai hasilnya, apapun yang engkau mau. Tempuhlah sebab-sebab apa saja di ruang yang Allah swt hamparkan untukmu. Kerahkanlah seluruh kemampuanmu. Tapi engkau harus tahu, bahwa semua sebab yang engkau tempu itu, betapapun kecanggihannya menurutmu, ia tetap saja kenyataan yang mati bila harus berhadapan dengan ketetapan Allah dan Hikmah-Nya yang telah ditentukan lebih dahulu saat sebab-sebab itu belum ada.”

Saudaraku,

Coba kaji dan dalami lagi kaitan ungkapan ini dengan apa yang mungkin kita alami sehari-hari. Bahwa orang begitu serius menempuh sebab-sebab memperoleh rizki misalnya. Ia harus meyakini bahwa upayanya mencapai sebab itu, tak menjadi penentu berhasil atau tidaknya ia memperoleh rizki. Bila kita berada di sebuah lingkungan yang  penuh dengan keharaman sampai kita terpaksa “harus” melakukan yang haram itu, seharusnya kita berpikir segera menyudahi keberadaan kita di sana dengan segala resikonya. Tapi ketika itu, biasanya, syaitan membisikkan alasan lain, “Boleh jadi lingkugan ini merupakan sebab datangnya rizki Allah kepadamu. Sangat sulit mencari alternatif lainnya,bila engkau tutup peluang di sini.”

Jika kita memahami, salah satu prinsip aqidah tentang ketetapan Allah swt itu, kita bisa katakan kepada syaitan, “bila Allah swt telah menetapkan aku memperoleh rizki yang banyak, maka rizki itu pasti akan datang padaku kemanapun aku pergi. Sebaliknya bila Allah menetapkan rizkiku sedikit, maka tetap saja rizki sedikit itu akan datang kepadaku, di mana saja aku pergi. Meskipun aku diam di tempat ini.”

(Hal-78) Saudaraku,

Jadi untuk apa kita menempuh sebab-sebab bila akhirnya juga tergantung pada ketetapan Allah? Syarat yang harus ditempuh dua saja, pertama sebab-sebab itu harus sesuai dengan kehendak Allah swt. Abaikan semua sarana, cara, prasarana, metode yang tidak sesuai dengan keinginan Allah swt. Kedua, mengoptimalkan menempuh sebab-sebab yang ada untuk mencapai tujuan. Bukan dengan keyakinan penuh bahwa cara itu sangat efektif dan pasti berhasil. Tapi dengan landasan niat karena Allah swt memang memerintahkan kita untuk berinteraksi dengan sebab-sebab dan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Yakini juga bahwa efektifitas, kekuatan, kecanggihan sebab itu tunduk pada kehendak Allah swt dan hikmah-Nya. Jadi bukan sebab-sebab itu yang menguasai hati kita, melainkan Allah swt yang menjadikannya.

Saudaraku,

Salah satu bagian inti dari ketauhidan pada Allah adalah mengakui bahwa semua yang terjadi dialam ini, adalah mutlak kehendak Allah swt. Tidak ada yang terlepas dari kuasanya.

Contoh yang lebih sederhana adalah andai kita makan dan kenyang, maka yang menjadikan kita kenyang bukan makanan itu, melainkan Allah swt. Bila kita minum air dan haus kita hilang, yakinlah yang menghilangkan haus itu bukan air yang kita minum, tapi Allah yang menjadikannya demikian. Dan jika kita sakit, lalu meminum obat, jangan tergiring untuk menganggap obat atau dokter yang  memberi resep obat itu yang menjadikan kita sembuh. Melainkan Allah swt yang mengatur dan menggerakkan organ tubuh kita bereaksi positif terhadap obat itu sehingga sembuhlah kita dari penyakit.

Karenanya, apapun hasil yang kita dapatkan, setelah memilih cara yang paling baik dan sesuai kehendak Allah, lalu melakukan usaha optimal untuk mencapai keinginan, jangan pernah lupa bersyukur, “alhamdulillah.” Termasuk ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Berhasil atau gagalnya, tidak tergantung pada sarana dan cara, bahakan tidak tergantung pada upaya kita, melainkan mutlak karena kehendak Allah swt. Dia yang tak pernah memberik keburukan pada hamba-Nya, telah menetapkan kita untuk menerimanya.

