Selasa, 01 September 2020

Elegi 2000

Elegi 2000[1] 

(Hal-04) Jaman makin tua.  Dalam hitungan masehi bila tidak ada halangan seribu tahun kedua akan berganti ke awal seribu tahun ketiga. Ada harapan baru (minimal semangat baru). Tapi sederet luka lama masih menganga. Pengangguran, krisis ekonomi, pemerintahan baru yang muram, meningkatnya kriminalitas, kebobrokan moral, hanyalah sebagian kecil dari borok dan bopeng wajah sosial kita.



Yang paling mengerikan adalah munculnya ‘gerakan obyektifitas’. Sebuah gelombang baru pemahaman manusia tentang dirinya sendiri. Bahwa segalanya adalah manusiawi bila sesuai dengan kehendak kemanusiaannya. Meski unsure yang dominan adalah hawa nafsunya. Mereka memperkosa semena-mena teori obyektivitas Paul B. Horton, (1984): “obyektifitas adalah kemampuan untuk melihat dan menerima fakta sebagaimana adanya, bukan sebagai apa yang diharapkan.”  Maka lahirlah keyakinan bahwa segala kehendak harus dipandang apa adanya. Inilah yang kemudian menjadi ruh bagi gerakan revolusi ‘orang-orang gila’ itu.

Maka jangan heran bila banyak orang dengan gegabah mengatakan bahwa foto bugil di sampul popular dan matra itu tidak porno. Tapi sebuah seni yang indah, bila dipandang apa adanya, tanpa preferensi agama, moral, pribadi, apalagi politis. Atau sikap beberapa mahasiswa yang menganggap seks bebas itu biasa-biasa saja. Karena ia seperti kebutuhan makan, tak perlu diikat etika yang rumit. Atau seperti yang dilakukan sebuah biro di Amerika baru-baru ini. Melalui jaringan internet, biro itu menjual sel-sel telur para bintang dan model perempuan. Dalam penjualan perdananya, ditawarkan delapan model cantik. Harga satu sel telur antara 15.000 sampai 100.000 US $. Angka belum termasuk biaya lain-lain seperti proses pembuahan dan perawatan.

Jaman makin tua. Setengah dari 6 milyar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan. Dengan pendapatan rata-rata 3 dolar per hari, bahkan lebih buruk. Padahal di Paris, pemerintah menghabiskan lebih 140 miliar rupiah hanya untuk membersihkan kotoran anjing milik warga yang nge-pup sembarangan di jalan-jalan kota wisata dunia itu. Sementara masyarakat Inggris telah membelanjakan tujuh triliun lebih untuk kucing piaraan mereka sekaligus perhiasannya. Ironis memang.

Jaman makin tua. Indonesia menjadi penyumbang ketiga penyakit TBC di dunia. Menurut Prof. Anfasa Muluk, satu tahun ke depan jumlah penderita TBC di Indonesia bisa menjadi 100 juta orang, atau hamper setengah dari penduduk negeri ini. Sementara penyakit mental tak kalah mengerikan. Kepolisian Metro Jaya belum lama ini menggagalkan penyeludupan 54 ribu lebih VCD porno. Sebulan sebelumnya, mereka menangkap pembawa 990 kg kilo gram ganja kering, atau hampir satu ton. Padahal menurut seorang sumber di Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta, dari seluruh pasien yang berobat, hanya 1% yang dimungkinkan bisa sembuh.

Jaman makin tua. Kebiadaban belum berhenti. Kebrutalan merajalela. Apalagi kala sejarah kerusakan manusia menemukan kemasan yang necis, elegan dan mungkin ‘terhormat’. Karenanya, sekjen PBB Kofi Annan menyebut abad 20 abad paling kejam. Meski seharusnya tuan Kofi sadar, sebagian kekejaman itu adalah karya nyata organisasi yang dipimpinnya.

