Sabtu, 05 September 2020

MEMPERTANYAKAN PERTANYAAN

 

 MEMPERTANYAKAN PERTANYAAN[1][2][3]

(Hal-42) Pertanyaan itu perlu, bahkan kadang menjadi keharusan. Pertanyaan, dalam komunikasi, berarti sebuah umpan balik (feed back), yang akan memperjelas arti pesan. Pertanyaan akan menggambarkan penerimaan dan memperjelas makna yang berhasil ditangkap sang penanya. Maka, banyak guru yang memulai pembelajaran dengan meminta muridnya mengajukan pertanyaan. Para pendidik akan kebingungan jika murid-muridnya diam. Karena, sulit memastikan mereka sebetulnya mudeng (paham) atau mubeng (kepalanya berputar-putar, karena bingung).



Namun, tidak semua pertanyaan bersifat konstruktif. Ada beberapa jenis pertanyaan yang justru menjadi persoalan komunikasi. Akarnya adalah motif dari pertanyaan ini keluar. Ada pertanyaan yang hadir karena kesombongan. Ini biasanya penyakit ‘pecintan popularitas’ tau orang-orang ‘pemburu perhatian’. Pada forum-forum yang melibatkan banyak orang, para penanya ini akan selalu tampil. Sejatinya mereka tidak butuh jawaban, tetapi sekadar mencari perhatian. Pertanyaannya, biasanya panjang lebar dan tidak fokus, sekadar pamer pengetahuan, data atau artikulasi. Jika hadirin bertepuktangan, itu lebih dari cukup bagi mereka.

Ada pertanyaan yang muncul karena latah semata. Awalnya mungkin iseng. Tapi sepenuhnya sadar, pertanyaan ini mempunyai konsekuensi panjang. Seperti orang Yahudi yang mempertanyakan sapi betina yang harus disembelih: yang tua atau yang muda, warnanya apa, kuning seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat repot (Hal-43) mereka sendiri, sehingga nyaris tidak bisa dikerjakan.

Pertanyaan juga bisa muncul karena kebodohan. Niatnya bisa jadi tulus, untuk memperjelas duduk perkara. Tapi, dia tak cukup tahu bawa tak semua harus diperjelas. Pun dalam soal hukum. Bayangkan, kalau di negeri mayoritas Muslim ini kita selalu skeptik menyikapi kehalalan makanan. Suatu saat, kita disuguhi makan ayam goreng. Tak ada tanda-tanda haram, tapi kita mengkhawatirkan kehalalannya, sampai-sampai kita bertanya agak berlebihan. Dari manakah ayam ini berasal? Benarkah tidak bangkai? Bagaimana penyembelihannya? Sungguh, sebuah sikap yang tidak perlu, selain juga amat merepotkan.

Dan yang paling mengerikan adalah pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk mempermaluka seseorang. Si penanya tahu atau yakin, orang yang dituju tidak akan bisa menjawab. Dia lemparkan pertanyaan di sebuah forum, dimana banyak mata menyaksikan, semata-mata untuk menjatuhkan martabat seseorang. Ada semacam kepuasan jika orang lain turun kredbilitas atau reputasinya di depan umum. Sungguh, pertanyaan-pertanyaan sadis, yang lahir dari hati yang kronis.

Pertanyaan-pertanyaan yang melebihi batasnya juga problematik. Pertanyaan tentang hakikat ketuhanan misalnya, tak akan menemukan jawaban tanpa keterlibatan wahyu. Sebagaimana kisah para filosof yang gagal menemukan Tuhan. Sayangnya, pertanyaan ketuhanan mereka yang tak bertaut pada keyakinan yang aksiomatik.

Pertanyaan-pertanyaan artifisial ini tak akan membawa cerah, tetapi justru menambah masalah. Pertanyaan-pertanyaan semu tidak akan menjadi tahu, melainkan berujung pada perdebatan yang menghabiskan waktu. Pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan jawaban, apalagi perhatian.

Tentu saja, ini bukan nasihat untuk mematikan kritisisme atau anjuran untuk mengkerdilkan otak. Karena, pertanyaan sejatinya adalah jalan menuju  kedewasaan. Bukankah hidup ini merupakan dinamika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan? Dialektis: tidak tahu, tahu, tidak tahu, begitu seterusnya. Manusia tak akan mencapai kemajuan-kemajuan hidup jika berhenti bertanya.

Inilah lebih merupakan persoalan bagaimana kita menempatkan pertanyaan pada porsinya. Cukuplah nasihat Rasulullah saw berikut ini menjadi renungan kita:

Dari Abu Hurairah bin Sakhr radhiallahuanhu, dia berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda: Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka (HR. Bukhori dan Muslim)

(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Kamis, 06 Mei 2010, 06:00:23WIB)

 

 



[1] Majalah Tarbawi, edisi 227 Th.11, Jumadil Awal 1431 H, 6 Mei 2010 M

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3]

Majalah Tarbawi, Sebelum Hoaks dan Kebencian Merajalela

 

Majalah Tarbawi, Sebelum Hoaks dan Kebencian Merajalela[1][2]

Setelah media-media Islam rontok, ujaran kebencian berkedok agama via daring berseliweran di tengah masyarakat.

