Minggu, 06 September 2020

Interpretasi Teknologi

Interpretasi Teknologi[1][2]

Edi Santoso[3] 

(Hal-44) Mengandaikan bahwa teknologi memiliki dunianya sendiri, sehingga tak bisa dikontrol, tentu saja merisaukan. Bagaimana bisa, manusia yang menciptakan alat yang kemudian tak bis dikuasainya dan bahkan alat itu menguasainya. Kondisi nyatanya tak seekstrim itu, tetapi bahwa ada dampak yang kadang tak kuasa kita bendung itu nyata.



Menurut Don Ihde, penulis buku ‘Technology and Lifeworld’, dampak teknologi sangat terkait dengan relasi antara teknologi dengan kebudayaan manusia. Ketika terjadi adopsi teknologi, maka ada interpretasi atas artefak teknologi. Inilah yang disebutnya sebagai proses hermeneutis, penafsiran teknologi itu menjadi sangat konstektual-kultural.

Ketika nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Pada beberapa suku pedalaman misalnya, dapat mengkonversi peralatan berburu (pisau/kapak) dari batu menjadi peralatan berbasis logam atau besi, karena nilai praktis yang dapat dimengerti. Lain cerita saat mereka pertama kali melihat senapan modern (bedil/pistol). Mereka tidak mengerti nilai praktis senapan, sehingga perlu adanya hermenutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna.

Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi. Bagi beberapa nelayan di pedesaan dulu, kehadiran listrik dilihat sebagai sarana yang mungkin bisa membantu mereka dalam mencari ikan. Karena itu, mereka kemudian memanfaatkan listrik untuk ‘nyetrum’ ikan.

(Hal-45) Sementara bagi masyarakat pegunungan yang hidupnya komunal, impian utama listrik adalah sarana penerangan, sehingga mereka selalu terfasilitasi untuk kumpul-kumpul. Maka lahirlah inovasi-inovasi untuk memproduksi listrik, misalnya lewat mikrohidro, melalui sumber daya alam yang mereka miliki.

Karena faktor budaya pula, pemanfaatan mesiu berbeda-beda pada awalnya. Di Cina bubuk mesiu pertama kali digunakan untuk petasan, karena mereka membutuhkannya dalam perayaan-perayaan. Sementara di negara-negara Barat, mereka menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, karena lekat dengan budaya peperangan. Karena mungkin kita masih merasa berlimpah sumber energi berbasis fosil, pemanfaatan teknologi angin, panas matahari atau gelombang laut tidak berkembang. Sementara di negara-negara lain, kincir angin, solar sel, atau gelombang laut telah dimanfaatkan untuk banyak hal, mulai dari irigasi sampai pelistrikan.

Menurut Filsuf Habermas, teknologi telah menciptakan kesadaran teknis  yang pada akhirnya menjebak manusia sendiri. Sebuah jaring-jaring logika teknik yang kemudian menjadi determinan utama kesadaran manusia. Aksi –intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam dunia teknologi. Akibatnya, pengejawantahan rasio menjadi bersifat teknis semata. Kita kemudian hanya berpikir tentang efisiensi dan fungsionalisasi.

Perspektif teknis mengarahkan manusia untuk melihat sains dan teknologi sebatas sarana untuk mengendalikan atau memanipulasi alam. Masyarakat modern pun tenggelam dan terkungkung oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Sehingga, kata Habermas, tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial) dari teknologi menjadi terlupakan.

Seringkali tidak imbang laju perkembangan pemikiran dan kesadaran akan dampak teknologi. Wacana etik jauh tertinggal dari wacana teknis dari teknologi itu sendiri. Setelah jutaan orang menjadi korban persenjataan modern, orang baru berpikir tentang pengendalian senjata. Setelah jutaan hektar tanah rusak akibat zat-zat kimiawi, kita baru berpikir serius tentag ekses bahan sintetis.