Dunia kian renta, menanti manusia-manusia pembangun. Walau seorang penyair sempat galau:

Bila seribu pembangun

Dibelakangnya ada seorang penghancur

Cukuplah sudah

Bagaimana jadinya bila seorang pembangun

Di belakangnya ada seribu penghancur *

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 005  Th.I, 08 Syawal 1420 H, 15 Januari 2000 M

Profesional

 

Profesional[1] 

(Hal-04) Baru-baru ini LP3ES melakukan jajak pendapat. Siapakah sebaiknya yang duduk di kabinet mendatang?  Hasil polling itu menunjukkan bahwa masyarakat ingin agar kabinet mendatang diisi oleh kaum professional. Bukan oleh para politikus.



Keinginan dan harapan masyarakat itu bukan tanpa alasan. Bertahun-tahun umat ini menjadi orang-orang yang terjajah di negeri sendiri. Semua atas nama stabilitas atau pembangunan. Padahal segalanya untuk dan demi politik semata. Akibatnya, seperti kata K.H. Zainuddin MZ di negeri ini lebih banyak politisinya ketimbang negarawannya. Karena memang Negara ini bak lahan pembiakan untuk para politikus, dan bukan mesin pembinaan bagi para negarawan.

Dari sekian politikus itu, banyak yang modalnya hanya retorika. Mereka kerap berbicara berdasar asumsi-asumsi dan andai-andai belaka. Orang-orang yang berperilaku seperti itu sering dikategorikan sebagai tipe manusia primitif. Sebab orang modern menurut jargon kaum peneliti berbicara berbasis data bukan menduga-duga.

Ini jurang yang curam. Yang memisahkan antara harapan masyarakat akan profesionalisme dengan realitas kepemimpinan bangsa ini. Tetapi ironi tersebut masih menyisakan berderet-deret ironi lain, saat profesionalisme di negeri ini tak lagi punya tenaga. Meski sekadar untuk kepentingan duniawi saja. Lihatlah hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) belum lama ini. Menghadapi millennium bug,  Indonesia bersama Thailand, Malaysia dan Vietnam akan menghadapi kesulitan untuk memasuki ‘industri padat pengetahuan’ karena keterbatasan tenaga kerja terampil. Bahkan, dari 12 negara di Asia yang disurvei, Indonesia berada di urutan terakhir. Sedang peringkat  diduduki Jepang. Padahal masih menurut lembaga yang bermarkas di Hongkong itu, daya saing suatu Negara pada masa mendatang akan ditentukan pada mutu pekerja terampilnya.

Renungan ini tak sekadar sebuah keprihatinan. Tetapi tuntutan profesionalisme layak dihayati karena memang sunnatullah sendiri tegak atas asas profesionalitas. Langit yang tujuh dan buminya pula, matahari, bulan, bintang-bintang dalam lintas edarnya, malam dan siang, (QS. 36:37-40) adalah wajah bulat tentang profesionalisme dalam sunnatullah itu.

Karenanya, professional bagi seorang mukmin seharusnya tidak saja berkonotasi the right man in the right place, tapi sejauh mana ia meletakkan niat dan tindakan sesuai kehendak dan sunnah Allah. Sebab tak ada gunanya hidup jika tidak ditujukan kepada Allah. Dari sanalah profesionalisme keimanan itu diharapkan menjadi landasan dari segala tindakan dan kerja teknis berikutnya, hingga lahir profesionalisme amal shalih.

Rumusan ini akan menjadikan seorang mukmin tidak saja puas secara konvensional atas ihsan dan itqonnya di hadapan orang. Tapi lebih jauh akan membuatnya mampu bersyukur kepada Allah sekaligus merindukan keridhaan dan balasan yang lebih besar di akhirat kelak. Lalu, bila profesionalisme itu menginduk secara ilmiah kepada teori-teori manajemen, maka menarik sekali statemen DR.Muh. A. Al-Buraey. Pakar manajemen dari King Fahd University of Petroleum and Mineral itu mengatakan,”pada prinsipnya manajemen sekuler dan manajemen Islam itu sama. Yang membedakannya mungkin syura versus voting. Bila voting lebih mengutamakan suara yang lebih besar maka syura memilih maslahat yang lebih besar.”

Pada akhirya bila kita tambahkan ke dalam profesionalisme itu semangat ukhuwah, ta’awun dan rasa tanggung jawab, maka Insya Allah produktivitas amal kita akan meningkat. Dan dalam tataran interaksi sosial, bila sekali lagi Kiai Zainuddin MZ mengatakan di negeri ini lebih banyak ‘tukang kompor’ dibanding ‘tukang lem’, maka dengan semua itu kita akan bisa menjadi tukang-tukang lem itu. Semoga.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 004 Th.I, 05 Rajab 1420 H, 15 Oktober 1999

Instanisme

 

Instanisme[1] 

(Hal-04) Mungkin Anda juga tahu, di Swedia, belum lama ini, ada perusahaan yang mengeluarkan produk menarik: sebuah rumah bongkar yang unik. Agar mudah membayangkannya, kira-kira seperti lemari bongkar pasang. Tapi ini rumah, yang kuat dan kokoh. Hanya perlu enam hari untuk memasang bagian-bagian rumah tersebut hingga siap huni. Diperkirakan, produk ini akan mempengaruhi dunia properti di sana, mengingat jumlah pesanan terus meningkat. Rumah yang dibuat berlantai dua itu sungguh indah. Interior maupun eksteriornya sangat cantik. Alangkah cepatnya manusia meluncur menuju atmosfir “ínstanisasi” yang luar biasa.



Masalahnya, kini instanisasi tak hanya merasuki dunia teknologi dan perangkat hidup semata. Ia telah merambahi budaya dan sikap hidup. maka, lahirlah manusia-manusia pragmatis. Yang memilih jalan hidup cepat dan pintas, secepat merebus mie instan, atau menyeduh jahe instan. Seperti slogan gila sebuah iklan radio FM di Jakarta, “Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.”

Di Negara-negara miskin, gaya instan jadi pilihan cara mendulang pertumbuhan ekonomi. Modal? Utang luar negeri. SDM? Sama saja. Cara ini telah menjadikan Indonesia bangsa yang menurut Zaim Uchrowi sangat kapitalis, lebih kapitalis dari Amerika sekalipun. Di Negara kapitalisme tidak saja “guru yang baik” bagi materialism, tapi juga bagi konsumerisme yang stadiumnya kian akut. Orang membeli bukan lagi karena perlu atau sekadar suka, tapi orang membeli karena kalau tidak membeli merasa terbelakang.

Implikasinya bagi manusia Indonesia? Mungkin jawabannya adalah apa yang diumumkan UNDP (United Nation Development Programme), sebuah lembaga otonom PBB dalam bidang pembangunan manusia. Dalam laporan 1999-nya, Indonesia tercatat berada pada urutan 105 dalam soal pembangunan manusia, diantara 174 negara di dunia. Jauh dibawah Singapura yang berada di urutan 22 dan Brunei di urutan 25.

Semua ini berbanding lurus dengan besarnya jumlah ‘rakyat instan’ di Indonesia. Mereka, adalah 70 juta orang lebih yang hidup di bawah garis kemiskinan sebuah tragedi lost generation tengah mengancam Indonesia.

Rakyat instan selalu menjadi santapan lezat otoritarianisme para penguasa. Dengan euphoria yang dibangun: rakyat adalah kekuatan sejati, kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei. Rakyat-rakyat instan itulah yang kini sedang ‘bahagia’. Sebab mereka kini menjadi landasan utama bagi banyak keputusan politik yang besar. Semua orang bicara untuk dan atas nama rakyat, meski dalam suatu babakan drama politik yang ke atas tak berpucuk ke bawah tak berakar.

Memang, ketika komunitas masih terikat dalam city state (Negara kota), mereka bisa secara aklamasi bisa dengan mudah menentukan terlepas baik atau buruk apa yang mereka kehendaki bersama. Namun ketika manusia menjadi sebuah bangsa yang besar, dengan ratusan juta penduduknya, banyak berbagai-bagai lapis jarring membungkus kekuasaan.

Saya mencoba merindukan sebuah masyarakat yang semua system transformasinya sangat instan, namun segala subtansinya mengejar kompetisi dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Meski saya menyadari, dalam konstruksi da’wah tak banyak ruang untuk instanisme. Namun fenomena teknologi dan budaya hanyalah bagian kecil dari taqdir qauni Allah, yang bila dikawinkan dengan taqdir qauli-Nya, kerinduan itu bisa diharapkan. Semoga.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 003 Th.I,19  Jumadil Awal 1420 H, 31 Agustus 1999 M

Senin, 31 Agustus 2020

Drama KPK

Drama KPK[1] 

(Hal-04)kekhawatiran banyak orang itu terbukti. Bahwa membabat korupsi di negeri ini perlu stamina yang luar biasa. Mula-mula kita merasa segalanya perlu payung hukum. Dan itu sudah lumayan. Lalu kita meyakini soal utamanya adalah kehendak yang kuat dari pemangku mandat di negeri itu. Dan perlahan sepertinya itu telah mewujud dalam kehendak kolektif pemerintah, DPR, LSM dan masyarakat. Bahwa semua ingin korupsi diberantas. Setidaknya dikurangi dalam porsi yang sangat radikal. Lalu rasanya perlu perangkat yang digdaya untuk melaksanakannya. Maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlahan menjadi tempat menaruh semua harapan.



Dari sana kita semua bermimpi Indonesia akan semakin membaik. Luka-luka kepribadian kita secara kolektif atas nama bangsa, yang terus memborok, perlahan seperti mendapat setetes obat. Ada mimpi tentang Indonesia yang sembuh. Meski belum sehat. Meski belum sempurna, tapi pemberantasan korupsi mulai menuai hasil. Menurut laporan Global Corruption Barometer yang dibuat Transparency International, kinerja KPK dan pengadilan Tipikor telah membuat kepercayaan ublik kepada kedua lembaga tersebut terus meningkat. Bahkan dalam satu surveynya, 70% responden menyatakan dengan adanya KPK dan pengadilan Tipikor, pemerintah menjadi lebih efektif dalam memberantas korupsi.

Tetapi setelah itu ada drama yang menyedihkan. Ketuanya diseret dalam kasus pembunuhan. Lalu ada pengakuan darinya bahwa pimpinan KPK yang lain ada yang menerima suap. Itu semua bukan pertanda yang baik. Drama di tubuh KPK sendiri seperti menampar semua yang sempat menaruh harapan. Gendering kematian lembaga itu sayup-sayup seperti telah digaungkan. Karenanya, dua lembaga swadaya Internasional Human Right Watch dan Transperancy International, secara khusus meminta presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk secara sungguh-sungguh menyelamatkan KPK.

Banyak pihak menduga bahwa ada upaya sistematis untuk memandulkan KPK. Benar atau salah memang tidak mudah untuk memastikannya. Tetapi setidaknya, drama-drama yang menggelayuti perjalanan KPK, telah mengubah secara signifikan persepsi masyarakat tentang harapannya pada KPK. Itu tidak sekedar persoalan citra yang mungkin bisa dipulihkan dengan berbagai cara. Ini hanya menjelaskan sebuah kecemasan psikologis, bahwa di negeri ini sebuah lembaga digdaya yang semula bisa menjadi salah satu tumpuan masa depan Indonesia, ternyata bisa juga terancam runtuh. Dan, bila di balik itu ada sebuah konspirasi, rekayasa untuk benar-benar melumpuhkan KPK, itu hanya menambahkan satu kepastian, bahwa di negeri ini para bandit masih begitu berkusa. *



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 211 Th.10, Ramadhan 1430 H, 03 September 2009 M

Nurani

 

Nurani

Nurani


(Hal-04)
Ada kenangan unik yang tersisa dari pemilu. Setidaknya bagi saya. Bukan soal penghitungan suara yang banyak dituding curang. Bukan pula soal nasib partai-partai yang tak mungkin lagi ikut pemilu. 

Saya tertarik dengan ramainya orang bicara soal nurani, pada hari-hari menjelang pencoblosan. Dalam tajuknya Republika menulis, “Hari ini kita melaksanakan pemilihan Umum. Ucapkanlah Bismillahirrahmanirrahim sebelum Anda menusuk. Pilihlah partai yang sesuai hati nurani Anda sebagai Muslim.”

Izinkan Aku Bercerita

 

 

Izinkan Aku Bercerita[1]

 

(Hal-03) Jakarta, 1 Mei 1999

La-Nina, benar-benar membuat kering udara Jakarta. Suhu politik yang kian memanas, rasanya turut membuat Ibu Kota Gerah. Di beberapa ruas jalan Jakarta, kemacetan masih menjadi langganan. Itupun, masih ditingkahi tawuran pelajar yang punya beberapa shift, pagi, siang dan petang. Harga sembako masih sulit terjangkau. Laju inflasi memang tak akan bisa berhenti, sebab ia berhulu kepada system ekonomi makro yang berbasis riba.



Semua orang sibuk dengan urusan sendiri. Setiap hari, tak kurang sebelas juta anak manusia mengais rezeki di Jakarta. Hidup yang keras, rasa aman yang kian tipis, moralitas religi dan sosial makin sirna, menjadi lautan keluh kesah tak bertepi. Orang harus berjibaku, bila ingin idealismenya tak ikut tewas.

Suasana itu, kadang membuat orang lupa, bahwa hari-hari ini adalah penantian kelahiran demokrasi di Indonesia. Penantian itu sangat berarti, karena lebih dari 32 tahun ia terpasung. Terserah Anda, mau mengibaratkan seperti apa. Kita hanya berharap, bagaimana bayi demokrasi ini tidak lahir dengan cesar.meski pahit, ada bahagia yang bisa direngkuh, bila kelahiran itu alami. Sebab, prose salami, adalah bagian dari sunnatullah.

Ibarat pertarungan, sebenarnya umat Islam sedang bertanding dalam logika politik yang tidak fair. Betapa tidak, bila geliat politik ummat Islam menampakkan kuncupnya, semua kepentingan yang anti Islam serta merta bersatu padu menghadang. Dan, itu artinya terjadi pengeroyokan. Itulah mentalitas perampok. Lalu, apa jadinya kondisi bangsa ini, yang sebentar lagi akan menghadapi momen pemilihan umum?

Apapun, ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi pasca pemilu. Pertama, pemilu akan dianulir bila ternyata hasilnya menetapkan dominasi kekuatan politik Islam. Kasus ini pernah terjadi di Aljazair. Kedua, Islam bisa saja unggul tapi tidak dominan. Dan karenanya, akan terjadi persaingan politik yang sangat ketat dengan kekuatan lain. Kemungkinan kedua ini, persis terjadi di Turki. Ketiga, bisa jadi kelompok status quo akan berjaya kembali. Dan ini sama artinya mengulang kesalahan yang sama, untuk kedua, bahkan ketiga kalinya. Akan terjadi koalisi kepentingan kelompok dan pembagian kue.

Mereka-reka kemungkinan tidaklah aib. Bukan untuk apa-apa, kecuali sekedar, agar jika kondisi terburuk pun terjadi, kita tak sampai harus terpuruk, apalagi future. Seperti sikap Imam Abu Hanifah yang banyak mengandai suatu perkara, yang belum terjadi di masanya. Ketika muridnya bertanya tentang sikapnya tersebut, Abu Hanifah menjelaskan, “kita bicarakan hokum tentang sesuatu yang belum terjadi, agar nanti bila peristiwa itu terjadi, kita telah siap dan tahu bagaimana menghukuminya.”

Hanya doktrin Islam yang mengaitkan teori kemungkinan dengan aspek aqidah. “dan tidaklah ada satu jiwa yang mengetahui apa yang terjadi esok. Dan tidaklah ada yang mengetahui di negeri mana ia akan mati.” (QS Luqman:31. Karenanya, selain sikap responsif dan antisipatif, dakwah harus menjadi mainsistem. Dan, yang paling penting, bagaimana kita tak sampai menjadi ummat bermental buih.

Jakarta masih saja panas. Dan inilah ceritaku, sampai jumpa dengan cerita yang lain, bulan depan, Insya Allah.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 001 Th.I, Shafar 1432, 31 Mei 1999

Karena Syaitan itu Musuh

 

Karena Syaitan itu Musuh …[1][2]

 

(Hal-78)Syaitan. Apa yang terbayang dalam pikiran kita, atau kebanyakan orang, saat mendengar kata tersebut? Karena pesatnya informasi tidak benar dalam benak banyak orang, mungkin juga kita, maka kata-kata “syaitan” lebih dipahami sebagai sesuatu yang menakutkan secara fisik. Karena fisiknya yang buruk, sehingga harus dijauhi dan ditakuti. Padahal benarkah informasi itu yang digambarkan dalam Islam? Jawabannya, tidak.



Saudaraku,

Al Qur’an memilihkan kata yang sangat tepat memposisikan syaitan. Yaitu sebagai ‘aduww, atau musuh. Karena syaitan itu musuh, maka dia harus dilawan dan dilumpuhkan. Bukan ditakuti. Karena syaitan musuh, maka tidak boleh diberi kesempatan untuk menyerang. Karena syaitan musuh, maka kita harus waspada dan hati-hati terhadap segala tipu daya dan jebakannya yang bisa menjerumuskan. Begitulah. Karena syaitan itu musuh.

Tak satupun manusia yang luput dari godaan syaitan. Syaitan sebagai musuh, selalu mempunyai cara untuk bisa mempengaruhi dan menaklukkan hati hingga perilaku manusia. Betapapun keshalihan orang itu. Syetan sebagai musuh, akan terus mencari (Hal-79) jalan untuk merusak dengan cara yang paling sesuai dengan orang yang digodanya.

Saudaraku,

Setidaknya ada tiga kelompok manusia yang masing-masing diperlakukan dengan cara dan godaan yang berbeda oleh syaitan. Kelompok pertama, manusia yang cenderung kepada dosa dan maksiat. Cara yang dilakukan syaitan untuk kelompok ini adalah dengan selalu menggiring hati manusia agar terlunta, tersesat, semakin menjauh dari petunjuk Allah swt. Syaitan sebagai musuh, akan menarik dan mendekatkan jiwa orang tersebut untuk lebih melekat dan tertarik terhadap apa yang diharamkan dan dilarang Allah swt. Syaitan berupaya menutup hati dan jiwanya dari sikap hati-hati dan kesadaran. Jadi, orang-orang kelompok ini akan leluasa dan tenang melakukan banyak dosa dan kesalahan.

Kelompok kedua, adalah kelompok yang mempunyai jiwa yang lebih terikatdan tunduk kepada perintah Allah swt. Untuk menggoda kelompok ini, syaitan akan mencari jalan yang paling sesuai dengan kondisinya. Syaitan tak menggunakan cara agar orang tersebut menjauh dari hidayah Allah dan tersesat.  Tetapi meletakkan jebakan-jebakan, yang bisa membuat orang kelompok ini, terpeleset lalu jatuh, karena tidak begitu tampak bahayanya.

Kelompok ketiga, orang-orang yang aktif menyadarkan orang lain untuk dekat pada hidayah Allah, yang memerintahkan yang ma’ruf dan munkar, syaitan mempunyai senjata dan cara lain lagi. Berbeda dengan cara yang digunakan kepada dua kelompok tadi. Cara yang digunakan syaitan untuk menggoda orang ini adalah dengan mengarahkan pandangan orang tersebut pada kedudukan,kewibawaan, dan posisi pentingnya dibandingkan orang lain. Syaitan berusaha agar orang ini merasa besar, lebih mulia, lebih dekat kepada Allah swt. Dari situ, muncul sebuah sikap yang absurd melalui ketaatan dan menampilkan ketaatan, tapi diiringi hati yang merasa lebih baik disbanding orang lain.

Saudaraku,

Perintah-perintah Allah swt agar kita melakukan ketaatan, berdzikir, menjauhkan diri dari yang haram, bertujuan untuk membersihkan hati dari kekotoran dan noda, yang menghalangi seorang hamba dari Rabbnya. Itu sebabnya, para (Hal-80)ulama dan para shalihin seperti Imam Al Muhasibi, Imam Al Junaid Al Baghdadi, dan Al Imam Al Qushairi, ketika mereka menasihati tentang keharusan memperbanyak tilawah Al Qur’an, membaca dzikir pagi-sore, memperbanyak shalat sunnah setelah melakukan yang wajib, selalu mengiringi nasihatnya untuk tidak terjerumus pada fitnah merasa puas, merasa lebih karena amal-amal yang dilakukan. Mereka menegaskan bahwa sikap istiqomah dan konsisten melakukan perintah Allah swt itulah yang terpenting.

Mereka mengatakan, saat kita berusaha mengikat diri dengan perintah-perintah Allah, berupa ketaatan, membaca wirid do’a, ibadah wajib dan sunnah, ingatlah bahwa semua itu adalah obat bagi hati. Karena kita menyadari bahwa itu semua adalah obat, maka yang kita pinta adalah agar Allah swt memberi kesembuhan kita dari beragam penyakit hati, yang tersembunyi dan bertumpuk banyak alam hati kita. Inilah yang disinggung oleh Ibnu Athaillah rahimahullah: “Jika engkau masih mengagumi diri sendiri sebagai orang yang memiliki kelebihan dari orang lain, tidak menyukai kenikmatan yang jatuh pada orang lain, memendam rasa tidak enak dengan orang yang lebih terkenal dan lebih tinggi kedudukannya, ketahuilah bahwa sebenarnya ibadah yang engkau lakukan belum mendekatkan dirimu pada Allah.”

Sebab sejatinya manusia setiap ia lebih dekat kepada Allah, maka semakin tambah ma’rifah dan pengetahuannya kepada Allah dan semakin bertambah kesadaraannya akan keagungan hak Allah swt. Semakin sadar pula kekurangan yang dilakukannya di hadapan Allah swt. Semakin waspada dalam melihat keburukan dirinya. Kebalikannya, orang yang merasa tidak menyadari dan tidak mengenal Allah, semakin merasa aman dari kemurkaan Allah, dan semakin tenang karena merasa dirinya tidak ada masalah apa-apa.

Renungkanlah salah satu do’a salafushalih adalah,”Ya Allah jangan jadikan penghormatan orang lain kepadaku, dan kebaikan dugaan mereka kepada diriku, menjadikan aku mabuk dan lupa dengan keburukanku dan besarnya kekuranganku dalam menunaikan hak-hak-Mu. Ya Allah, jangan kau jadikan kenikmatan perlindungan-Mu terhadap aib dan kekuranganku, menyebabkan diriku sombong, atau menjadi sarana yang melupakanku terhadap keburukanku yang sudah pasti Engkau ketahui berdasarkan Ilmu-Mudan engkau sembunyikan dari hamba-Mu …”

Saudaraku,

Demikianlah, ketika para shalihin membicarakan godaan syaitan, mereka menyadari  betapa pembicaraan itupun bisa terselip di dalamnya gangguan syaitan itu sendiri terhadap diri mereka. Ketika mereka membicarakan tentang amal-amal kebaikan, maka mereka tidak lupa mengingatkan bila kebaikanpun bisa menjadi sarana terjerumusnya seseorang dalam jurang kesombongan, ghurur, rasa kecukupan, hingga cenderung melakukannya untuk ditampilkan pada manusia. Bukan untuk Allah swt.

Saudaraku,

Begitulah, karena syaitan itu musuh. ***

 

 



[1]M. Lili Nur Aulia

[2]Majalah Tarbawi Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1432H, 06 April 2012