Muslim Cyber Army dan jaringan-jaringan lain yang menyebar hoaks, fitnah, dan kebencian via saluran daring merupakan narasi yang menghangat akhir-akhir ini.

Polarisasi politik yang tajam pasca-Pemilu Presiden tahun 2014, terus terjadi sampai hari ini. Kubu-kubu yang berseberangan terus-menerus melancarkan serangan. Teks bertendensi kebencian diproduksi, disebarkan, dan membikin kegaduhan di tengah masyarakat.



Kecepatan adalah watak saluran daring. Celah ini bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, baik yang menebar informasi destruktif, maupun sebaiknya. Mundur sedikit ke belakang, ketika akses internet masih terbatas, penyebaran informasi yang berbentuk teks dikuasai media cetak.

Di medium cetak pun kabar baik dan busuk lumrah terjadi, hanya saja kecepatan penyebarannya jauh tertinggal jika dibandingkan dengan internet. Dalam konteks perang kebencian belakangan ini, media cetak lebih lambat penyebarannya.

Bacaan yang diproduksi oleh Muslim dan ditujukan untuk penganut agama mayoritas di negeri ini—sebagai mangsa terbesar dari warta busuk menor provokasi, pernah diwarnai oleh berbagai tabloid dan majalah Islam multi corak dan tendensi. Ada yang menyajikan sastra, liputan konflik, kajian wacana politik, isu-isu keluarga, menyemai ruhani, dll.

Mayoritas media-media tersebut telah rontok. Salah satunya adalah majalah Tarbawi yang mempunyai misi “Menuju Kesalehan Pribadi dan Umat”.

Majalah yang lahir pada 1999 dan berhenti terbit tahun 2014 tersebut—jika melihat isi warta hoaks yang membanjir belakangan ini --, adalah contoh media yang mencoba meredam ketergesa-gesan umat dalam menyikapi berbagai hal yang beredar dalam keseharian. Tarbawi menawarkan jeda, spasi perenungan, dan menggeledah ruhani.

Sedari judul, Tarbawi telah menawarkan perspektif lain. “Di Balik Kebiasaan Kita Memilih Kata”, demikian judul edisi 287. Dirosat atau kajian utama di nomor ini—dengan menyertakan referensi dari khazanah Islam, membahas hal-ihwal kata yang menjadi ujung tombak dalam keseharian.

Setelah mengutip sebuah perkataan Umar bin Abdul Aziz (cicit Umar bin Khatab/khalifah kedua dalam sejarah kepemimpinan Islam) tentang kata, Tarbawi kemudian mengurainya dalam tulisan yang cukup panjang.

Bagi Tarbawi, persoalan memilih kata adalah hal penting yang harus disampaikan kepada masyarakat. Alih-alih mengupas rupa-rupa peristiwa aktual dan segera memberitakannya, Tarbawi justru terlebih dulu membekali pembacanya dengan perangkat kesadaran tentang kata.

“Setiap kita berurusan dengan kata-kata dalam berbeda kesempatan. Bahkan sebagai seorang Muslim, setiap hari ibadah kita berkaitan erat dengan pengucapan kata. Memilih kata adalah soal seni, rasa, dan sastra,” tulis Tarbawi.

Tarbawi menambahkan bahwa masing-masing kita mempunyai keleluasaan memilih kata, baik dalam berbicara maupun dalam menulis. Pilihan tersebut bukan sekadar sesuatu yang biasa, sebab ia membawa pesan-pesan di baliknya. Kebiasaan kita memilih kata adalah hal-hal yang melatarinya. Mengutip dari seorang bijak, Tarbawi menulis bahwa seseorang diukur dengan dua anggota tubuhnya yang kecil, yaitu hati dan lidahnya.

“Semoga keimanan kita lebih terjaga dengan pilihan kata, dan kita bisa lebih mendalami sebuah persoalan sebelum mengambil sikap untuk bicara. Karena setiap kata ada pertanggungjawabannya,” terang Tarbawi.

Contoh lain tentang ikhtiar Tarbawi dalam mencoba meredam sikap masyarakat yang berlebihan dan tidak moderat, adalah edisi 225 yang kajian utamanya bertajuk “Mungkin, Kini Kita Tengah Mencintai Apa yang Dulu Kita Benci”.

Dalam edisi ini, Tarbawi mengkaji soal sikap personal dan masyarakat yang kerap membenci atau tidak menyukai sesuatu dan seseorang secara berlebihan. Padahal, menurut majalah ini, selalu ada perubahan dalam diri kita seiring perubahan-perubahan yang dibawa oleh waktu yang terus berjalan.

Bukan hanya fisik dan usia, tambah Tarbawi, tapi kadang selera, pandangan, pikiran dan perasaan kita, juga ikut berubah. Suasana jiwa, yang diwakili oleh benci dan cinta kita pada seseorang atau sesuatu, pun kadang bergeser.

“Benci yang berlebihan akan menimbulkan gelap mata. Sedangkan cinta yang berlebihan akan menimbulkan kekecewaan. Karena itu jika membenci seseorang atau sesuatu, jangan sampai rasa benci itu mengusai hidup kita,” tulis Tarbawi.