Kesadaran instrumental memang harus diikuti kesadaran reflektif. Kita menggunakan alat pada awalnya untuk memudahkan hidup. ketika alat itu justru menciderai hidup, mungkin ada yang salah dalam interpretasi kita atas teknologi. Karena itulah, fungsi teknologi semestinya tidak hanya memudahkan kehidupan, tetapi juga harus memuliakan hidup.***



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 289 Th.14, Rabiul Awwal 1434, 24  Januari  2013

[2] Diketik Ulang Eddy SYahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Mengendalikan Teknologi

Mengendalikan Teknologi[1] [2]

Edi Santoso[3]

(Hal-48) Kehadiran teknologi sering bermata dua, membawa manfaat sekaligus menyimpan mudharat. Wacana tentang dampak teknologi tidak ada habisnya, sampai-sampai ada yang beranggapan teknologi telah mendeterminasi hidup manusia sedemikian rupa (technological determinism). Manusia kemudian terkesan tidak berdaya oleh ekses teknologi yang diciptakannya sendiri.



Pandangan ini mengandaikan, teknologi berkembang dengan logikanya sendiri sebagai produk sains. Ada penemuan-penemuan ilmiah, ada penciptaan alat, dan kemudian bertemu dengan kehidupan praktis manusia. Ada kemudahan-kemudahan hidup yang ditawarkan teknologi, tetapi orang juga selalu merasakan eksesnya. Kehadiran mesin-mesin produksi misalnya, menghadirkan efisiensi kerja yang luarbiasa, tetapi di sisi lain mengancam penyerapan tenaga kerja manusia.

Karena itulah, sulit mengatakan teknologi itu netral. Jika dilihat secara teknis, misalnya pada konstruksi mesin dan prinsip-prinsip kerjanya, teknologi tentu saja netral. Artinya, secara teknis, teknologi bisa diterapkan dimanapun, dalam konteks budaya apapun. Dalam perspektif teknis, penerapan teknologi tak lebih dari adaptasi dan fungsionalisasi.

Namun, kata Arnold Pacey – pemikir MIT, penerapan teknologi tidak pernah bisa bisa lepas dari dimensi budaya. Seperti orang Eskimo yang mengadopsi kendaraan bersalju berbasis mesin, menggantikan kereta anjing mereka. Ada aktifitas yang berubah, seperti kebiasaan memanaskan mesin di pagi hari, perhatian pada konstruksi mesin, spart part, perlunya bengkel, dan lain-lain. Dimensi moral pada teknologi akan Nampak ekstrim pada teknologi tempur, seperti penggunaan nuklir dalam peperangan yang akan menimbulkan tragedy kemanusiaan. Dalam dimensi politik teknologi adalah medium penguasaan. Misalnya teknologi komunikasi, bisa menjadi kendali penguasaan khalayak.

Teknologi, tandas Pacey, tak pernah bebas nilai dan ideology. Nilai dan ideologi mewakili cara pandang kita atas teknologi. Atau dalam bahasa Pacey, nilai dan ideologi itulah yang mendasari kita dalam mendefinisikan atau memaknai teknologi. Secara garis besar, dia mengatakan bahwa teknologi didefinisikan berdasarkan tiga aspek, yakni budaya, organisasi, dan aspek (hal – 49) teknis.

Aspek teknis berkenaan dengan teknologi sebagai buah pengetahuan, yang berisi konstruksi teknis, misalnya mesin dengan segala kerumitan dan prosedurnya. Aspek budaya memandang teknologi berdasarkan tujuan penggunaan, nilai dan etika, keyakinan dan sebagainya. Dalam aspek ini, teknologi bisa ditafsirkan secara beragam oleh berbagai komunitas. Seperti di sebuah perkampungan di Bogor, para tetua masyarakat setempat mengharamkan radio dan televisi, karena dianggap merusak nilai-nilai lokal.

Sedangkan aspek organisasi memandang teknologi sebagai buah aktivitas ekonomi. Maka, di dalamnya dipertimbangkan aktivitas profesionalnya, industrinya, pengguna, dan lembaga-lembaga perdagangan. Pertimbangan-pertimbangan ekonomi, dalam beberapa hal, mengarahkan lau teknologi. Seperti diilustrasikan oleh Raymond Williams, perkembangan teknologi audio visual berkaitan erat dengan kebutuhan industry perfilman di Hollywood yang terus menuntut kesempurnaan visual dan tata suara.

Mempersoalkan siapa mempengaruhi siapa, teknologi atau masyarakat, nampaknya tidak akan ketemu, karena faktanya memang saling mempengaruhi. Seperti dalam teknologi seluler, perkembangan smartphone pesatnya bukan main. Selalu ada fitur-fitur baru untuk menjawab permintaan pasar yang menggiurkan. Kecenderungan masyarakat pun diafirmasi sedemikian rupa, misalnya kebiasaan kita ngerumpi atau ngobrol dijawab dengan perangkat-perangkat yang memudahkan layanan media sosial. Pada sisi yang berbeda, inovasi-inovasi gadget tak urung selalu merangsang orang untuk terus mengganti perangkat lamanya. Kita serasa digiring untuk terus mengikuti tren teknologi, baik dari sisi software ataupun hardware-nya.

