Jumat, 04 September 2020

Berani Bermedia, Berani Berdialog

Berani Bermedia, Berani Berdialog[1][2]

Edi Santoso

(Hal-40)Media baru (new media) yang hadir seiring kemunculan internet sering mendapat respon yang berlebihan.Diantaranya, media ini dianggap sebagai antithesis media lama yang dianggap membawa cacat bawaan. Media lama yaitu media massa pada umumnya, sering diasosiasikan dengan suasana distribusi informasi yang tidak demokratis. Media massa, misalnya, dianggap memonopoli sumber informasi dan tidak tidak dialogis terhadap khalayak. Media baru dianggap berkarakter sebaliknya.



Media baru memang menghadirkan iklim informasi yang berbeda.Pertama, interaktifitas.Komunikasi berbasis internet memungkinkan interaktifitas lebih jika dibandingkan dengan media lama, khususnya dengan media cetak dan penyiaran. Salah satu wujudnya adalah tren ‘user generated content’ dalam aplikasi web 2.0, misalnya  dalam youtube, dimana orang bebas mengunggah videonya sendiri. Slogan youtube pun terasa provokatif, yakni ‘broadcast your self’. Di sini, khalayak memiliki peran lebih dalam mempengaruhi isi media.

Kedua, keragaman konten dan sudut pandang. Kemelimpahan konten dalam internet tak akan tertandingi oleh media manapun. Internet bisa disebut sebagai chanel komunikasi yang ‘multimodal’ , memungkinkan informasi berbasis teks, video, ataupun audio dalam jumlah yang nyaris tidak terbatas, yang tersebar dan terdistribusikan ke individu, kelompok, atau organisasi. Pengamat media William mengatakan, jumlah informasi dalam web diperkirakan memcapai 281 exabyte yang jumlahnya akan meningkat 10 kali lipat lima tahun berikutnya. Kemelimpahan ini pada akhirnya juga menyediakan beragam sudut pandang bagi khalayak.

Ketiga, selektifitasdan control khalayak.Kombinasi dari interaktifitas yang meningkat dan keragaman konten berarti khalayak dapat lebih selektif sekaligus bisa mengontrol isi media yang menerpanya. Khalayak media baru memainkan peranan sebagai gatekeeper, karena mereka memiliki banyak pilihan sebagai penerima dan juga mampu memfilter, memproduksi, dan mendistribusikan informasi bagi mereka sendiri atau pihak lain secara mudah.

Dengan karakteristik tersebut, khalayak semestinya menjadi lebih berdaya.Namun, faktanya tak selalu demikian, karena peluang memang tak selalu dimanfaatkan. Se- (Hal-41) perti dikatakan Takeshita, meskipun sumber-sumber informasi melimpah di internet, tak banyak bukti yang menunjukkan bahwa khalayak kemudian memanfaatkan kemelimpahan pilihan itu. Khalayak masih banyak yang menggunakan versi online dari media lama. Jadi, yang lebih banyak dimanfaatkan baru cara akses, belum fitur ‘selektivitas’ atau ‘kustomisasi’ yang tersedia.

Bahkan yang terjadi seringkali berupa paradoks.Kemelimpahan tidak menghasilkan keragaman dan kekayaan pengetahuan tetapi justru penyempitan pandangan.Fitur ‘selektivitas’ tidak digunakan untuk memperkaya beragam pandangan, sebaliknya dipakai untuk memperkuat pandangan pribadi atau kelompok.Dalam jejaring sosial misalnya, pilihan pertemanan atau pilihan untuk mengikuti pendapat orang (following) akhirnya menjadi sangat terbatas, yakni hanya pada orang-orang dalam satu kelompok saja.

Mungkin kita berargumen, itu semua untuk melindungi keyakinan dan pemikiran kita.Terutama bagi kita pada umumnya yang masih awam. Pandangan ini mungkin ada benarnya, tetapi jelas menggambarkan pesimisme, khawatir kita akan ditelan belantara dunia maya yang tak jelas orientasinya. Ini cara pandang kita sebagai objek, bukan subjek. Kenapa kita tidak berpikir sebaliknya, bahwa inilah kesempatan untuk membangun dialog global.Inilah kesempatan bagi kita untuk membagi pandangan dan keyakinan pada komunitas yang tak terbatas (borderless).