Dari awal terbit sampai meranggas dan mati di edisi 315, majalah ini selalu menakar setiap judul dan isi dengan pendekatan yang mencoba menggedor-gedor kesadaran. Beberapa contoh judul berikut adalah bagian kecil dari riwayat tiga ratus edisi lebih yang telah dilahirkan Tarbawi:

“Sediakan Selalu Ruang untuk Dibenci” (edisi 206), “Seringkali Kita Meminta Melalui Ibadah yang Tergesa-gesa” (edisi 217), “Mari Sejenak Bicara tentang Rasa Sepi Seorang Ibu” (edisi 219), “Merasakan Jejak Diri di Rumah Kita yang Dulu” (edisi 258), dll.

KABAR DARI BELAKANG LAYAR

Tarbawi yang hidup dalam situasi transisi antara dunia cetak dan daring, terlihat gagap menghadapi perubahan tersebut. Media sosial yang mereka miliki untuk memublikasikan majalah hanya Facebook dan Twitter, sementara laman web-nya sudah lama tidak bisa dibuka. Sekarang hanya menyisakan beberapa arsip di laman blogspot yang tidak diketahui siapa pembuatnya.

Pendiri majalah ini adalah Ahmad Zairofi, M. Lili Nur Aulia, dan Arwim Al Ibrahimi. Ketika dihubungi oleh Tirto (5/3/2018) via salah satu media sosial, M. Lili Nur Aulia tidak bersedia memberikan nomor kontaknya dan hanya menjawab, “[Sudah] lama sekali tidak berinteraksi dengan pertanyaan seperti ini. Afwan (maaf) ya belum bisa jawab.”

Sebelum Tarbawi lumat pada 2014, Ahmad Zairofi (pendiri merangkap pemimpin redaksi) pernah menjelaskan dapur di balik pembuatan majalah tersebut kepada Edi Santoso—yang kemudian sempat bergabung sebagai Redaktur Pelaksana Tarbawi.

Dalam Kemanusiaan dalam Media: Telaah atas Gaya Jurnalisme Majalah Tarbawi dan Tempo (Jurnal Komunika, Vol. 4 No. 1, Januari-Juni 2010), Edi Santoso menulis bahwa Tarbawi berideologi jurnalisme nurani.

“Secara implisit, Majalah Tarbawi mengaku ‘berideologi’ jurnalisme nurani. Setidaknya, lewat iklan dan merchandiser-nya, majalah ini hampir selalu menyertakan slogan jurnalisme nurani. Bahkan beberapa kali mereka secara khusus menggelar pelatihan jurnalistik bertajuk ‘7 Ideologi Tulisan Mazhab Jurnalisme Nurani’,” tulisnya.

Menurut Ahmad Zairofi, jurnalisme nurani adalah praktik jurnalisme berdasarkan fitrah Islami. Fitrah bermakna universal karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah (kecenderungan) yang sama.

“Jadi meskipun Tarbawi mengusung nilai-nilai Islam, pemberitaannya tetap relevan untuk dibaca kalangan dengan agama apa pun. Pada simpul fitrah inilah, Tarbawi bermaksud membangun kebersamaan umat lintas ras dan budaya. Titik temu jurnalisme nurani Tarbawi dengan jurnalisme lainnya ada pada prinsip tanggung jawab dan kejujuran,” tambahnya.

Menurut Edi, dalam menyeleksi dan memilih isu, Tarbawi tentu mengikuti kaidah nilai jurnalistik, yakni menakar sisi kebaruan informasi (novelty), kedekatan dengan pembaca (proximity), pengaruhnya pada pembaca (consequence), konflik, dan sentuhan nilai kemanusiaan (human interest).

Edi menambahkan, bahwa pertimbangan nilai berita itu lebih pada sisi pelatuk berita (news peg) untuk melakukan kontemplasi.

“Tarbawi lebih menekankan sisi kontemplasi sebuah peristiwa,” terangnya.

Sebelum bergabung dengan Tarbawi, Edi Santoso menelaah bahwa menurutnya majalah tersebut hampir selalu memberikan penekanan pada solusi dari setiap peristiwa yang diangkat.

“Solusi yang ditawarkan Tarbawi cenderung bersifat personal. Tarbawi melihat akar dari segala persoalan sebetulnya ada pada diri manusia (antroposentris) sehingga perubahan lingkungan akan berawal dari perubahan pribadi” tulis Edi.

Hal ini dibenarkan oleh Ahmad Zairofi yang mengakui bahwa memang Tarbawi lebih fokus pada sisi personal. Ia menambahkan, langkah tersebut adalah pendekatan kultural dengan mengajak pembaca untuk berkontemplasi, merenung, dan membangkitkan kesadaran.

Ahmad Zairofi juga menegaskan bahwa faktor lain di luar manusia, misalnya sistem, memang memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia, namun semuanya berawal dari manusia.

“Kesadaran personal merupakan kekuatan utama sebelum kekuatan kolektif. Daya tahan personal merupakan daya tahan utama sebelum daya tahan kolektif. Dan kecakapan personal secara mental merupakan modal menuju kecakapan sistem,” terangnya.