William menegaskan teknologi adalah entitas budaya. Kita sepenuhnya yang membentuk dan mengendalikan teknologi. Kita yang memaknai secara sosial budaya bagaimana teknologi semestinya berperan dalam hidup kita. Ini soal barang dan pemakaian, bentuk dan isi. Kita mungkin tak bisa mengendalikan penciptaan barang, tetapi kita bisa mengatur pemakaiannya. Kita mungkin tak kuasa menentukan bentuk teknologi, tetapi kita punya peluang untuk memilih isinya. Maka baik buruknya teknologi semua akan kembali kepada kita sendiri.

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 287 Th. 14, Muharram 1434 H, 13 Desember 2012 M.

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi

Memahami ‘Jarak’ Dalam Komunikasi[1][2][3]

(Hal-36) Jarak (distance) bisa mendekatkan sekaligus menjauhkan. Karena, jarak bisa menciptakan rasa. Hubungan berjarak, ketika ruang memisahkan orang-orang yang berkomunikasi, memang sebuah persoalan. Ada kedekatan fisik yang hilang, namun ada kerinduan yang menjadi energi tersendiri bagi sebuah hubungan. Selalu dekat secara fisik memang memudahkan, tetapi juga berpotensi melahirkan kebosanan.



Ketika jarak menjadi tanda nonverbal, ukurannya pun menjadi relatif. Bukan soal jauh atau dekat, tetapi bagaimana kita mendudukkan jarak dalam sebuah konteks komunikasi secara tepat. Seperti melihat benda, dengan ukurannya yang beragam, hanya akan bisa kita lihat secara jelas dalam sebuah jarak tertentu. Logikanya, semakin dekat akan semakin jelas, tetapi ada batasnya. Lebih dekat lagi, bisa jadi benda itu justru kelihatan kabur dan kehilangan detail.

Membaca Bahasa Cinta

Membaca Bahasa Cinta[1][2][3]

(Hal-40) Komunikasi nonverbal memang unik. Di satu sisi, ekspresi non verbal bisa sangat kaya pesan, melebihi kata-kata. Di satu sisi, ekspresi nonverbal bisa sangat kaya pesan, melebihi kata-kata. Pada sisi lain, komunikasi jenis ini juga menyimpan potensi kesalahpahaman yang besar. Selain berdimensi budaya, komunikasi nonverbal juga sangat personal, dimungkinkan  berbeda dengan konvensi sosial yang ada. Seperti orangtua mencintai kita, betapa uniknya.



Setiap orangtua punya gaya dan cara sendiri dalam mencintai kita. Karena banyak diungkapkan secara nonverbal, kita sering salah memahaminya. Meminjam istilah Edward T Hall, mereka lebih banyak menggunakan ‘bahasa senyap’ (silent language). Tak berkata-kata, tetapi ekspresi cinta itu selalu ada, melalui banyak cara.

Orangtua, baik ayah ataupun ibu, kadang mengungkapkannya dalam dimensi ruang. Mereka ingin dekat dengan kita secara fisik, misalnya duduk bersebelahan dengan kita, layaknya orangtua yang ingin selalu menimang atau memangku anaknya. Selalu ingin membersamai aktivitas kita. Saat kita tumbuh dewasa, keinginan itu kadang terasa menjengkelkan. Seperti keresahan seorang ibu ketika anaknya enggan diantarkan ke batas kota untuk suatu perjalanan jauh. “Aku sudah besar, Ma, gak usah diantar-antar segala,” kata sang anak sewot. Padahal, sang bunda hanya ingin mengekspresikan cintanya.

Ekspresi cinta itu juga berdimensi materi, betapapun sederhananya. Memberi, selalu menjadi ekspresi cinta tersendiri. Begitupun bagi orangtua. Usia yang semakin senja, tubuh yang kian renta, tak menghalangi niatnya untuk terus memberi. Ini lebih sekadar nilai barang. Maka betapapun rendahnya nilai nominal barang itu, sejatinya adalah ungkapan cinta yang mendalam. Seperti kisah seorang ibu yang selalu repot membawakan atau mengirim oleh-oleh untuk anaknya di seberang pulau. Oleh-oleh itu mungkin nampak tak berharga bagi anaknya yang hidup (Hal 41) mapan itu. Tetapi, di balik itu, ada pesan cinta yang tak terkatakan.

Tak ada cinta tanpa perhatian. Maka, orangtua punya caranya sendiri dalam memperhatikan anak-anaknya. Salah satunya, mereka selalu memastikan anak-anaknya dalam kondisi terbaik, tak kurang suatu apa. Seperti kebiasaan seorang ayah di malam hari, sebelum tidur, selalu melongok kamar anak-anaknya. Melihat anak-anaknya yang sudah sudah pulas dibalut mimpi. Dia tak berkata-kata, tapi dari tatapannya itu terpancar kebahagiaan tersendiri, karena anaknya masih ‘utuh’ dan aman. Ketika hubungan itu berjarak, mereka menyempatkan untuk berkomunikasi jarak jauh. Tak banyak yang dikatakan, apalagi ungkapan verbal cinta. Tak ada sama sekali. “Hanya ingin mendengar suaramu,” kata mereka pada anaknya.

Memang ada dimensi budaya, kenapa mereka tidak pernah mengungkapkan ekspresi cinta itu secara verbal. Ada budaya ‘konteks tinggi’ (high context) yang melatarinya. Tak elok untuk diucapkan, toh mereka telah membuktikan cintanya sejak anak-anak lahir hingga dewasa, bahkan ketika telah lahir cucu dan cicit. Kata-kata bisa jadi justru mendangkalkan kedalaman rasa cinta itu. Tak perlu kata-kata indah, apalagi bunga, layaknya muda-mudi yang dimabuk asmara.

Tak ada salah cara mereka dalam mencintai kita. Masalahnya mungkin ada pada kita, kenapa sering tak paham juga pesan-pesan cinta itu. Di sinilah diperlukan kepekaan atas tanda-tanda (semiotic skill), yakni kemampuan memaknai pesan, khususnya yang berdimensi nonverbal dalam komunikasi. Prinsip dasarnya, tak ada tindakan yang tak bermaksud (unintentionally). Selalu ada makna dalam setiap tindakan.

Dalam konteks itu pupa kita harus bisa memahami fakta bahwa tidak semua orang pandai berartikulasi atau hebat dalam menciptakan suasana untuk mengekspresikan cintanya. Ada seorang istri yang frustasi kenapa suaminya tak romantis sama sekali, atau sebaliknya. Ada harapan yang tak bertaut dalam pasangan itu. Bukan karena suami atau istri itu tak mencintai pasangannya, tapi mereka tak cakap dalam mengungkapkannya. Dalam kasus semacam itu, ekspresi cinta lebih banyak diungkapkan secara nonverbal.

Sulit memaksa orang untuk menjadi romantis, karena sebagiannya sangat berdimensi masa lalu, juga karena karakter (bawaan lahir) dari yang bersangkutan. Kearifan pasangan menjadi sangat relevan. Coba perhatikan dalam sudut pandang yang berbedabagaimana cinta itu diungkapkan. Mungkin lewat kerja keras, melalui kesetiaan total, atau kepercayaan mereka. Mungkin mereka tidak pandai membuat puisi, tetapi mereka selalu memenuhi janji. Mungkin mereka tak pernah memberikan kita mawar, tetapi mereka selalu membuktikan dirinya sebagai orang yang benar.

Akhirnya kita harus sadar bahwa ternyata banyak jalan untuk menautkan hati. Artikulasi kata memang bisa membantu, tetapi ketulusan akan membuatnya abadi. Cinta tak semata janji, tetapi juga pembuktian. Bahasa cinta, betapapun rumitnya, pasti bisa dipahami.

 

 



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 242 Th.12, Muharram  1432H, 30 Desember 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Kemudahan Yang Menyulitkan

Kemudahan Yang Menyulitkan[1][2][3]

(Hal-38) Dunia maya semakin nyata. Orang terus berbondong-bondong, lebih dari eksodus, masuk ke ruang virtual melalui internet. Pasti, jumlahnya melebihi angka imigrasi di manapun dalam sejarah kehidupan manusia. Pertumbuhan internet jauh lebih tinggi dibandingkan media-media lain. Tahun 1999, pengguna internet di dunia 250 juta orang. Tahun 2008, populasi internet dunia menembus angka 1,5 milyar.



Lompatan angka pengguna internet itu juga berkorelasi dengan bertambahnya kasus-kasus sebagai eksesnya. Seperti kasus perselingkuhan yang susul-menyusul, seiring semakin terkoneksinya orang. Beragam modus dengan berbagai motif. Tetapi pada awalnya adalah keterhubungan. Ya, kita tersambung dengan banyak orang. Sebagiannya pernah kita kenal, sebagian yang lain memang baru kita kenal di dunia online itu.

Keterhubungan sebenarnya adalah berkah, sebagaimana silaturahmi di dunia nyata. Ada komunikasi yang tersambung lagi. Ada teman-teman baru yang menambah daftar orang-orang di sekitar kita. Ada jaringan besar yang kita di dalamnya. Maka ada peluang rezeki di dalamnya, juga peluang membangun harmoni dengan cara yang berbeda. Ada keterbatasan yang teratasi. Ruang dan waktu tak lagi relevan disebut sebagai penghalang. Di manapun, kapanpun kita bisa menjalin komunikasi.

Namun potensi itu bukan tanpa masalah. Keterhubungan yang luas memberikan kita banyak pilihan. Kita semakin bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Mungkin kita dulu pernah membangun komunikasi yang intens dengan seseorang, kemudian karena suatu sebab terputus, dan internet kembali menyambungkannya. Ada kesempatan di depan mata kita. Pilihannya, muara mana yang hendak kita tuju.

(Hal-39) maka ada kisah cinta yang terbangun kembali. Komunikasi telah membawa lagi kenangan yang terpendam. Ada haru biru, goncangan perasaan, romantisme yang kembali datang. Terjalin kembali hubungan asmara secara virtual yang sangat mungkin berujung di dunia nyata.

Dengan karakternya yang impersonal, keterhubungan secara virtual bisa membangun kedekatan secara lebih. Orang menjadi sangat terbuka dalam komunikasi ini. Dia berani megungkapkan seluruh isi hatinya yang dalam dalam pertemuan langsung mungkin sulit terjadi. Orang yang paling pendiam sekalipun berani berterus-terang. Di sinilah muasalnya, ketika curahan hati itu bertaut. Ada perasaan-perasaan terpendam yang kemudian tergali.

Komunikasi virtual juga membangun perasaan individual. Ketika seseorang berkomunikasi dengan yang lainnya, dia merasa berada di sebuah line khusus, tak ada yang tahu selain mereka berdua. Maka ada perasaan aman karena menganggap pasangannya tidak tahu, begitu pula sebaliknya. Yang punya status sosial tertentu, misalnya ulama atau tokoh masyarakat yang lain, tetap merasa aman, karena merasa tak akan ada yang meruntuhkan kredibilitasnya.

Komunikasi virtual yang berjejaring global ini pun memberikan banyak pilihan. Ada orang-orang baru yang selalu membuka dirinya untuk diajak berbincang. Internet sangat mungkin menjadi ruang pelarian orang-orang yang punya masalah komunikasi di dunia nyata. Ada remaja yang tak menemukan sosok untuk mencurahkan isi hatinya kemudian bertemu sosok virtual. Atau, kisah seorang istri yang gelisah dengan hubungannya yang gersang dengan suaminya kemudian terobati oleh teman ngobrolnya di internet.

Begitulah, kemudahan yang ditawarkan internet bisa berujung pada kesulitan. Pada masalah-masalah yang sejatinya kita ciptakan sendiri. Agar tak terjebak, pastikan kita memiliki cara pandang yang konstruktif atas komunikasi virtual itu. Pertama, batas antara maya dan nyata itu sebenarnya sangat tipis. Naif kalau kita berpikir,’Toh ini Cuma virtual’. Semua berawal dari sini. Kontak fisik kemudian adalah soal kesempatan semata yang menunggu untuk diwujudkan.

Kedua, masalah-masalah kita di dunia nyata harus selesai di dunia nyata juga. Membawa masalah ke dunia virtual hanya akan menjebak kita pada uluran tangan-tangan tak bertanggungjawab. Ketiga, jangan pernah berharap dunia virtual akan membangkitkan masa lalu. Masa lalu mungkin indah dalam kenangan, tapi pasti mustahil diulang. Keempat, seberapapun intensitas kita dalam dunia maya, kita tetap ada di dunia nyata. Kita harus sadar bahwa kita masih hidup dengan orang-orang yang nyata, di sekitar kita. Ada istri, suami, anak-anak, saudara dan yang lainnya. Yakinlah selalu, ada implikasi dari setiap pilihan kita.

Jadi biarkan jejaring global itu menawarkan fitur-fitur yang kian memikat. Manfaatkan saja kemudahan yang ditawarkannya. Manfaatkan seperlunya, semoga tidak ada kesulitan diujungnya. (end)

 



[1] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2] Majalah Tarbawi, Edisi 241 Th.12, Muharram  1432 H, 16 Desember 2010 M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Realitas Subjektif

Realitas Subjektif[1][2][3]

(Hal-40) Sungguh berat beban para pengungsi itu. Mereka harus meninggalkan kampung halaman.  Beberapa diantaranya harus kehilangan sanak saudara. Tak ada pilihan selain tinggal di barak pengungsian yang pasti tak nyaman dalam hal apapun. Sudah begitu, mereka harus dicekam rasa takut, khawatir, akibat rumor yang justru diciptakan oleh sebuah media massa nasional.



Pada awalnya adalah motif sensasi, ingin mencari sudut pandang yang berbeda tentang liputan bencana. Perspektif mistis dengan segala ramalan yang tak bertanggungjawab akhirnya mendominasi isi media. Informasi terus menyebar dengan bantuan seluler (sms). Sambung menyambung menjadi nomor, kemudian membentuk realitas baru tentang bencana, mengalahkan realitas nyata (objektif) yang mereka alami sendiri.

Itulah uniknya hidup di era dominasi media massa, ketika realitas subyektif (constructed reality) menjadi lebih relevan. Lewat media, realitas itu bahkan dilebih-lebihkan (hyperreality). Antara yang nyata dan maya menjadi kabur. Antara fakta dan gosip semakin sulit dibedakan. Orang lebih mempercayai apa yang dilihatnya di televisi ketimbang apa yang mereka alami sendiri.

Kejadian itu bisa jadi tak terelakkan, karena beberapa alasan. Pertama, orang menyadari keterbatasannya, sehingga kemudian menggantungkan kebutuhan informasinya pada media massa. Media pun mengukuhkan perannya sebagai ‘the extension of man.’ Media telah menjadi perpanjangan indera manusia. Dari media, kita melihat dan mendengar. Dari media, kita tahu tentang dunia sekitar.

Kedua, teknologi tak saja menjadikan pesan tersebar secara luas (eksesif), namun juga menjadikan pesan tampil ekspresif. Di sinilah simulasi tanda terjadi, sehingga realitas dimungkinkan benar-benar diciptakan dan tak berhubu- (Hal-41)ngan sama sekali dengan fakta objektif. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai ‘simulacra’. Permainan grafis, tata suara, narasi, drama, dan olah efek visual lainnya telah menjadikan pesan tampil demikian memikat dan terasa riil, meskipun tak berakar pada kenyataan yang sesungguhnya.

Pesan rekaan (simulatif) kemudian terasa lebih masuk akal ketimbang pesan faktual (objektif). Nyata atau fiktif tidak lagi menjadi penting.

Dalam bingkai hiperealitas ini, rumor menemukan bentuk baru. Tak lagi soal kaburnya sumber informasi, tetapi misinformasi sebagai produk simulasi. Khalayak semestinya bisa menilai kualitas dan integritas sumber informasi, tetapi strategi visualisasi telah mengaburkan semuanya. Nampaknya, ‘bagaimana pesan itu disampaikan’ menajdi lebih relevan ketimbang ‘siapa yang menyampaikan’. Kekaburan informasi bukan karena ketidakjelasan asal muasalnya, tetapi karena ilusi produk narasi dan teknologi yang mengemasnya.

Karena realitas itu dibentuk oleh media, sayangnya, kita seringkali gagal menghadirkan realitas yang lain sebagai alternatif. Terlebih, jika sebagian besar media yang ada kompak menghadirkan berita dengan  sudut pandang yang relatif seragam. Itu semua seolah berjalan alami saja. Begitu bangun tidur, kita nyalakan televisi, dengarkan radio, baca koran, atau menyimak kabar online. Hari itu, kita mulai membangun realitas dengan tangan media.

Begitulah kenyataannya, ketika media menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita. Sebetulnya, ketika media menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Sebetulnya, kita tak harus menjadi antimedia untuk menemukan kejernihan. Cukup bagaimana kita mendudukkan media dengan semestinya. Pertama, karena realitas itu subjektif, maka sejatinya terdapat banyak realitas dari satu peristiwa atau fenomena. Jika media adalah agen-agen pembentuk realitas itu, maka ada sekian banyak media berarti sebanyak itu pula realitas bisa disampaikan. Di sinilah, relevansi kenapa kita perlu melihat informasi dari berbagai media, sehingga dimungkinkan adanya keseimbangan.

Kedua, selalu ada ideologi dalam setiap pesan media, seperti dikatakan Stuart Hall. Kata-kata-kata atau pilihan bahasa tak pernah turun dari langit begitu saja, tetapi lahir secara ideologis meski pembuatnya sendiri kadang tak menyadarinya (unconsciously). Begitu juga dengan sudut pandang yang dipilih. Ideologi itulah yang mengarahkan seleksi fakta dan penonjolan informasi. Kesadaran bahwa media selalu ideologis semestinya melahirkan khalayak yang kritis.

Ketiga, pada akhirnya, makna ada pada diri khalayak, bukan pada media. Kritisisme itu bisa kita wujudkan dengan membangun makna yang berbeda dari apa yang diinginkan media. Khalayak, kata Hall, bisa membuat makna alternatif, sebagai counter makna yang ditawarkan media. Ini berarti, beragamnya realitas bergantung pada khalayak sendiri.

Ini sejatinya adalah ikhtiar membangun keberdayaan. Jika kita belum memiliki akses dalam produksi pesan, maka kita tetap punya kesempatan untuk leluasa memaknai pesan. Dari pemaknaaan inilah, realitas bisa kita hadirkan sesuai dengan yang kita inginkan.***

 



[1]Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[2]Majalah Tarbawi, Edisi 240 Th.12, Dzulhijjah 1432H,2 Desember 2010M

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Kehidupan itu hakikatnya mengukir kenangan.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Kehidupan itu hakikatnya mengukir kenangan.
Oleh : Abdul Rauf

 

Kenangan yang aku maksud adalah kebaikan yang disaksikan.Kesaksian itu mutlak karna ALLAH ï·» dan hendaknya kita berharap dan kita harus yakin DIA meredhoi kita. Kita harus membangun singgasana husnudzdzon (baik sangka) kepadaNYA.


Kesaksian kedua yaitu kesaksian siapa saja yang pernah mengenal kita dan berinteraksi dengan kita.Semoga yang diingat dan yang disaksikan adalah yang baik-baik saja.Senyumnya yang bernilai sedekah menjadi ingatan dan doa.Budi bahasanya yang indah dan mempesona selalu diingat dan menjadi pahala baginya.




Suaranya yang merdu dalam membaca surat cinta ilahi, semoga terekam dalam memori dan dengan itu menjadi sebab dia diberkahi. Rizki yang bernah dia berikan untuk saling berbagi semoga pula menjadi amal jariyah.Nasehatnya yang baik amalkanlah, sebab nasehat itu baik bagimu dan baik pula baginya.


Sahabat, hendaklah kita memiliki dan menjaga gen setia dalam diri kita, sebab gen setia itulah menjadi pesona bagi kita dalam mengukir persahabatan, kelak itu menjadi nostalgia indah untuk diingat.


Sahabat, aku sampaikan kalimat-kalimat ini kepada semua yang pernah berinteraksi denganku, bahwa aku berlindung kepada Allah
ï·» dan karnaNYA pula aku tidak takut terhadap bahaya yang menimpa diriku sendiri hanya dikarenakan aku menjaga kesetiaan, karna kecintaanku kepada ummat.


InsyaaAllah Rasa takut itu telah hilang sejak lama saat aku mengenal Rabb kita. Dialah yang Ditakuti, dicintai, diharapkan, ditaati dan diibadahi.
Ketakutan kita hendaklah bukan pada bahaya yang menghadang pribadi, tetapi takutlah jikalau kita yang menjadi sebab bahaya yang menimpa ummat kita.


#BERSABAR
#BERSUARA LANTANG
#BERSINAR
#UNTUK MERANTI LEBIH BAIK.