Itu sebabnya, Rasulullah saw bersabda, “Mintalah kepada Allah swt dan jangan melemah (dalam meminta. Bila engkau ditimpa sesuatu jangan katakan, ‘Jika aku lakukan ini dan itu ... pasti akan ini dan itu.’ Karena kata “jika” dalam hal itu membuka jalan untuk syaitan. Tapi katakanlah,”Allah telah menetapkan dan apapun yang diinginkan-Nya akan terjadi.” (HR. Muslim)

Kesempurnaan orang yang mengenal Allah swt, bahkan digambarkan oleh Ali Radhiallahu anhu. Ia mengatakan,”Jika kami menginginkan sesuatu lalu sesuatu itu benar-benar terjadi, kami memuji Allah satu kali. Tapi bila sesuatu itu tidak terjadi, kami justru memuji Allah sepuluh kali. Karena kegagalan itu telah memperkuat ma’rifah kami kepada Allah swt..”

Ingat saudaraku,

Bukan karena sebab, bukan karena usaha kita. Tapi hanya karena kehendak Allah....*

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 241 Th.12, Muharram 1431H, 16 Desember  2010

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku

 

Andai Bukan Karena Cinta-Nya Kepadaku[1][2]

 

(Hal-76) Seharusnya kita mengerti adanya perbedaan mendasar, antara bekerja dan menerima upah bekerja antara sesama manusia, dengan bekerja lalu menerima pahala antara manusia dan Allah swt. Sebagian orang rancu menganggap beramal atau bekerja dalam hubungan antar manusia, sama dengan beramal dalam hubungan dirinya dengan Allah swt.



Contohnya begini. Bila ada salah seorang kita bekerja dan berhak mendapatkan upah sebuah kebun. Apakah sama kondisinya, bila salah seorang kita beramal dan berhak mendapat balasan dari Allah swt berupa surga? Atau ungkapan sederhananya, apakah kita berhak mendapatkan balasan surga dari Allah swt karena amal-amal yang kita lakukan? Seperti kita berhak mendapatkan upah dari manusia karena pekerjaan yang kita lakukan.

(Hal-77) Saudaraku,

Jika itu bagian dari anggapan kita, berarti kita ungkapan dalam pikiran kita adalah, “Allah akan membalas pahala kepadaku, karena aku telah melakukan amal shalih sesuai perintah-Nya.” Dan bila itu yang terjadi, itulah yang dikatakan mengandalkan amal, bukan mengedepankan Allah swt saat kita beramal.

Mari kita kaji lebih jauh masalah ini. Para salafushalih memiliki pandangan yang begitu dalam tentang hubungan amal seseorang dengan harapan penuh kepada pahala yang akan Allah berikan kepadanya. Dalam kitab Al Hikam tulisan Ibnu Athailah misalnya, is mengatakan,”Termasuk tanda seseorang yang bersandar pada amalnya, adalah sikap kurang memiliki harapan saat terpeleset dan melakukan dosa.” Ungkapan Ibnu Athailah ini adalah anjuran agar kita benar-benar bersandar pada ridha Allah, bukan kepada pahala dan ganjaran yang Allah akan berikan atas amal yang kita lakukan itu. Shalat, puasa, shadaqah, beragam amal shalih. Kita benar-benar berharap akan kelembutan, kasih sayang dan kemurahan Allah swt. Bukan pada amal-amal itu sendiri.

Bagaimana mendudukkan logika ini secara lebih terang?

Syaikh Al Buthi, saat menjelaskan ungkapan Ibnu Athailah itu menguraikan,” Ketika Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt memerintahkan kita dengan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, Allah swt menolong, membantu, memfasilitasi kita melakukan itu semua. Siapa yang menjadikan kita mampu mendirikan shalat? Siapa yang menjadikan kita kuat menahan lapar dan haus saat puasa? Siapa yang melapangkan hati kita untuk bisa menerima keimanan? Siapa yang menjadikan kita mau dan sanggup melangkah lalu mendatangi masjid untuk melakukan shalat berjamaah? Allah swt. Itu sebabnya, Allah swt berfirman,”Mereka merasa telah memgeri nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Q.S Alhujurat: 17)