MENGHILANG DAN DIRINDUKAN

Kesibukan meringkus kontemplasi. Sejak Tarbawi berhenti terbit, ketiga pendirinya tercatat aktif di partai politik, yaitu PKS. Ahmad Zairofi sibuk sebagai anggota DPRD DKI Jakarta. M. Lili Nur Aulia menjabat sebagai Ketua Kaderisasai Kader DPW PKS Banten. Dan Arwim Al Ibrahimi menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah Daerah PKS Padang.

Meski Tarbawi memang lahir dari rahim gerakan Tarbiyah, dan para pendirinya kemudian bertungkus lumus di partai tersebut, akan tetapi para pembacanya merasa menyayangkan ketika akhirnya majalah ini berhenti terbit.

Respons masyarakat terhadap Tarbawi sedari awal memang cukup baik. Mula-mula terbit sekitar 2000 eksemplar. Setahun kemudian sudah menerbitkan lebih dari 20.000 eksemplar, padahal pada waktu itu majalah ini hanya terbit bulanan.

Di beberapa laman pribadi pembaca Tarbawi, seperti yang ditulis oleh Triyanto Mekel, ia menyayangkan majalah ini berhenti terbit. Menurutnya, umat masih membutuhkan pemaknaan hidup yang dihadirkan oleh majalah tersebut.

“Majalah Tarbawi sudah lama tak hadir menyapa. Rindu kesejukannya,” tulisnya.

Sementara pembaca lain, Husni Mubarok, yang mengaku sudah mengenal Tarbawi sejak kelas 5 Sekolah Dasar, tak bisa melupakan “gaya bahasanya yang mengalir ringan dan tiada beban.”

“Hilangnya Tarbawi jelas kabar buruk. Cukup menyesakkan dada walau saya tidak rutin membelinya,” tulis Yusuf Maulana.

Menurutnya, situasi politik yang banyak menyita perdebatan adalah momentum yang tepat untuk membaca kembali materi di Tarbawi. Ia berharap media—yang katanya “penyejuk hati” ini hadir kembali.

Sejauh ini, belum ditemukan arsip bahwa Tarbawi berhenti terbit disertai pamit kepada para pembacanya. Majalah itu hilang begitu saja. Pelanggan tiba-tiba tak menemukan lagi edisi terbaru. Padahal Tarbawi sempat punya slogan yang berbunyi, “Kita hidup di kepadatan interaksi, tapi sulit untuk belajar memahami.”

Nomor 315 adalah edisi pamungkasnya. Sejak itu, sebuah media cetak Islam telah lampus. Internet berkembang, yang lain ikut bertumbangan. Kini, yang ada hanya teks-teks kebencian berkedok islam yang berseliweran menghiasi semesta informasi para pembaca. (irf)

 

Tayang pertama kali di Tirto.id pada 7 Maret 2018



[1] Oleh: Irfan Teguh - 7 Maret 2018

[2] Tayang pertama kali di Tirto.id pada 7 Maret 2018

 

SUBJEKTIFITAS YANG OBJEKTIF

 SUBJEKTIFITAS YANG OBJEKTIF [1][2][3]

Objektifitas membawa makna yang dalam, namun juga membingungkan. Seolah menjadi mitos, tetapi juga membawa bias. Disebut benar jika objektif. Dalam hal apapun, termasuk dalam dunia media massa (jurnalisme). Media massa, kata kodet etik, harus objektif. Tetapi apakah itu objektif? Bisakah jurnalis atau penulis bersikap objektif?



Objektifas sejatinya merupakan gagasan ideal tentang ukuran pasti atau realitas. Para jurnalis dinilai objektif, ketika mereka bisa menghadirkan fakta apa adanya, tanpa opini. Berkembanglah jurnalisme objektif, sering juga disebut jurnalisme fakta, yang bertolak pada landasan kejujuran, netralitas dan akurasi. Jurnalisme fakta mengharamkan interpretasi.

Sebagai sebuah ideologi, jurnalisme objektif ini mendasarkan pada pandangan empiris atas dunia, yang memisahkan fakta dan nilai, dan percaya bahwa eksistensi fakta sebagai hal yang terpisah di luar sana. Berita didefinisikan sebagai wujud yang terpisah (independen) dari diri jurnalis. Berita adalah fakta yang ada ‘di luar sana’ yang menunggu dicari dan ditulis, serta kemudian dipublikasikan oleh media.

Tetapi, bisakah fakta dipisahkan dari nilai? Tidak mungkin, kata Stepen Ward, profesor etika jurnalisme. Karena, semua pengetahuan, bahkan termasuk data-data sains tidak bisa menjadi bebas nilai. Bahkan gagasan ini, menurutnya, sesungguhnya merupakan penipuan, karena seorang jurnalis tak lain adalah ‘aktor-aktor’ yang pasti memiliki bias dalam laporannya. Tidak saja bias karena faktor personal (ideologi, pengalaman) tapi juga karena tekanan eksternal.