Melihat kecenderungannya, kita semakin tak bisa menghindar dari terpaan media baru.Kita juga tidak bisa mengingkari karakternya yang menuntut kesiapan menjadi warga global (netizen).Pilihannya, kita akan terus menghindar dengan ‘bersembunyi’ dalam kelompok kita atau segera mempersiapkan diri untuk berdialog dengan siapapun di komunitas global. Perasaan tidak aman saat berinteraksi dengan pihak lain, kata Syamsi Ali – Imam Islamic Center New York, adalah cermin lemahnya keyakinan. Jika kita yakin dengan nilai-nilai kita selama ini maka tak ada alasan untuk menghindar. Apalagi jika kita yakin dengan prinsip ‘nahnu du’at’, kita semua adalah dai, maka harus terus berupaya untuk menyampaikan apa yang kita anggap benar pada siapapun.

Media baru menyediakan berbagai fitur untuk berdialaog dengan siapapun. Saatnya kita berpikir, apa yang bisa kita bagi untuk dialog global itu. Tak perlu lari menghindar, tapi justru lari mendekat dengan rasa percaya diri. Tentu, semuanya harus kita persiapkan, terutama kekuatan konten yang akan kita dialogkan.

 



[1]Majalah Tarbawi, Edisi 265 Th. 13, Shafar 1433 H, 29 Desember 2012 M.

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Cerita yang Mempersatukan

Cerita yang Mempersatukan[1][2]

Edi Santoso 

(Hal-44) Jangan remehkan cerita. Meski Nampak sepele, cerita ternyata bisa mempersatukan atau menambah erat hubungan antar orang dalam kelompok. Begitulah kesimpulan sekelompok ilmuwan di Universitas Minnesota pada tahun 1960 dan 1970, dipimpin oleh Ernest Borman yang berminat pada proses pengembangan diskusi kelompok dan keputusan yang dibuat di dalam kelompok. Sebelumnya, Robert Bales, lewat penelitiannya terhadap dinamika kelompok kecil, menemukan bahwa pada situasi yang tegang, suatu kelompok seringkali menjadi sangat dramatis dan berbagi cerita atau tema-tema fantasi.



Fakta itu menjelaskan betapa komunikasi memang unik.efektifitasnya tak bisa dicapai dengan pertimbangan rasional-mekanis semata, misalnya dengan menakar bobot atau isi pesan dalam satuan waktu tertentu. Serius tak berarti menegasikan canda atau cerita remeh-temeh yang dengannya orang bisa saling memberikan tanggapan atau sekadar tertawaan. Dengan cerita, susasana menjadi cair, ketegangan mereda, dan ide-ide brilian pun kadang justru muncul setelahnya.

Gagasan Borman cs itu kemudian dikenal sebagai teori konvergensi simbolik. Ada percakapan ‘simbolik’, yakni berbagai cerita dalam kelompok yang senantiasa mempersatukan mereka. Konsep sentral teori ini ialah tema fantasi (Fantasy theme), yaitu pesan yang mendramatisasi. Pesan yang diuraikan dengan cara yang mengesankan, baik berupa kisah, analogi, atau figure percakapan di mana kelompok berinteraksi. Bukan pesan mengenai sesuatu yang hadir ‘di sini’ dan berlangsung pada saat ‘sekarang’, tapi pesan yang merujuk pada sesuatu di luar ‘saat ini’ dan di luar ruang pengalaman kelompok. Fantasi tersebut merupakan interpretasi kreatif dan imajinatif dari peristiwa-peristiwa yang memenuhi kebutuhan psikologis atau retorikal.

Fantasi tersebut biasanya dieskpresikan dalam bentuk cerita, lelucon, metafora dan bahan imajinatif lainnya yang menafsirkan peristiwa-peristiwa familiar. Dalam perspektif konvergensi simbolik, yang lebih diperhatikan, adalah respon kelompok, mengenai apakah benar-benar ada atau tidaknya peristiwa-peristiwa tersebut terjadi, bukanlah isu yang dipentingkan. Respon yang lepas, penuh humor dan mengalir akan membuat suasana komunikasi yang kondusif.

Sebagian kita mungkin teringat rutinitas (Hal-45) saban sore atau malam di kampung dahulu kala, ketika sebagian orang berkumpul dan bercengkerama. Ada yang melakukannya di bawah rindangnya pohon Waru, ada pula yang lesehan sambil minum teh. Perbincangannya ngalor ngidul, sebagian besar mungkin tidak penting. Ada yang membincangkan tetangga yang kehilangan kambing, anak gadis yang kepergok berduaan sama pacarnya, cerita juragan petai yang untung besar, atau cerita-cerita konyol lainnya. Tapi disitulah, mereka membangun kebersamaan dan kehangatan.

Hal serupa mungkin masih kita temukan sekarang, tentu dalam bentuk yang berbeda. Di kantor misalnya, dalam berbagai rapat, ada jeda yang muncul spontan ketika salah seorang peserta melemparkan joke berupa cerita-cerita lucu. Responnya bisa ke mana-mana, sahut-menyahut diantara peserta, tapi apapun itu, bisa meredakan ketegangan, kuncinya tinggal di pemimpin rapat untuk kembali mengarahkan pembicaraaan.

Cerita-cerita semacam itu pada akhirnya akan menjadi visi retoris (rhetorical vision), yakni pandangan dari bagaimana suatu itu ada atau aka nada. Visi retoris merupakan struktur realitas dalam area yang kita tidak bisa alami langsung, tetapi hanya dapat mengetahuinya dengan reprosuksi simbolik. Oleh karenanya, visi-visi seperti itu memberikan kita sebuah image tentang sesuatu di masa lalu, masa depan,  atau di tempat-tempat yang jauh. Visi tersebut berbentuk seperangkat asumsi yang didasari pengetahuan kita. Apa yang kita tampilkan dalam cerita-cerita itu adalah representasi dari peristiwa yang kita alami.

Dalam lingkup yang lebih luas, sebagai bangsa kita juga dipersatukan melalui cerita,baik yang dinarasikan secara formal di sekolah-sekolah atau perbincangan di warung-warung kopi. Dulu, kita bangga dengan cerita seputar nusantara, di mana nenek moyang kita adalah orang-orang tangguh yang menaklukkan samudera. Kita juga dipersatukan oleh heroisme para pahlawan dalam mengusir penjajah.

Pertanyaannya, kini, cerita apa yang mempersatukan kita? Kita khawatir cerita-cerita yang berkembang adalah olok-olok dan sindiran bagi para pemimpin di negeri ini. Beraneka cerita yang kita dapat dari pemberitaan media itu mungkin meredakan suasana atau meningkatkan keeratan kita dalam kelompok, tetapi juga menyisakan kekhawatiran yang dalam. Karena ini adalah cermin visi retoris kita, sungguh merisaukan jika gambaran bangsa dan Negara ini sedemikian terpuruk. Semoga saja, ada pergantian tema cerita nantinya.

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Opini dan Fakta di Media

Opini dan Fakta di Media[1][2]

Edi Santoso

(Hal-42) Sungguhkah hidup kita diatur oleh media massa? Bisa jadi benar, tapi mungkin juga tidak. Bagi kita yang larut di era informasi dengan peran dominan media sebagai penyedia informasi, anggapan itu barangkali benar. Yakni mereka yang bahkan sejak bangun tidur langsung menyalakan televise, radio, membaca Koran, atau membuka internet untuk menyimak kabar terkini. Mereka yang merasa tersambung dengan peradaban hanya jika terkoneksi dengan limpahan informasi dari berbagai sumber.



Tetapi pengaruh media memang tidak serta merta, karena ini terkait dengan keberdayaan kita sebagai khalayak. Banyak riset yang menunjukkan respon yang beragam orang atas berita atau informasi yang sama. Sebuah berita bisa direspon biasa saja oleh satu orang, tetapi oleh yang lain mungkin menimbulkan histeria. Khalayak yang responsive seringkali ditandai oleh ketidakpahaman mereka atas logika media. Mereka sulit membedakan antara peristiwa di luar sana dan realitas bentukan media.

Jika ini menyangkut peristiwa sosiologis, yakni kejadian-kejadian seperti bencana, upacara, cuaca, atau yang lainnya, persoalannya mungkin akan lebih sederhana, karena mudah diverivikasi. Jumlah korban, waktu kejadian, atau deskripsi peristiwa misalnya, lebih mudah dicek kebenarannya, baik dengan turun langsung ke lapangan atau membandingkan dengan sumber lainnya. Namun pada berita yang berdimensi psikologis, yakni opini atas peristiwa atau fenomena, media punya otoritas yang sulit digugat. Mereka punya hak untuk menentukan ssiapa yang layak didengar suaranya. Prinsip keseimbangan (cover both side) terlalu absurd dalam praktiknya.

Persoalannya, media massa justru cenderung memberikan ruang lebih pada opini ketimbang fakta lingkungan. Bukalah Koran (Hal-51) hari ini dan lihatlah halaman utamanya, betapa opini sedemikian dominan. Hal yang sama juga ada pada berbagai televise berita, isinya tak lebih dari kata si fulan dan fulanah. Ada isu yang terus bergulir karena opini yang berkelindan. Dan ironisnya, seringkali arah opini sudah diarahkan sedemikian rupa. Dimulai dari pemilihan topic yang hendak ‘dihangatkan’, sampai pemilihan narasumber untuk mendukung gagasan.

Fakta di luar sana tak akan sepenuhnya sampai ke media untuk disebarluaskan kepada kita. Media melihat melihat peristiwa atau fenomena, kemudian membangun persepsi atasnya. Realitas pertama ada pada peristiwa itu sendiri, sedangkan yang sampai kepada kita adalah realitas kedua atau kesekian, hasil bentukan media (constructed reality). Singkatnya, yang disuguhkan media kepada kita sejatinya adalah tafsir atas peristiwa. Medialah yang mendefinisikan sebuah isu atau tema untuk dibincangkan.

Jebakan berikutnya adalah pengarusutamaan (mainstreaming) seringkali berangkat dari pola pikir sederhana, misalnya logika moral benar-salah, baik-buruk. Batas antara subtansi dan asesori terkaburkan oleh simplifikasi persoalan. Duduk perkara menjadi tak jelas juntrungnya karena gagal untuk ditempatkan pada sudut pandang yang cerdas. Gagasan-gagasan alternative pun buru-buru layu karena dihantam bertubi-tubi oleh opini yang seragam.

Khalayak yang cerdas akan melihat secara proporsional keberadaan media massa dengan segala isu yang dihembuskannya. Media tak lebih dari entitas yang menawarkan sebuah opini tertentu. Opini yang dirangkai dan dibangun dari pendapat banyak orang dengan bingkai (frame) tertentu. Sebagai opini, maka kedudukannya sama dengan pendapat lainnya, sehingga kebenaran dan keabsahannya layak  didiskusikan lebih lanjut. Menjadi khalayak yang skeptik atau kritis ada benarnya.

Khalayak yang cerdas tak akan buru-buru menarik kesimpulan berdasarkan berita yang beredar. Mereka bukan orang yang responsive, yang mudah tergopoh-gopoh ketika menerima kabar sensitif. Tetapi mereka juga bukan orang yang bebal, yang anti media atau selalu kontra pada pandangan orang lain.

Ruang publik, termasuk yang diciptakan oleh media, tetaplah penting untuk pengayaan gagasan. Tetapi, kita juga harus mengakui keterbatasannya. Terlalu banyak pendapat di luar sana, tetapi terlalu sedikit ruang yang dimiliki media untuk menampungnya.  Pilihan untuk memilih mana yang layak tamping dan berapa ruang yang perlu disediakan untuknya sepenuhnya subyektif.

Selain ruang, juga ada keterbatasan kapasitas pemilik opini. Sayangnya, bursa opini banyak yang kemudian terjebak dalam dunia populer media. Kepatutan tayang atau muat seringkali ditentukan bukan oleh otentisitas gagasan. Maka, jika media adalah opini, kita harus bisa menakar kualitasnya. Kita hidup dalam luapan pendapat, tetapi anehnya miskin solusi. Mungkin kita kelebihan pengamat dan komentator tetapi miskin pemikir dan pengambil keputusan.

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Kamis, 03 September 2020

Narasi di Mimbar Publik

Narasi di Mimbar Publik[1] [2]

Edi Santoso

(Hal-40) Di sebuah sholat hari raya, seorang khatib tampil dengan selayaknya, setidaknya dalam hal berpakaian. Jubah putih, peci putih, dan sorban mengesankan bahwa yang bersangkutan memang telah siap memberikan khutbah. Namun, dengan segala hormat kita padanya, khotbah di hari istimewa itu ternyata miskin perhatian. Bahkan seusai acara ada jamaah yang berbisik,”Khotbah kok isinya keluh kesah semua.” Sebuah respon yang wajar, mengingat harapan banyak orang di hari kemenangan itu, mestinya lebih banyak muncul adalah motivasi dan semangat. Jika pun ada masalah, mestinya juga dilengkapi dengan tawaran solusi dan harapan-harapan yang menyemangati.



Hal serupa mungkin sering kita jumpai dalam panggung berbeda. Betapa banyak mimbar tetapi miskin isi. Mimbar adalah representasi dari segala ‘panggung’ dimana orang mendapat kesempatan untuk berkomunikasi dengan public. Tak hanya penceramah, tetapi juga ada guru, pengamat, atau pemimpin di sana. Sementara isi, merujuk pada narasi yang sedang dibawakannya, seperti gagasan atau perspektif yang ditawarkan.

Maka ruang-ruang komunikasi public itu seringkali menjadi lesu dan menjemukan. Ada pengamat yang berkomentar dengan dangkal, semata mensistematisasi gagasan  yang sejatinya tak lebih dari commonsense di forum-forum terhormat seperti seminar atau sarasehan. Ada guru atau dosen yang selalu ‘memutar kaset’ di kelas-kelas yang disambanginya. Apa yang disampaikan seolah sekadar dihafal, sayangnya tak pernah di-update, dan disampaikan terus-menerus, layaknya kaset tape recorder. Dan banyak pemimpin (Hal-41) yang mati gaya di depan pengikutnya. Bukannya memotivasi, sang pemimpin justru ‘curhat’ dan berkeluh kesah.

Mungkin tak ada yang salah dengan teknik pidatonya. Kata-katanya runtut, intonasinyapun naik turun berirama. Tapi, retorika memang tak semata soal atikulasi. Kekuatan retorika juga amat ditunjang oleh gagasan yang disampaikan. Itulah yang kita pelajari dari dari para orator besar. Benar, Soekarno memang dahsyat dalam merangkai kata, parallel dengan suara baritonnya yang menggelegar. Tapi lebih dari itu, pidato sang proklamator ini sungguh kaya isi.

Lihatlah bagaimana Soekarno menguraikan gagasan tentang kebangsaan saat peringatan HUT RI tahun 1963, betapa dalam dan berisi. “Dari sabang Sampai Merauke empat perkataan ini bukanlah sekedar rangkaian kata ilmu bumi. Dari Sabang Sampai Merauke bukanlah sekedar menggambarkan suatu geographs begrip. Dari Sabang Sampai Merauke bukanlah sekedar geographical entity. Ia adalah satu National entity. Ia adalah pula satu kesatuan kenegaraan, satu state entity yang bulat kuat. Ia adalah satu kesatuan tekad, kesatuan ideology….”

Bahkan Hitler, terlepas dari paham Chauvanismenya yang mengerikan, pidatonya sangat kaya akan gagasan. Jerman yang terpuruk secara ekonomi dan hancurnya harga diri bangsa akibat kekalahan perang Dunia I memang menjadi faktor khusus yang menjadi mobilisasi perang, tetapi lihatlah bagaimana Hitler mengkomunikasikan visinya yang radikal. Lewat orasinya, Hitler sukses dalam mencekoki rakyat tentang buruknya pemerintahan pada masa itu. Dia menjanjikan perubahan yang ambisius.

Maka, pada akhirnya retorika lebih dari rangkaian kata. Retorika adalah bagaimana kita membangun makna, berdasarkan argumentasi dan perspektif yang kuat. Kata tanpa gagasan adalah kesia-sian. Narasi tanpa solusi adalah ironi, sebagaimana yang diungkapkan filosof klasik Epicurus,”Kata-kata seorang filsuf yang tidak menawarkan penyembuhan bagi penderitaan manusia adalah kata-kata kosong dan sia-sia.”

Tak semua orang memiliki kesempatan berdiri di mimbar-mimbar publik. Dan tak semua orang datang duduk, karena daya tarik kita. Mungkin ada ritual atau system yang mengharuskan kita berdiri dan berbicara, sementara mereka mendengarkan. Maka, orang bijak yang selalu bisa menghargai keistimewaan ini, dengan mempertimbangkan setiap kata yang keluar. Ini bukan soal siapa kita, tetapi apa yang keluar dari kita. Karena kata-adalah alat hitung bagi orang-orang bijak, kata Thomas Hobbes, yang mereka lakukan tak lain adalah memperhitungkannya. *

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 260 Th.13, zulqidah 1432, 20 Oktober  2011

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Umpan Balik

Umpan Balik[1][2]

Edi Santoso

(Hal-50) Di sebuah pertemuan ibu-ibu, kegaduhan tak terhindarkan. “Ibu-ibu, tak ada gunanya saya bicara jika ramai begini. Tolong didengarkan ya! Sekali lagi, tolong didengarkan!” ujar seorang ibu yang kebetulan bertugas menyampaikan ‘kultum’. Kondisi hening sejenak tapi tak lama kemudian gaduh kembali. Petugas ‘kultum’ itu semakin tak nyaman, wajahnya kian mengkerut. Gertakannya yang biasa ampuh di ruang kelas, di depan murid-muridnya, kini tak lagi mempan. Inilah ‘tragedi kecil’ komunikasi dalam kelompok.



Peristiwa serupa pasti sering kita alami atau saksikan sehari-hari. Di rumah misalnya, betapa banyak orang tua yang nyaris frustasi ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya. Gertakan dan ancaman tak lagi bertuah di rumah. Anak-anak sekarang keluh seorang ibu, semakin mudah membantah. Bahkan presiden pun sampai marah, ketika berbicara di rapat cabinet, para menterinya justru pada ngomong sendiri. Apa yang salah?

Komunikasi adalah proses memberi dan menerima, mengirim dan menangkap, timbal balik. Kegaduhan dan ‘pembangkangan’ adalah sinyal sebagai respon apa yang telah kita beri. Para pakar komunikasi interpersonal menyebutnya sebagai umpan balik (feed back).  Komunikator yang baik selalu sukses membaca umpan balik dan meresponnya dengan tepat. Kenapa orang ngantuk ketika kita berbicara? Kenapa orang acuh-tak acuh dengan kata-kata kita?

Jadi, kunci pertamanya adalah sejauhmana kita bisa membaca atau memaknai umpan balik. Khalaya ramai bisa karena banyak sebab, mungkin karena suasana ruangan yang tak nyaman, kondisi fisik mereka yang tak mendukung (mungkin karena capai atau lapar), atau karena kegagalan kita menjadi (Hal-51)pembicara yang baik. Dan komunikator yang bijak selalu menyalahkan dirinya sebelum yang lain. Jadi jika ada yang tidak beres, maka pastilah ada yang salah dengan kita.

Dengan melokalisir kesalahan pada kita, semua menjadi tanggungjawab kita. Karena suasana bisa diciptakan, peralatan bisa diusahakan, dan berbagai teknis bisa dicoba. Selalu ada gangguan (noise) itu benar adanya, karena itu kita harus mengantisipasinya. Kita bisa ‘memaksa’ orang untuk mendengarkan, tapi bukan dengan gertakan atau instruksi. Inilah kunci kedua, yakni merespon umpan balik secara tepat.

Mengahadapi anak-anak misalnya, kita sendiri alpa bahwa mereka memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia kita. Kita lupa bahwa mereka, anak-anak normal, tak akan bisa diam tanpa aktivitas. Maka melarang mereka untuk melakukan suatu kegiatan tanpa member alternatif hanya aka membuat teriakan kita makin keras. “Nak, jangan nonton tv!” si anak mungkin menurut, tapi tak lama kemudian menyalakan playstation. “Naak, jangan main game!” Teriak kita makin kencang. Coba kita ganti instruksi, Nak, jalan-jalan yuk.” Anak-anak mungkin akan lebih menurut, dan lupa nonton televisi dan main game.

Jika hidup ini sejatinya adalah proses komunikasi terus-menerus, maka membaca dan merespon umpan balik memiliki dimensi yang sangat luas. Umpan balik itu adalah penanda, baik eksplisit maupun tidak, yang ada di sekitar kita. Ada alam dengan segala fenomenanya, ada dinamika sosial dengan berbagai gejalanya. Itulah yang dilakukan orang-orang di daerah rawan bencana. Dari pengalaman bertahun-tahun, sehingga menjadi kearifan lokal. Mereka tahu bagaimana alam memberikan umpan balik, misalnya saat bencana akan terjadi suhu yang berubah atau kemunculan hewan-hewan tertentu misalnya, adalah sebagian tanda yang sudah dikenali. Mereka tetap bertahan di daerah rawan, karena yakin bisa berkomunikasi dengan alam.

Para pemimpin semestinya peka pada segala penanda sosial, lebih dari angka-angka laporan lembaga resmi. Korupsi, pengangguran, kriminalitas, kemacetan, tingginya angka kecelakaan, dan semakin maraknya penyakit sosial adalah umpan balik yang mendesak respon secepatnya secara tepat dan proporsional. Merespon dengan cara pencitraan, pastilah bukan jawabannya. Khalifah Umar memberikan contoh bagaimana seharusnya membaca realitas sosial dengan cara melihat rakyatnya dari dekat. Maka, tanpa pengawal Umar berkeliling negeri, melihat secara langsung dan alami bagaimana hidup rakyat sesungguhnya. Lewat jalan inilah, Khalifah bisa mendengar langsung tangis janda dan anak-anak yatim yang hidup dalam kelaparan.

Pada akhirnya kepekaan dan kecerdasan membaca umpan balik adalah sebentuk kearifan hidup. orang yang arif adalah mereka yang peka dengan segala penanda itu dan kemudian menyikapinya dengan proporsional. Pemimpin yang arif adalah mereka yang selalu cermat menyimak suasana, cerdas membaca dan merespon umpan balik orang-orang yang dipimpinnya.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 259 Th.13, Dzulqaidah 1432, 06 Oktober  2011

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Diri Yang Otentik

Diri Yang Otentik[1] [2]

Edi Santoso

(Hal-50) Salah satu keistimewaan ibadah puasa adalah sifatnya yang privat. Ini urusan kita kita dengan Allah semata, karena orang tak akan tahu apakah kita puasa atau tidak. Kita bisa sembunyi saat makan atau minum dari pandangan orang, tapi tidak di hadapan Allah. Maka, seperti dikatakan banyak penceramah, puasa sejatinya adalah upaya kita untuk menjadi diri yang otentik, yang sejati.



Jika otentisitas diri adalah persoalan yang ada dalam lingkungan sosial, maka sangkut pautnya adalah praktik komunikasi kita. Lewat komunikasilah kita mempresentasikan diri di depan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, cara komunikasi sosial kita menunjukkan seberapa otentik kita sesungguhnya.

Baiklah kita mulai dari hakikat diri (self). Dalam kajian sosiologi dan komunikasi, self banyak dikupas dalam teori-teori populer semisal interaksionisme simbolik atau dramaturgi. Para teorisi sepakat bahwa self selalu berdimensi sosial. Singkatnya, diri kita sangat dipengaruhi lingkungan. The self, kata Herbert Mead, lebih dari sebuah internalisasi struktur budaya dan sosial, di mana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, di dalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsiran atas hal-hal tersebut.

Gagasan Cooley tentang ‘the looking glass self’ mungkin lebih memudahkan kita untuk memahami betapa  kita sangat dibentuk oleh situasi sosial. Dalam perilaku, kata Cooley, pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman (Hal-51) teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpengaruh olehnya.

Singkat kata, komunikasi kita baik verbal maupun nonverbal, misalnya tingkah laku, cara berpakaian, atau yang lainnya, lahir dari definisi situasi yang kita buat. Di sinilah, problem otentisitas itu muncul. Jika faktanya kita adalah produk sosial, bisakah kita menjadi otentik? Bisakah kita menjadi diri sendiri, diri yang asli?

Para ilmuwan menjelaskannya dengan logika bahasa ‘I’ dan ‘Me’ yang sama-sama merujuk makna ‘saya’. ‘I’ adalah sisi dari diri kita yang otentik, aktif, yang punya otoritas memilih dan bertindak sepihak. Sementara ‘Me’, merujuk pada diri kita yang labil, mudah dibentuk dipengaruhi dan pasif. Kedua-duanya ada dalam diri kita, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Jika kita dominan pada salah satunya, pasri menjadi masalah. Bayangkan apa jadinya jika kita selalu mengafirmasi keinginan atau komentar orang lain. Pasti serba salah, sebagaimana hikayat Nasrudin Hoja, dan anaknya yang hendak pergi ke pasar. Bapak naik keledai, anak jalan kaki, salah. Anak naik keledai, Bapak berjalan kaki, salah. Kedua-duanya naik keledaipun salah. Begitu pula ketika mereka berjalan kaki dan membiarkan keledainya berjalan tanpa beban, juga salah. Upaya menyenangkan semua orang merupakan contoh konkrit krisis otentisitas diri.

Pun ketika kita secara ekstrim mengabaikan semua yang datang dari luar, pasti juga membawa persoalan, karena kita menjadi diri yang asosial. Bayangkan apajadinya jika kita berperilaku seenaknya, berpakaian sesukanya, berbicara suka-suka kita, dengan alasan menjadi diri sendiri. Tentu bukan otentik seperti yang kita harapkan.

Menjadi otentik bukan berarti tanpa afiliasi, sebagaimana pelajaran puasa, karena pada akhirnya kita mengikuti  apa yang kita yakini benar. Dalam puasa kita berlatih melepaskan afiliasi pada orang dan memantapkan afiliasi pada Tuhan. Kita berlatih menjalin relasi khusus dengan Yang Maha Kuasa terlepas dari apa komentar orang. Kita berlatih menjadi diri sendiri. Diri yang terarahkan dengan benar.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 258 Th.13, Syawal 1433, 23 September  2011

[2] Diketik ulang Eddy Syahrizal

Rasa Ingin Tahu

Rasa Ingin Tahu[1][2]

Edi Santoso

(Hal-48) selalu ingin tahu.  Begitulah karakter dasar manusia. Karena selalu ingin tahu, hidup manusia berkembang, dengannya lahir beragam ilmu pengetahuan. Manusia terus tertantang untuk menjawab misteri yang ada dalam dirinya (mikrokosmos) maupun yang ada di luar dirinya (makrokosmos). Karena selalu ingin tahu, manusia tak pernah berhenti berpikir, bertanya dan mencoba, sehingga muncul berbagai observasi (penelitian) untuk memberikan jawaban-jawaban.



Namun, rasa ingin tahu tak melulu pada persoalan serius seputar hidup manusia, kadang juga pada masalah remeh-temeh misalnya tentang kehidupan orang lain. Orang lain itu seringkali bukan siapa-siapa, bukan sanak saudara kita. Mereka mungkin para pesohor, orang-orang yang bertabur popularitas. Kita bisa jadi tak punya urusan dengan mereka, tapi anehnya kita selalu ingin tahu tentang hidupnya, bahkan sampai pada hal-hal yang paling pribadi.

Jika rasa ingin tahu yang pertama melahirkan pengetahuan, yang kedua memunculkan pergunjingan. Repotnya, inilah yang diafirmasi media-media yang memburu sensasi. Temanya bisa apa saja, termasuk isu-isu politik atau gossip para pesohor. Faktanya, media-media semacam ini laris manis di pasaran. Larisnya beraneka acara gossip dalam dunia televisi menegaskan fakta ini.

Dalam jurnalisme, keiingintahuan khalayak dijawab dengan ekslusifitas liputan. Media massa berlomba untuk menjadi yang pertama, atau bahkan satu-satunya yang memiliki akses pada sumber informasi ‘penting.’ Tentu, ini semua soal uang, muara bagi media pada umumnya di era industrialiasasi pers. Semakin ekslusif narasumber, semakin diburu khalayak, apalagi jika menyangkut sebuah wilayah yang selama ini tertutup atau nyaris tak terjangkau masyarakat pada umumnya.

Itulah yang menjelaskan tragedy ‘News of The World’ di Inggris. Tabloid dengan tiras (Hal-49) 2,6 juta eksemplar itu terbukti melakukan penyadapan ribuan sambungan telepon pada berbagai strata sosial. Demi berita yang ekslusif, media milik Taipan Rupert Murdoch itu melakukan penyadapan dengan berbagai cara, termasuk dengan menyuap polisi setempat. Tentu, terbongkarnya kasus ini menuai kecaman luas. Beberapa bengara seperti Amerika dan Australia pun siaga, khawatir hal yang serupa juga dilakukan media-media di bawah News Corporation lainnya.

Murdoch, raja media itu, pamornya terjun bebas. Warga Amerika serikat itu tak lagi dikagumi atau disegani politisi dan public Inggris. Padahal, taipan kelahiran Australia itu merupakan aktor  dibalik panggung politik Inggris. Murdoch berpengaruh sejak era Pedana Menteri Margaret Thatcher hingga David Cameron, karena kedekatannya. Orang-orang kepercayaan Murdoch di perusahaan medianya pun satu persatu mengundurkan diri.

Rasa ingin tahu pula yang kini dimainkan oleh Nazarudin. Pada kasus korupsi yang pada umunya gelap, mantan bendahara Partai Demokrat itu menyibaknya, sedikit demi sedikit. Terlepas dari benar dan salahnya, Nazarudin memainkan emosi khalayak melalui pesan-pesan di Blackberry Messenger atau lewat suaranya di telepon melalui stasiun televisi. Kepentingan media dan Nazr bertemu, sehingga siapa yang lebih memanfaatkan siapa menjadi tidak jelas. Yang sudah jelas, rasa ingin tahu itu selalu menyeruak dalam perbincangan publik.

Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan rasa ingin tahu itu. Karena pada sebagian rasa ingin tahu itu ada control sosial. Faktanya, kita menyerahkan otoritas pada orang-orang terpilih, baik eksekutif maupun legislative, sehingga menjadi wajar, jika kita selalu ingin tahu sejauhmana kepercayaan kita dijalankan. Adalah hak kita untuk mengetahui segala informasi yang berkaitan dengan nasib kita sebagai warga Negara. Karena itu pula, ada Komisi Informasi Publik yang bertugas menjamin keterbukaan informasi. Singkatnya, pada ranah kepentingan publik, rasa ingin tahu itu relevan, bahkan wajib ada.

Lantas bagaimana jika itu menyangkut kehidupan pribadi orang? Cara paling mudah untuk menjawabnya adalah membayangkan jika kita adalah mereka. Bayangkan, jika hidup kita selalu diawasi, termasuk dalam urusan yang sangat pribadi. Betapa menjijikkan para ‘mata-mata’ itu. Media yang ‘merampok’ privasi jelas tak bisa dibenarkan, tetapi semua juga berawal karena kita, khalayak yang gemar menikmati sensasi.

Mari kita dudukkan ‘rasa ingin tahu’ pada tempatnya. Rasa ingin tahu yang melahirkan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan solusi hidup, bukan pertanyaan yang justru membawa masalah. Pertanyaan sebagaimana dimaksudkan dalam ungkapan Albert Einstein yang populer, “The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing. One cannot help be in awe when he contemplates the mysteries of eternity, of life, the marvelous structure of reality. It is enough if one tries merely to comprehend a little of this mystery every day. Never lose a holy curiosity.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 257 Th.13, Ramadhan 1432, 11 Agustus  2011

[2] Diketik Ulang: Eddy Syahrizal