Amal saja, bukan jaminan untuk masuk surga. Jadi, yang diminta dari kita adalah melakukan ketaatan dengan perasaan sangat ingin mendapatkan ridha Allah dan pahala dari Allah. Mengharap kemurahan Allah, ampunan-Nya, kelembutan Allah swt kepada kita melalui amal-amal shalih yang dilakukan. Ada sandaran hadist yang paling tepat (Hal-78) untuk masalah ini. Rasulullah saw bersabda, “Amal takkan memasukkan seseorang kalian ke dalam surga.” Sahabat bertanya, “Apakah termasuk engkau ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “termasuk aku, kecuali Allah meliputi ku dengan Kasih Sayang-Nya.”

Saudaraku,

Salah satu ciri orang  yang mengandalkan amal dalam mengerjakan ketaatan, ketika ia sedikit harapannya untuk bisa mendapatkan ampunan Allah swt saat melakukan kesalahan. Itu sambungan perkataan Ibnu Athailah rahimahullah. Artinya, ketika amal-amal yang kita lakukan sedikit, sementara kita juga melakukan dosa, hendaknya kita tetap memohon, meminta dan berharap kepada Allah swt untuk terus memberi ampunan. Tidak pesimis atas rahmat Allah swt.

Mari merenung saudaraku ....

Jangan sampai kita berkhayal dengan modal amal-amal shalih yang kita lakukan di dunia ini, lalu kita telah menebus harga untuk berhak masuk surga. Sebab ketika kita bersyukur secara lisan atas karunia Allah kepada kita, kita juga harus bersyukur atas nikmat Allah yang menggerakkan lisan dan hati ini untuk bersyukur. Jika kita berdiri shalat malam maka kita harus bersyukur memuji Allah yang telah menolong dan membantu kita untuk bisa berdiri di hadapan-Nya, di tengah malam. Andai bukan kerena kecintaan Allah kepada kita, andai bukan karena pertolongan dan bantuan Allah kepada kita, andai bukan karena kebaikan dan ke Maha Lembutan Allah kepada kita, kita takkan bisa melakukan itu semua.

Saudaraku,

Ada kisah seorang istri shalihat di zaman shalifushalih. Suatu malam, sang suami bangun tengah malam dan melihat istrinya sedang shalat di salah satu sudut rumahnya. Dalam shalat itu, ia mendengar ungkapan yang diucapkan istrinya saat sujud. “Ya Allah sungguh aku memohon cinta-Mu kepadaku untuk bisa membahagiakanku, menjadi aku sehat dan menjadikan aku mulia di hadapan-Mu.... dan seterusnya.

Sang suami heran mendengar doa ini. Ia menunggu sampai istrinya selesai shalat dan memanggilnya,”Mengapa engkau meminta seperti itu kepada Allah. Katakanlah: Ya Allah dengan cintaku kepada-Mu, aku memohon kepada-Mu, agar membahagiakan aku .... dan seterusnya. Istrinya menjawab:”Suamiku, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan sanggup di waktu seperti sekarang ini, andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, aku takkan bisa berdiri di hadapan-Nya sekarang. Andai bukan karena cinta-Nya kepadaku, akupun takkan bisa berucapkan doa seperti tadi ...”

Saudaraku,

Seperti itulah ruh dari doa yang dikisahkan oleh Syaikh Al Bouthi bahwa salah satu yang diajarkan ayahnya dalam doa adalah dengan mengatakan,”Ya Rabb, aku bersyukur kepadamu, akan tetapi Engkaulah yang menginspirasikan aku untuk bersyukur kepada-Mu. Maka syukurku kepada-Mu yang mengharuskan aku bersyukur pula karena Engkau telah membantu untuk bisa bersyukur kepada-Mu. Engkaulah pencipta segala sesuatu. Engkaulah Yang Maha Lembut kepadaku di setiap keadaan.”***

 

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 240 Th.12, Dzulhijjah 1432H, 2 Desember 2010 M

Hanya Karena Kehendak Allah

Hanya Karena Kehendak Allah ....[1] [2]

(Hal-76) Saudaraku,

Himmah dalam bahasa Arab, artinya semangat kuat, tekad bulat, yang Allah berikan kepada manusiadalam menempuh beragam keinginan. Keinginan itu, bisa berbentuk prestasi belajar, capaian ekonomi atau bisnis, aspek kekuasaan dan lainnya, termasuk tentu saja keinginan dan obsesi dakwah yang tentu ada dalam diri para juru dakwah. Umumnya kita, memiliki himmah, meski mungkin berbeda sasarannya.



Yang penting kita ingat adalah, tercapainya tujuan dan capaian itu, tidak disebabkan, sarana, cara, metode, yang kita gunakan. Manusia memiliki keinginan, berusaha keras untuk mencapai keinginannya. Manusia memilih cara dan sarana yang dianggap paling bisa mengantarkannya mencapai tujuan. Tapi keberhasilan atau kegagalannya, tidak ditentukan oleh cara dan sarana itu.

(Hal-77) Saudaraku,

Dalam salah satu mutiara nasihatnya, Ibnu Attahilah, “Sawaabiqul himam laa takhriqu aswaar al qadar.” Ibnu Atthailah dalam kitab Al Hikamnya yang terkenal itu, mengambil istilah “aswaar al aqdaar” atau benteng takdir. Aswaar, secara bahasa biasa diartikan tembok perbatasan yang mengelilingi sebuah kota. Sebuah bangunan yang menyerupai pagar, tapi ini dibangun dengan bentuk yang besar, lebih kuat, dan biasanya lebih tinggi karena fungsi utamanya untuk menghalau atau menghambat serangan dari luar. Engkau tidak bisa menembus tembok takdir atau ketetapan Allah swt itu dengan kuatnya tekad dan bulatnya semangat, atau hanya dengan mengandalkan kekuatanmu saja, begitu kira-kira terjemahan yang mudah dipahami dari perkataan Ibnu Athaillah tadi.

Syaikh Ramadhan Al Buthi saat menjelaskan nasihat Ibnu Athaillah itu mengatakan, “Wahai manusia, lakukan saja apapun yang engkau ingin dan berusahalah untuk mencapai hasilnya, apapun yang engkau mau. Tempuhlah sebab-sebab apa saja di ruang yang Allah swt hamparkan untukmu. Kerahkanlah seluruh kemampuanmu. Tapi engkau harus tahu, bahwa semua sebab yang engkau tempu itu, betapapun kecanggihannya menurutmu, ia tetap saja kenyataan yang mati bila harus berhadapan dengan ketetapan Allah dan Hikmah-Nya yang telah ditentukan lebih dahulu saat sebab-sebab itu belum ada.”

Saudaraku,

Coba kaji dan dalami lagi kaitan ungkapan ini dengan apa yang mungkin kita alami sehari-hari. Bahwa orang begitu serius menempuh sebab-sebab memperoleh rizki misalnya. Ia harus meyakini bahwa upayanya mencapai sebab itu, tak menjadi penentu berhasil atau tidaknya ia memperoleh rizki. Bila kita berada di sebuah lingkungan yang  penuh dengan keharaman sampai kita terpaksa “harus” melakukan yang haram itu, seharusnya kita berpikir segera menyudahi keberadaan kita di sana dengan segala resikonya. Tapi ketika itu, biasanya, syaitan membisikkan alasan lain, “Boleh jadi lingkugan ini merupakan sebab datangnya rizki Allah kepadamu. Sangat sulit mencari alternatif lainnya,bila engkau tutup peluang di sini.”

Jika kita memahami, salah satu prinsip aqidah tentang ketetapan Allah swt itu, kita bisa katakan kepada syaitan, “bila Allah swt telah menetapkan aku memperoleh rizki yang banyak, maka rizki itu pasti akan datang padaku kemanapun aku pergi. Sebaliknya bila Allah menetapkan rizkiku sedikit, maka tetap saja rizki sedikit itu akan datang kepadaku, di mana saja aku pergi. Meskipun aku diam di tempat ini.”

(Hal-78) Saudaraku,

Jadi untuk apa kita menempuh sebab-sebab bila akhirnya juga tergantung pada ketetapan Allah? Syarat yang harus ditempuh dua saja, pertama sebab-sebab itu harus sesuai dengan kehendak Allah swt. Abaikan semua sarana, cara, prasarana, metode yang tidak sesuai dengan keinginan Allah swt. Kedua, mengoptimalkan menempuh sebab-sebab yang ada untuk mencapai tujuan. Bukan dengan keyakinan penuh bahwa cara itu sangat efektif dan pasti berhasil. Tapi dengan landasan niat karena Allah swt memang memerintahkan kita untuk berinteraksi dengan sebab-sebab dan cara-cara yang dikehendaki-Nya. Yakini juga bahwa efektifitas, kekuatan, kecanggihan sebab itu tunduk pada kehendak Allah swt dan hikmah-Nya. Jadi bukan sebab-sebab itu yang menguasai hati kita, melainkan Allah swt yang menjadikannya.

Saudaraku,

Salah satu bagian inti dari ketauhidan pada Allah adalah mengakui bahwa semua yang terjadi dialam ini, adalah mutlak kehendak Allah swt. Tidak ada yang terlepas dari kuasanya.

Contoh yang lebih sederhana adalah andai kita makan dan kenyang, maka yang menjadikan kita kenyang bukan makanan itu, melainkan Allah swt. Bila kita minum air dan haus kita hilang, yakinlah yang menghilangkan haus itu bukan air yang kita minum, tapi Allah yang menjadikannya demikian. Dan jika kita sakit, lalu meminum obat, jangan tergiring untuk menganggap obat atau dokter yang  memberi resep obat itu yang menjadikan kita sembuh. Melainkan Allah swt yang mengatur dan menggerakkan organ tubuh kita bereaksi positif terhadap obat itu sehingga sembuhlah kita dari penyakit.

Karenanya, apapun hasil yang kita dapatkan, setelah memilih cara yang paling baik dan sesuai kehendak Allah, lalu melakukan usaha optimal untuk mencapai keinginan, jangan pernah lupa bersyukur, “alhamdulillah.” Termasuk ketika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita. Berhasil atau gagalnya, tidak tergantung pada sarana dan cara, bahakan tidak tergantung pada upaya kita, melainkan mutlak karena kehendak Allah swt. Dia yang tak pernah memberik keburukan pada hamba-Nya, telah menetapkan kita untuk menerimanya.

Itu sebabnya, Rasulullah saw bersabda, “Mintalah kepada Allah swt dan jangan melemah (dalam meminta. Bila engkau ditimpa sesuatu jangan katakan, ‘Jika aku lakukan ini dan itu ... pasti akan ini dan itu.’ Karena kata “jika” dalam hal itu membuka jalan untuk syaitan. Tapi katakanlah,”Allah telah menetapkan dan apapun yang diinginkan-Nya akan terjadi.” (HR. Muslim)

Kesempurnaan orang yang mengenal Allah swt, bahkan digambarkan oleh Ali Radhiallahu anhu. Ia mengatakan,”Jika kami menginginkan sesuatu lalu sesuatu itu benar-benar terjadi, kami memuji Allah satu kali. Tapi bila sesuatu itu tidak terjadi, kami justru memuji Allah sepuluh kali. Karena kegagalan itu telah memperkuat ma’rifah kami kepada Allah swt..”

Ingat saudaraku,

Bukan karena sebab, bukan karena usaha kita. Tapi hanya karena kehendak Allah....*

 



[1] M. Lili Nur Aulia

[2] Majalah Tarbawi Edisi 241 Th.12, Muharram 1431H, 16 Desember  2010

Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup

Seperti Burung yang Serius Menjalani Hidup[1][2]

(Hal-76) “Semua permainan itu batil,” ujar Rasulullah saw. Tapi hadits Rasulullah itu tak berhenti sampai kalimat itu. “Kecuali tiga hal: seseorang yang melatih kudanya, pencengkramaan suami dan istri, dan latihan memanah dan menombak. Ketiganya itu termasuk al haq.” (HR. Abu Dawud dalam Bab Jihad, bab Latihan Memanah).



Meski sepintas saja, hadits ini menyimpan banyak hal yang unik. Bagaimana Rasulullah saw, menggambarkan sesuatu yang bersifat permainan, tetapi bisa membawa manfaat dalam tiga aktivitas yang begitu detail. Hadits senada, ada pula yang berbunyi, “Segala sesuatu kecuali dzikrullah  adalah kesia-sian dan permainan. Kecuali empat hal: sendagurau suami dan istri, latihan berkuda, seorang yang berkompetisi dengan musuhnya,(Hal-77) dan mengajarkan cara berenang.” (HR. An Nasaidalam bab Usyratu An Nisa, Shahih Al Jami’, no.4534)

Saudaraku,

Coba kita kupas lebih dalam hadits ini. Di sini, Rasulullah mengkhususkan arti permainan, pada sesuatu yang bisa mendatangkan manfaat. Jika kita dalami,  kita akan mendapati semua hal yang disebutkan itu sangat terkait dengan kondisi manusia secara lengkap. Terkait dengan kesinambungan keturunan, terkait dengan kesehatan dan kekuatannya, terkait dengan kehormatan dan kemuliaannya. Artinya, semua itu bisa membawa manusia lebih mendekat pada kemuliaan dan kelengkapan hidupnya.

Saudaraku,

Para ulama menafsirkan hadits ini dengan menyebutkan bahwa yang dimaksud senda gurau antara suami istri, adalah keadaan yang lazim dilakukan keduanya sebelum melakukan hubungan yang bisa menjadi awal lahirnya keturunan bagi keduanya. Sedangkan kompetisi dengan musuh terkait situasi kondusif dalam menunjukkan siapa yang lebih piawai, lebih baik, lebih kuat, lebih menguasai di hadapan musuh. Kemudian mengajarkan berenang , tentu terkait dengan aspek kesehatan dan kekuatan seseorang. Lalu, melemparkan tombak dan berlatih memanah, dan juga melatih kuda, adalah persiapan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi serangan musuh. Ini bisa ditafsirkan dalam bentuk persiapan apapun, yang bisa menjadi benteng pertahanan umat Islam bila mendapatkan serangan, dan itu menjadi syarat kehormatan di hadapan musuh yang menyerang.

Sempurna sekali hadits ini....

Saudaraku,

Mari kita lanjutkan dengan dengan melihat pilihan kata Rasulullah saw dalam hadits ini. Rasul menyebutkan, semua permainan itu adalah batil. Sebenarnya, arti adalah, tak ada kebaikan di dalamnya dan tak ada manfaat apapun. Batil, memiliki arti lebih umum dari haram. Batil, bisa mencakup haram, dan tidak haram tapi tidak bermanfaat. Singkatnya, mungkin kata “batil” bisa diartikan semua yang bisa mendatangkan bahaya. Bagaimana mungkin sesuatu yang bahaya tapi tidak haram?

Benar. Itu bisa dilihat dari dua hal. Pertama, mubah yang dilakukan berlebihan, itu bisa menjadi batil. Misalnya, air dan makanan, keduanya mubah. Tapi bila berlebihan digunakan, melewati keperluan, bisa membawa bahaya. Bisa mematikan. Kedua, makruh atau dibenci dilakukan. Contohnya, ikut (Hal-78)hadir ke tempat orang yang ramai bercanda dan banyak humor. Bila dilakukan berlebihan, itu bisa membuat hati seseorang manjadi kasat dan mati.

Intinya, baik haram dan tidak haram, setiap kita sebagai Muslim harus memperhatikan apakah segala sesuatu yang dilakukan itu bisa membawa bahaya bagi tubuh, bagi ruh atau jiwa, bagi akal, bagi harta, bagi kehormatan, bagi keluarga dan lainnya. Ya, meskipun tidak sampai haram. Itulah subtansi yang dimaksud dalam hadits Rasulullah saw tadi. Begitu dalam Rasulullah saw memberikan batasan dalam hidup ini. Bahwa kehidupan ini, memang selalu berdiri diatas prinsip yang sama, siapapun yanb berbuat maka ia akan menuai akibatnya. Dan siapapun yang lalai, ia akan rugi.

Saudaraku,

Perhatikanlah hewan yang ada di sekitar kita. Burung-burung yang terbang di pohon-pohon dan hinggap di ranting pohon atau di tempat tertentu itu, mereka sangat mengerti apa arti keseriusan, usaha dan kerja. Mereka melewati hidupnya dengan begitu serius, baik untuk mempersiapkan kerja, atau dalam proses kerja yang bisa mendatangkan manfaat bagi mereka. Permainan, dalam hidup mereka adalah saat mereka bekerja mencari makan. Bahkan itu menjadi bagian yang bisa menopang hidup mereka. Seperti itulah ketetapan Allah swt kepada mereka.

Saudaraku,

Hewan-hewan itu tidak diberi taklif (tugas) oleh Allah swt. Sedangkan kita, manusia, diberi taklif  oleh Allah swt. Mereka hewan-hewan itu, menanam dan menuai hasilnya di dunia. Sedangkan kita, menanam dan menuai hasilnya di dunia dan tentu akhirat. Hikmahnya, kita dan mereka harus sama-sama bahkan lebih serius dan sungguh-sungguh menjalani hidup ini. Bukan untuk sekedar permainan, yang tak membawa manfaat tapi bisa membawa bahaya.

Kini, kita begitu banyak diantara kita yang tenggelam dan terseret-seret dalam permainan yang tidak membawa manfaat dan membahayakan. Tenggelam dalam game elektronik, pesta nyanyi, mode dan sebagainya. Padahal dalam protokolat Zionist disebutkan bahwa salah satu misi mereka yang tercantum dalam point 13, adalah menenggelamkan manusia dalam permainan. “Agar menjauhkan kalangan non Yahudi mengetahui apa langkah baru kita, kita akan hanyutkan mereka dalam ragam permainan yang melalaikan.”

Saudaraku,

Orang-orang yang mengerti tentang keseriusan dalam hidup ini, akan mengatakan,”Kewajiban lebih banyak dari waktu yang ada.” Bagi mereka yang mengerti apa peran mereka dalam hidup, mengetahui apa yang harus dilakukan dan yang harus diterima akibatnya dari hidup. Mereka akan menimbang-nimbang. Lalu mendapati bahwa apa yang harus mereka lakukan lebih banyak dari rentang waktu yang mereka miliki. Selanjutnya, mereka tenggelam di lautan amal, bekerja, keseriusan, jauh dari permainan yang tidak membawa manfaat apalagi yang membahayakan.

Dalam surat Ath Thariq, Allah swt yang artinya,

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil, dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau. (QS. Ath Thariq:13-14)

 



[1]M. Lili Nur Aulia

[2]Majalah Tarbawi Edisi 235 Th.12, Ramadhan-Syawal 1431H, 23 September 2010

DOSA YANG TERUS MENGALIR

 

DOSA YANG TERUS MENGALIR .......[1][2]

(Hal-76) Coba renungkan sebentar, firman Allah swt dalam surat yasin ayat 12 ini:”Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.”



Saudaraku,

Soal bagaimana kehidupan ini tidak berakhir dengan kematian di dunia. Soal Allah mencatat amal-amal kita dan apa saja yang kita (Hal-77) tinggalkan selama hidup. Lalu semuanya dikumpulkan dalam sebuah kitab.

Diamlah sejenak.perhatikanlah lebih seksama bagaimana Allah swt berfirman,”.... wa aatsaarahum” dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan ....” kalimat ini penting kita pahami dan renungkan dalam-dalam. Karena artinya, selain amal-amal yang telah kita lakukan, ada pula bekas-bekas yang kita tinggalkan, yang termasuk dalam catatan Allah swt.

Saudaraku,

Sebenarnya, pembicaraan tentang kebaikan dan keburukan, sudah terlalu sering kita baca. Juga, ulasan tentang nikmatnya amal jariyah, atau aliran pahala yang tidak putus meski kita sudah meninggal, sudah berulangkali kita mendengar dan membacanya. Ya, pahala shadaqah, ilmu dan do’a anak yang shalih, akan terus mengalir pada kita meski kita sudah tidak ada di dunia. Sekali lagi, tema tentang itu, sudah berulangkali kita dengar dan kita pikirkan.

Tapi barangkali kita belum atau jarang sekali berpikir bila kebalikannya yang terjadi. Ketika justru keburukan yang terus mengalir pada kita meski kita telah tiada dia atas bumi? Jika justru kejahatan yang balasannya terus mendatangi kita meski kita sudah tidak lagi hidup? Dan justru aliran dosa demi dosa yang terus-menerus tersalur pada tubuh kita yang sudah mati? Itu termasuk dalam kandungan kalimat Allah swt tadi,”.... wa atsaarahum”  yang artinya, “.... dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan...”

Saudaraku,

Para menguraikan penjelasan panjang tentang kondisi manusia bila telah meninggal. Diantaranya adalah dua kategori manusia bila dilihat dari aliran pahala atau dosa dari apa yang ia lakukan semasa hidup.

Kelompok pertama, mereka yang mati dan terputus semua aliran kebaikan serta keburukannya. Dua-duanya terputus, tidak ada keshalihan yang pahalanya mengalir, tidak ada juga dosa yang dosanya mengalir. Orang-orang seperti ini, tak memiliki apapun kecuali apa yang telah mereka kerjakan semasa hidup. Kelompok kedua, mereka yang meninggal tapi masih ada aliran pahala maupun dosa yang dilakukan semasa hidup. Kelompok kedua ini terbagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama, mereka yang meninggal lalu tetap mendapatkan aliran balasan kebaikan dan keburukannya selama di dunia. Ia tetap memperoleh pahala kebaikannya dan juga mendapatkan tradisi buruknya yang diikuti orang lain. Nasib orangyan seperti ini nantinya kan tergantung  mana yang lebih berat, timbangan balasan, (Hal-78) kebaikan dan keburukannya.

Bagian kedua, orang yang meninggal dan terputus semua aliran keburukan yang pernah ia lakukan di dunia. Hanya aliran amal kebaikannya saja yang mengalir terus mesk ia telah meninggal. Untuk bagian kedua ini, mereka akan mendapatkan ganjaran kebaikan dari Allah swt sesuai tingkat keikhlasannya, pengorbanannya dalam melakukan amal shalih di dunia. Ini tema yang seringkali kita dengar dan kita kaji, yakni yang disebut dengan amal jariyah. Semoga Allah membantu kita bisa masuk dalam golongan ini.

Bagian ketiga, adalah mereka yang meninggal tapi terputus semua aliran kebaikan darinya, yang tersisa hanya aliran balasan atas keburukannya saja, meski ia sudah meninggal. Orang yang masuk dalam kategori ini, ia terbujur dalam liang kubur, tapi bekal keburukannya setiap hari bertambah dan bertambah. Hingga kelak bila terjadi kiamat, keburukannya sangat banyak. Semoga Allah benar-benar melindungi dan menghindari kita dari keadaan ini.

Saudaraku,

Ini sebabnya, Imam Hamid Al Ghazali menegaskan,”Beruntunglah orang bila ia mati, mati bersama-sama dosanya. Kesengsaraan yang panjanglah bagi orang yang mati, tapi dosa-dosanya tidak mati selama seratus tahun, dua ratus tahun, atau lebih lama dari itu yang membuatnya tersiksa di dalam kuburnya.” (Ihya Ulumuddin, 2/73)

Dalam sejumlah ayat Al Qur an disebutkan masalah dosa yang terus mengalir ini, agar kita lebih waspada dan berhati-hati meniti hidup. Seperti firman Allah swt surat An Nahl ayat 25 yang artinya, “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa yang mereka sesatkan yang tidak mengerti sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”

Lalu, salah satu sabdanya ang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah saw juga bersabda tentang hal yang sama. Sabdanya, “ Barangsiapa yang melakukan tradisi buruk dalam Islam, maka atasnya balasannya dan balasan orang yang melakukan keburukan itu tanpa mengurangi sedikitpun balasan keburukan atas diri mereka.”

Saudaraku,

Mari sadari lebih jauh keadaan kita hari ini. Pikirkanlah. Adakah ide dan pikiran kita yang telah sampai ke banyak orang, tapi bermuat penyimpangan dan dosa di hadapan Allah swt dan mereka lalu melakukan ide dan pemikiran kita? Adakah tulisan kita yang bermakna dosa, tapi kemudian diikuti dan dilakukan oleh orang lain? Lalu orang lain itu ditiru oleh orang yang lainnya yang melakukan dosa yang asalnya kita lakukan?

Saudaraku,

Mari mohon ampun kepada Allah swt dan lebih waspada berbuat di hari esok. Mari mengganti semuanya dengan amal shalih yang bisa menjadi aliran kebaikan hingga kelak jika kita sudah tidak memiliki waktu beramal lagi di sini .....

(Elqinet, Senin , 10 Mei 2010 M, 19:13:12WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 227 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 06 Mei 2010 M

[2] M. Lili Nur Aulia