Objektifitas menjadi bias ketika menjadi selubung ketidakpedulian pada kebenaran. Justru ketika mereka mengatasnamakan kebenaran. Maka, sejujurnya kita sulit mengerti tentang slogan salah satu media ‘kebenaran itu tidak memihak’. Jurnalis seolah-olah terbebas dari dosa, bahkan merasa mulia, setelah mematuhi kaidah pemberitaan berimbang, meliput dua pihak yang berselisih tanap mempedulikan kebenaran dari fakta yang disampaikan pihak-pihak tersebut. Jurnalis seolah lari dari tanggungjawab atas kebenaran fakta peristiwa, dengan dalih biarkan khalayak sendiri yang memaknainya.

Objektifitas pun bias ketika justru mengabaikan konteks dan subtansi. Hutchin Comission, suatu kelompok peneliti di Amerika Serikat yang bekerja selama bertahun-tahun menghasilkan dokumen yang menggariskan kewajiban jurnalisme, memperingatkan adanya bahaya menerbitkan laporan yang “secara faktual benar tapi secara subtansial salah”. Komisi ini memberikan contoh, saat itu banyak cerita seputar orang-orang minoritas yang justru menguatkan stereotipe yang keliru, karena media gagal untuk menampilkan konteks atau menegaskan identitas ras atau etnisitas tanpa alasan yang tepat.

Era jurnalisme profesional telah menyuguhkan informasi berlimpah ruah, menembus batas-batas geografis, dengan standar konvensional yang dibanggakan. Tetapi, kata Charlotte Dennet, ada satu hal yang seringkali dilupakan media arus utama, yakni ‘konteks’. Dalam peristiwa 9/11 misalnya, terang mantan reporter Middle East Sketch, publik Amerika Serikat dibuat bingung di tengah melimpahnya informasi, karena media arus utama tak menghadirkan konteks peristiwanya.

Objektifitas dalam jurnalisme tetaplah relevan, jika dimaknai sebagai komitmen profesionalisme, bukan sebagai wujud pengingkaran atas realita keberpihakan media. Profesionalisme ini terkait dengan kepatuhan pada nilai-nilai dasar dalam proses jurnalisme seperti kejujuran dan akurasi. Di sini, objektifitas lebih menggambarkan kedisiplinan dalam proses mencari fakta. Sementara keberpihakan kita artikan sebagai komitmen pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh jurnalis.

Jurnalisme tak cukup mengumpulkan dan merangkai fakta, tetapi juga harus memberikan makna, tak hanya mengabarkan peristiwa, tetapi juga perspektif. Tak hanya menyusun alur cerita yang masuk akal dan mengalir, tetapi juga memberikan konteks sebuah persoalan.

Tak ada yang salah dengan subjektifitas, terutama jika dimaknai sebagai penegasan identitas. Jurnalis atau penulis akan lebih relevan keberadaannya jika mampu membuat terang sebuah permasalahan. Keberpihakan tidak terhindarkan, bahkan harus, yakni pada nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.

Tidak ada realitas yang objektif. Karena, realitas sejatinya adalah apa yang kita yakini kebenarannya. Kitalah yang mendefinisikan peristiwa dan menilai seseorang. Maka biarkanlah berita subjektif secara perspektif, tetapi objektif dalam proses. Subjektifitas yang objektif.

 

(Sekretariat Masjid Kampus Arfaunnas UR, Selasa, 20 April 2010, 15:07:53 WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 225 Th.11, Rabiul Akhir 1431 H, 8 April 2010, hal. 44-45

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

YAKINLAH ORANG LAIN ADA

 YAKINLAH ORANG LAIN ADA[1][2][3]

(Hal-40) Banyak alasan untuk berkomunikasi. Salah satunya, untuk menunjukkan keberadaan diri (eksistensi). Perasaan ‘ada’ itu penting, karena itu yang menjadikan orang relevan untuk terus hidup. Sebuah keberartian di tengah-tengah kehidupan sosial. Melalui komunikasi, orang ingin menegaskan ‘Saya ada dan berarti’.



Itulah kenapa orang selalu mencari kanal komunikasi dalam berbagai bentuknya, terlepas dari yang bersangkutan bertipe extrovert atau introvert. Ada panggung terbuka yang menjadi incaran penggemar popularitas, juga tersedia ruang-ruang impersonal yang lebih ramah pada ‘para pemalu’. Hasrat komunikasi untuk sekadar eksis bahkan cenderung mengarah pada gejala pemuasan diri yang berlebihan (narsis).

Namun, karena alasan eksistensi pula, banyak orang merasa tersakiti oleh komunikasi. Karena. Komunikasi tak mengafirmasi kehadirannya. Bayangkan, anda berada dalam sebuah forum kecil yang semestinya terasa hangat dan dekat, tetapi orang-orang yang hadir atau pembicara utamanya tak menyapa anda atau bicara sekadarnya. Anda hadir tapi seolah-olah absen. Betapa menyesakkannya.

Lebih terasa lagi jika itu terjadi pada konteks komunikasi antarpribadi. Dua orang bertemu atau berpapasan. Salah seorang merasa dirinya telah dikenal oleh yang lainnya. Tetapi dia tak mendapatkan sapaan, bahkan senyuman pun tidak. Apalagi yang bersangkutan merasa sangat layak untuk sekadar mendapat anggukan penghormatan. Entah karena jabatan, status sosial atau karena pertimbangan umur. Terasa sakit, karena merasa keberadaaannya terabaikan.

(Hal-41) Harapan pengakuan eksistensi sangan berdimensi budaya. Pada masyarakat bertipikal komunal, pengakuan eksistensi orang seringkali terkesan artifisial. Nampak remeh, tapi penting. Bernuansa basa-basi, tetapi kalau tidak ada bisa menimbulkan masalah. Mungkin sekadar senyum, tetapi itu sangat berarti. Ada konvensi kultural yang menjelaskan bentuk-bentuk pengakuan eksistensi diri.

Setiap orang membutuhkan pengakuan eksistensi, meski dalam bentuk yang berbeda. Orangtua butuh pernyataan penghormatan dari yang lebih muda. Anak-anak muda membutuhkan pengakuan dari para tetua. Seorang suami ingin dihormati, sementara sang istri mungkin lebih membutuhkan kasih sayang dan perlindungan.

Dalam relasi orang-orang yang merasa dekat, pengakuan eksistensi harus nampak lebih verbal. Ungkapan-ungkapan konfirmatif akan banyak membantu. Ada orang yang menceritakan masalahnya kepada anda. Mungkin belum ada solusi, tetapi ungkapan, “Aku bisa merasakan apa yang kamu alami, aku turut prihatin” bisa menentramkan hatinya. Setidak-tidaknya eksistensinya sebagai seorang sahabat tetap terakui. Coba bandingkan kalau yang keluar justru ungkapan dekomfirmatif seperti,”Maaf aku juga banyak masalah, jangan membuatku tambah pusing” atau itu masalahmu, jangan bawa-bawa aku”.

Memang, komunikasi lebih merupakan seni menata rasa. Seorang pemimpin selalu mempertaruhkan kredibilitasnya, bahkan dalam persoalan yang nampaknya sepele, soal perasaan orang-orang yang dipimpinnya. Jika ada sekian orang yang dipimpin, maka ada sejumlah itu pula ragam rasa yang terlibat. Ada tuntutan untuk menghadirkan komunikasi yang peka dan bela rasa (compassion).

Katakanlah anda seorang pemimpin sebuah kelompok kecil. Ada saat anda harus mendengarkan keluh kesah anggota kelompok. Suatu waktu, para anggota itu melaporkan kondisinya masing-masing semacam curhat bersama. Tiba giliran salah seorang, dengan suatu alasan, anda ijin keluar forum dan merasa cukup dengan mengatakan,”diteruskan saja laporannya, yang lain bisa mendengarkan. Saya ada perlu sebentar.” Nampak sepele, tapi bagi anggota yang bersangkutan itu bisa menjadi masalah laten. Dia merasa keberadaannya sebagai anggota kelompok tak cukup diakui. Rasa hormatnya pada pimpinan pun terciderai.

Ini adalah pelajaran tentang komunikasi empatik. Bahkan ketika orang lain nampak tak punya masalah pun kita harus empati. Setidaknya empati bahwa ia ada. Kita harus yakinkan pada yang bersangkutan, bahwa dia ada, dan kita mengakuinya. Mengakui secara verbal dengan kata-kata ataupun secara noverbal berupa senyum atau anggukan kepala.

Membuat nyaman seseorang berarti telah menyelesaikan satu persoalan dalam komunikasi. Jika kita hargai orang lain, dia akan menghormati kita. Jika kita mengakui keberadaan orang, diapun akan apresiatif pada kita. Kita akan memperoleh atas apa yang kita lakukan.

( Masjid Kampus Arfaunnas UR, Selasa, 20 April 2010, 17:33:48 WIB)



 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 226 Th.11, Jumadil Awal 1431 H/ 22 April 2010 M. Hal. 40-41

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

19 BERAWAL DARI MATA

19 BERAWAL DARI MATA[1][2][3]

( Hal-40) Persepsi akan memulai bagaimana gaya komunikasi kita. Ketika indera, mata, telinga, hidung dan kulit menangkap stimuli. Kemudian kita membuat kesimpulan: baik-buruk, menaik-membosankan, bersahabat-bermusuhan, prospektif-hopeless. Ujungnya kita menentukan sikap komunikasi: konfrontatif-afirmatif, empatik-egois, atau kritis-permisif.



Persoalannya nampak sederhana. Semua berawal dari mata. Tapi disinilah akan dipilih sebuah sikap. Suatu waktu gaya bicara kita meledak-ledak penuh emosi, lain kesempatan intonasinya sungguh datar, nyaris tanpa semangat. Pada suatu ketika kita menikmati monolog, mendominasi seluruh pembicaraan, tapi pada saat di mana kita mewajibkan hadirnya dialog, saling berbagi informasi.

Mata tidak berdusta, tetapi pikiran mungkin salah menganalisa. Disinilah kemungkinan bias terjadi. Kita sering salah menilai orang karena penampilannya.  Ini adalah ekses berpikir indeksial, yakni memakai sebuah tanda dengan mengaitkannya dengan sesuatu yang seolah tak terpisah. Misalnya berbusana bagus identik dengan orang kaya tau berpendidikan, berdasi adalah eksekutif, berkacamata biasanya orang cerdas, atau cantik selalu orang baik.

Mata tidak salah, tetapi kesimpulan bisa membawa masalah. Maka, ada baiknya kita merunut sebab biasnya sebuah kesimpulan. Persepsi, di mana kita mengartikan sebuah tanda, kata Lyn Turner, setidaknya dipengaruhi oleh lima faktor yaitu, budaya, gender, fisik, teknologi, dan konsep diri. Budaya biasanya terkait dengan judgment moral atau etik. Orang Jawa misalnya, akan memaknai kesopanan (Hal-41) dari intonasi bicara. Akan dianggap sopan, jika intonasi kita tidak lebih tinggi dari lawan bicara. Itulah kenapa orang Jawa sering salah sangka terhadap orang Batak.

Laki-laki dan perempuan, menurut hasil penelitian, juga memiliki kecendrungan persepsi yang berbeda. Ada cara pandang feminim dan maskulin. Feminim sangat mengapresiasi penampilan, menghargai sopan santun, menyukai empati. Sedangkan maskulin, meskipun suka dengan penampilan, tapi lebih mengutamakan fungsi. Ini semata soal konstruksi sosial yang diterima sejak usia kanak-kanak.

Persepsi tidak datang dari langit. Penilaian-penilaian kita akan dipengaruhi pengalaman. Inilah kenapa, faktor fisik seperti usia mempengaruhi persepsi. Penilaian-penilaian kita akan dipengaruhi pengalaman. Inilah kenapa, faktor fisik seperti usia mempengaruhi persepsi. Rentang usia mewakili bidang pengalaman. Maka, pandangan terus berubah seiring perjalan waktu. Semakin tua, semakin bijak.

Hubungan persepsi dan teknologi bisa dijelaskan oleh ungkapan populer McLuhan,’medium is message’. Kita memiliki persepsi khusus media-media berbasis teknologi tertentu. Televisi misalnya, sudah melekat padanya image sebagai piranti hiburan. Maka apapun isi acaranya, seringkali kita tangkap sebagai hiburan belaka.  

Sementara itu, pengaruh konsep diri pada persepsi akan lebih mudah disadari. Setiap orang memiliki keyakinan, pandangan, atau penilaian terhadap dirinya sendiri. Jika merasa diri kita sebagai orang sabar, pengertian, maka kita akan cenderung memiliki persepsi positif pada orang lain, siapapun orangnya, dalam kondisi apapun. Jika kita merasa sebagai orang bijak, maka mestinya tidak buru-buru membuat kesimpulan, tak cepat reaktif menanggapi stimuli.

Jika persepsi merupakan fondasi komunikasi antar pribadi, maka mispersepsi (perceptual error) adalah musuh kita bersama. Salah satu penyakit manusia adalah terlalu gegabah menyimpulkan sesuatu. Orang kata Friz Heider, seringkali menjadi naive psycologist, kita suka naif menerka-nerka orang lain beserta kondisinya. Sayangnya kita tidak selalu cermat, terutama dalam memahami konteks dan alasan prilaku orang. Misalnya ketika suatu waktu kita berpapasan dengan orang yang kita kenal, tapi tidak ada senyum seperti biasanya, belum tentu yang bersangkutan punya masalah dengan kita.

Maka, berbaik sangka itu lebih baik. Lihatlah berapa banyak korban prasangka buruk. Jika kepercayaan tidak lagi ada, terbayang betapa keringnya komunikasi suami-istri. Jika rasa hormat itu hilang, betapa tak pantasnya komunikasi guru-murid. Jika kredibilitas rendah, betapa meresahkannya komunikasi antara pemimpin dan bawahannya.

Realitas ini mestinya menjadi pelajaran buat kita sebagai objek persepsi. Jika kita bisa mengurangi kemungkinan mispersepsi, kenapa tidak? Tak ada salahnya berpenampilan baik, bertutur kata sopan dan tak hemat senyum, jika ini adalah prasyarat munculnya persepsi positif. Dengan begitu kita kita bisa berharap, komunikasi antar pribadi kita lebih hangat, impresif dan efektif.

( Sekretariat Masjid Arfaunnas, Universitas Riau, Jum’at, 30 April 2010, 17:08:25 WIB)



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 223 Th. 11, Rabiul Awwal 1431 H, 11 Maret 2010.

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

18 BUKAN OBAT YANG MUJARAB

 

18 BUKAN OBAT YANG MUJARAB[1][2][3]

(Hal-48) Jika setiap interaksi melibatkan komunikasi, maka aktivitas transaksi transaksi pesan ini ada di mana-mana (omnipresence). Nyaris tak ada aktivitas manusia yang tak melibatkan komunikasi. Tak heran jika banyak masalah yang biangnya adalah komunikasi. Itulah kenapa ‘miss komunikasi’ sedemikian popular. Tapi apakah setiap masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi? Nanti dulu!



Memang banyak masalah yang bersumber dari kegagalan komunikasi, mulai dari keluarga sampai negara. Juga benar, terutama di era pencitraan (imagologi) saat ini, kalau kelihaian komunikasi banyak menjanjikan kesuksesan. Mulai dari sales pulpen sampai kandidat presiden mengandalkan kemampuan ini. Tapi apakah komunikasi merupakan obat mujarab (panasae) untuk segala masalah? Belum tentu!

Komunikasi lebih merupakan piranti, bukan subtansi. Sarana dan bukan tujuan. Karenanya, komunikasi seringkali menjadi solusi hanya pada bagian awal saja, tidak pada bagian selanjutnya. Seorang pemimpin mungkin memperoleh legitimasi melalui kesuksesan membangun citra pada awalnya. Tetapi pada bagian selanjutnya adalah pembuktian janji-janji. Retorika tidak akan menggantikan kinerja. Persuasi pada akhirnya akan tumpul tanpa prestasi.

Sejarah mencatat kehadiran orang-orang besar yang lihai berkomunikasi. Penampilannya memikat, retorikanya memukau, mampu mempersuasi jutaan orang. Kemampuan negosiasinya bahkan melewati batas-batas negara. Tetapi nasibnya kemudian terbukti tak mampu diselamatkan oleh jargon-jargonnya. Kekuasaannya justru tumbang oleh kata-katanya sendiri.

Sebagai piranti, komunikasi membantu kita dalam interaksi. Kita bisa mengenal dan dikenal orang. Kita bisa menyampaikan dan menangkap gagasan. Kita pun bisa (Hal-49) menyebarkan atau menyerap tata nilai melalui komunikasi. Tetapi kualitas interaksi itu selanjutnya bergantung pada banyak hal. Setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Masalah yang kadang membutuhkan kehadiran orang lain. Masalah yang seringkali tidak selesai dengan senyum dan kata-kata sopan.

Salah satu rahasia sukses komunikasi adalah peluangnya dalam membangun impresi. Tetapi kesan hanya akan bertahan melalui tindakan. Seperti rayuan yang ampuh menundukkan hati. Laksana puisi dan syair yang mengaduk-aduk rasa. Tetapi hidup memiliki rasionalisasi sendiri. Kata-kata tidak cukup mengobati rasa lapar. Nyanyian tidak serta merta memberikan rasa aman. Menguaplah segala narasi indah, terkalahkan tuntutan hidup yang paling asasi.

Komunikasi mirip sebuah penghantar yang menghubungkan banyak orang. Semakin kecil hambatan semakin baik kualitas sebuah penghantar. Begitulah logika komunikasi efektif. Tetapi koneksi antar pribadi lebih merupakan infrastruktur kehidupan manusia secara komunal. Hidup jauh lebih rumit dari sekadar interkoneksi. Lebih kompleks dari sekadar keterhubungan.

Karena itulah, banyak yang mulai ragu pada pepatah lama orang Jawa: mangan ora mangan kumpul (makan tidak makan yang penting bersama-sama). Sulit membayangkan sebuah kebersamaan sementara perut kita lapar. Tuntutan hidup yang keras telah merubah pepatah itu menjadi ‘kumpul ora kumpul mangan’ (bersama-sama atau tidak yang penting makan).

Inilah barangkali kenapa demokrasi banyak digugat, setidaknya di negeri ini. Praktik demokrasi hanya mendorong riuhnya orang berwacana, tetapi tak kunjung melahirkan kesejahteraan. Dimana-mana orang berbicara, tetapi pada saat yang sama, di segala penjuru negeri masih banyak yang susah mendapatkan nasi. Semua berbicara, tetapi sedikit yang bekerja. Aneh memang, masih juga kita belum beranjak dari euforia kebebasan. Ironisnya kebebasan itu baru dimaknai bebas bicara, apa saja.

Demokratisasi di negeri ini nampaknya tidak ada yang mengalahkan. Tentu, tak sedikit buah positif dari fenomena ini. Orang tak lagi takut bersuara beda. Juga banyak saluran untuk menyampaikan gagasan. Tetapi kita berhenti pada kebebasan dan lupa bekerja. Kita lupa bahwa bukan ini tujuan utama reformasi. Kita tak sepenuhnya sadar bahwa komunikasi bukan obat mujarab untuk segala persoalan.

Inilah saatnya kita berintropeksi: Apa setelah komunikasi? Setelah intekoneksi, setelah kebebasan berbicara, setelah citra positif, setelah harmoni? Ada saatnya berbicara, ada waktunya bekerja. Setelah komunikasi menyelesaikan banyak hambatan, giliran kemauan baik untuk menyelesaikan masalah-masalah lainnya. Kita tentu tidak hendak menggantikan suasana konstruktif sebuah interaksi, tetapi mengingatkan, untuk menjadikannya sebagai modal penyelesaian agenda selanjutnya. Pada akhirnya kita berharap, kehadiran masyarakat kominikatif akan paralel dengan munculnya masyarakat yang sejahtera. Semoga!

(Bangkinang, Selasa, 21 April 2010, 10:00:44 WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 222 Th.11, Rabiul Awal 1431 H/ 25 Februari  2010, hal. 76-78

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal