Maafkan Kami Ramadhan
Oleh Ahmad Zairofi AM
“Maafkan kami Ramadhan. Kepala kami tertunduk malu
karena engkau menjanjikan kami berlimpah kebaikan, tapi kami tenggelam dalam
kehinaan.”
(Syaikh Adil bin Ahmad)
Maafkan Kami Ramadhan |
(Hal-09) Ramadhan
... seluruh satuan masa di sepenuh bulannya adalah cahaya, bagi kita, bila kita
ingin menggapai takwa. Ia tak semata kesempatan. Lebih dari itu, Ramadhan,
adalah pusaran kesakralan.
Ramadhan ...
Sejujurnya setiap jiwa kita merindu kesakralan. Tanpa kecuali. Sebab begitulah karakter jiwa kita diciptakan. Kita memang dari tanah. Tapi kita juga dicetak dari tiupan ruh, yang menjadikan tanah yang mati dalam tubuh kita tumbuh dan hidup. Karenanya seharusnya seluruh jiwa raga kita sangat ceria dan bahagia dengan Ramadhan, bahkan saat ia baru nyaris tiba. Tapi godaaan nafsu dan tarikan-tarikan liar dunia memalingkannnya.
(Hal-10) padahal
air mata keimanan justru milik
orang-orang besar. Tangisan keimanan justru milik jiwa-jiwa yang tegar. Itu
sebabnya, mata yang menangis karena Allah, tidak akan tersentuh neraka. Bersama
kedatangan Ramadhan, yang pasti, kita punya begitu banyak kekurangan. Kita
seharusnya takut, bila kekurangan begitu parah, sehingga kehadiran Ramadhan
lebih banyak untuk kita menambal, bukan seringkali membuat semuanya kacau dan
tercabik-cabik.
Sejujurnya semua jiwa kita merindu kesakralan. Dan Ramadhan, adalah muara segala kesakralan. Pada bulan suci itu ada gabungan seremoni lahiriyah, yang harus kita lakukan secara fisik, juga seremoni. Batin, yang harus kita hayati dengan khusyu’. Kesadaran yang tergabung antara ibadah lahiriyah dengan ibadah maknawiyah.
Maka bersama
Ramadhan hati yang keras bisa luluh leleh. Pikiran yang rancu bisa terurai
jernih. Dan gairah hidup, bersama Ramadhan, bisa sangat segar dan menyegarkan.
Sayang, tidak semua kita memahami dengan sebenar-benarnya.
Baca Juga: Dosa Yang Terus Mengalir
Sejujurnya setiap jiwa kita merindu kesakralan. Bahkan sebagian kita hampir seluruh hidupnya berhias gelak tawa, punya momen-momen kusut masai, saat dalam kesendirian tak bisa menghindari pertanyaan fitrah diri sendiri: apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini?
Peradaban kita bergerak pesat dalam dunia simbol. Mengenyangkan raga
tapi sering melaparkan jiwa. Di tengah arus yang sangat deras itu, sebenarnya,
perlahan-lahan jutaan jiwa diam-diam tertatih mencari oase ruhani. Kadang
pencarian itu salah arah. Padahal pada Ramadhan, ada banyak jawaban atas
pencarian itu.
Meski Ramadhan hadir dalam
utuh cintanya, kita belum lepas dari terlena. Bulan-bulan telah berlalu dan
banyak dari kita yang saldo amalnya minus, bahkan defisit parah. Itu semata
tidak soal hitung-hitungan amal dimaksud. Tapi juga kegersangan hati yang tak
pernah memanggil air mata, barang dua sekali pun.
(Hal-11) Ramadhan
...
Melalui lembar-lembar
kesempatan yang melekat pada Ramadhan, apa yang tertanam dalam iman kita bisa
mekar. Sebab iman memerlukan pembuktian. Di alam amal. Bersama Ramadhan iman
kita bisa mekar. Bersama Ramadhan iman jadi relevan. Karena Ramadhan, adalah
akumulasi kemuliaan pada setiap detaknya, maka sangat penting apa yang kita
lantunkan, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita lakoni di hari-hari mulia itu.
Dengan penanda siang dan
malam, subuh dan senja, karena Ramadhan, kita bisa melakukan hal-hal yang
berbeda. Berbeda kadarnya, berbeda nilainya, berbeda bentuknya, berbeda
penghargaannya, berbeda pembalasannya, di sisi Allah Swt.
Tapi yang tampak oleh mata sebagian kita hanya siang terang atau gelap malam, seperti biasanya. Padahal Ramadhan, bukan hari biasa, bukan siang biasa, bukan malam biasa.
Memang, siapa pun ingin mengerti jiwa Ramadhan, perlu menggunakan sentuhan rasa: rasa keimanan yang memadai. Itu sebabnya begitu banyak orang berlalu-lalang di hari-hari Ramadhan, dan hati mereka mati, beku. Maka mereka tidak berpuasa, atau tidak benar-benar berpuasa. Mereka tidak shalat, atau tidak benar-benar shalat.
Baca Juga: Ucapkanlah“Alhamdulillah......”
Mereka membaca Al Qur’an, atau tidak benar-benar membaca Al Qur’an.
Mereka gagal membaca hakikat Ramadhan. Sebab yang ia lihat hanya apa yang
tampak dari datangnya pagi dan hadirnya petang. Seperti hari-hari sebelumnya,
malam-malam lainnya. Mereka sungguh keliru.
Seharusnya kita sangat tahu bahwa Ramadhan adalah kesakralan yang dilekatkan kepada kita, karena kita seorang Muslim, sebagai aturan yang sangat mengikat. Tidak semata ajaran, tetapi juga kehormatan diri. Kesakralanannya mengikat memiliki status yang sangat tinggi.
Baik secara hukum maupun secara fungsi, serta manfaat. Sebab yang menciptakan kesakralan itu adalah juga Dzat yang menciptakan manusia. Maka kita yang diminta mengikuti apa yang ada pada Ramadhan. Kita yang harus menghadirkan diri kita sepenuhnya bersama Ramadhan.
Tanpa tautan kesakralan
itu, kita sebenarnya rapuh. Dan apalah arti badan yang tegak bila hati gelap
tak bercahaya. Jalan pun gontai, langkah pun tak pernah pasti. Tujuan pun tak
sampai. Ramadhan, kesakralannya memang sekaligus ujian.
(Hal-12) bila kreasi kesakralan berdimensi waktu, diserahkan sepenuhnya kepada kita, maka kita manusia, cenderung menciptakan sentra-sentra kesakralan, pada momen yang kita karang-karang sendiri. Dan itu lebih banyak palsunya. Sangat sedikit yang nyata. Itu sebabnya, kita sering gagal.
Bahkan apa yang sering kita sebut
ekspresi kesyukuran , karena bertambahnya keluarga, bertambahnya usia,
bertambah hasil, bertambah capaian, seringkali hanyalah pesta meriah dengan
secuil doa yang masih tersangkut di kerongkongan. Itu kesakralan yang kita
kreasi yang mungkin sulit dipahami dalam perspektif kesakralan Ramadhan.
Di kedatangan Ramadhan
yang kesekian, ia tetap lapang membuka diri, lega membagi peluang. Seharusnya
kita mengerti arti mengejar hasil bersama Ramadhan. Tidak semata jumlah, tapi
juga nilai. Di antara kita ada yang menyia-nyiakan bulan yang begitu mulia.
Bagaimana mungkin mereka bisa menghargai hari-hari lain di luar bulan Ramadhan?
Baca Juga: Biarkan Airnya Menetes
Sebagian lagi dari kita
hanya menghampiri sisi luar Ramadhan. Berleha sejenak di etalasenya. Menghibur
diri atas nama rasa lelah. Sangat sejenak. Tapi gagal memasuki ruang dalam di
lorong-lorong panjang Ramadhan yang melimpah berkah.
Banyak dari kita yang menghabiskan uang dan uang untuk belajar bagaimana mengatur waktu. Ada banyak pelatihan dan uji coba tentang itu. Ada banyak model tentang bagaimana mengelola waktu. Ada banyak falsafah yang kita anut tentang waktu.
Tapi sangat
sedikit yang menyediakan diri seluruhnya untuk keagungan waktu-waktu di saat
Ramadhan tiba. Maka ilmu kita tentang manajemen waktu semakin modern dan nampak
cerdas, tapi tetap banyak dari kita yang tak benar-benar mengerti betapa sangat
berharganya Ramadhan.
Bersama Ramadhan kita
belajar banyak tentang pengalian, bukan hanya tentang penjumlahan. Sebab,
begitulah yang tersedia bersama Ramadhan: pelipatgandaan balasan dan
penghargaaan. Seharusnya kita sadar, (Hal-13)
bahwa kita tak mendapati karunia besar dengan kedatangan Ramadhan, alangkah
datarnya hidup. Sebab yang kita lakukan hanya menjumlah angka-angka ibadah di
hari-hari biasa.
Jumlahnya sedikit dan
banyak yang compang-camping. Tapi bersama Ramadhan, semua dikalikan
berlipat-lipat. Begitu pu, banyak dari kita yang enggan menyediakan diri untuk
berbuat apa-apa yang bisa dikalikan. Di hari-hari istimewa itu. Maka bila Ramadhan
berlalu, banyak dari kita yang tetap miskin dengan kebajikan.
Tanpa Ramadhan, alangkah
minimnya kualitas kita. Sebab yang kita lakukan hanya mengisi rutinitas yang
terbatas. Begitu pun masih sering digerogoti penyakit hati yang aneh-aneh. Bersama
Ramadhan ada pengalian berkali-kali. Bahkan salah satunya malamnya ada malam yang
sangat-sangat istimewa. Itu pengalian dalam ribuan yang menghasilkan
jumlah-jumlah sangat besar. Seperti yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw,
“Barangsiapa
mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadar, karena iman dan mengharap pahala
dari Allah niscaya diampuni dosa-dosa yang telah lalu.”
Adakah karunia yang lebih
besar, lebih banyak, lebih melimpah, dari dosa-dosa masa lalu yang terampuni?
Baca Juga: Mimpi-Mimpi Besar
Ramadhan, begitu
karakternya. Dalam diamnya yang terjaga, bulan suci itu menyebar aura yang
menggetarkan. Tapi hanya orang tertentu yang bisa menemukan sisi itu dari
Ramadhan. Semoga kita bisa menyapanya dengan jujur, menyertainya dengan tulus.
***
Majalah Tarbawi, Edisi 257, Th.13 Ramadhan 1432 H, 11 Agustus 2011 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar