Sabtu, 05 September 2020

YAKINLAH ORANG LAIN ADA

 YAKINLAH ORANG LAIN ADA[1][2][3]

(Hal-40) Banyak alasan untuk berkomunikasi. Salah satunya, untuk menunjukkan keberadaan diri (eksistensi). Perasaan ‘ada’ itu penting, karena itu yang menjadikan orang relevan untuk terus hidup. Sebuah keberartian di tengah-tengah kehidupan sosial. Melalui komunikasi, orang ingin menegaskan ‘Saya ada dan berarti’.



Itulah kenapa orang selalu mencari kanal komunikasi dalam berbagai bentuknya, terlepas dari yang bersangkutan bertipe extrovert atau introvert. Ada panggung terbuka yang menjadi incaran penggemar popularitas, juga tersedia ruang-ruang impersonal yang lebih ramah pada ‘para pemalu’. Hasrat komunikasi untuk sekadar eksis bahkan cenderung mengarah pada gejala pemuasan diri yang berlebihan (narsis).

Namun, karena alasan eksistensi pula, banyak orang merasa tersakiti oleh komunikasi. Karena. Komunikasi tak mengafirmasi kehadirannya. Bayangkan, anda berada dalam sebuah forum kecil yang semestinya terasa hangat dan dekat, tetapi orang-orang yang hadir atau pembicara utamanya tak menyapa anda atau bicara sekadarnya. Anda hadir tapi seolah-olah absen. Betapa menyesakkannya.

Lebih terasa lagi jika itu terjadi pada konteks komunikasi antarpribadi. Dua orang bertemu atau berpapasan. Salah seorang merasa dirinya telah dikenal oleh yang lainnya. Tetapi dia tak mendapatkan sapaan, bahkan senyuman pun tidak. Apalagi yang bersangkutan merasa sangat layak untuk sekadar mendapat anggukan penghormatan. Entah karena jabatan, status sosial atau karena pertimbangan umur. Terasa sakit, karena merasa keberadaaannya terabaikan.

(Hal-41) Harapan pengakuan eksistensi sangan berdimensi budaya. Pada masyarakat bertipikal komunal, pengakuan eksistensi orang seringkali terkesan artifisial. Nampak remeh, tapi penting. Bernuansa basa-basi, tetapi kalau tidak ada bisa menimbulkan masalah. Mungkin sekadar senyum, tetapi itu sangat berarti. Ada konvensi kultural yang menjelaskan bentuk-bentuk pengakuan eksistensi diri.

Setiap orang membutuhkan pengakuan eksistensi, meski dalam bentuk yang berbeda. Orangtua butuh pernyataan penghormatan dari yang lebih muda. Anak-anak muda membutuhkan pengakuan dari para tetua. Seorang suami ingin dihormati, sementara sang istri mungkin lebih membutuhkan kasih sayang dan perlindungan.

Dalam relasi orang-orang yang merasa dekat, pengakuan eksistensi harus nampak lebih verbal. Ungkapan-ungkapan konfirmatif akan banyak membantu. Ada orang yang menceritakan masalahnya kepada anda. Mungkin belum ada solusi, tetapi ungkapan, “Aku bisa merasakan apa yang kamu alami, aku turut prihatin” bisa menentramkan hatinya. Setidak-tidaknya eksistensinya sebagai seorang sahabat tetap terakui. Coba bandingkan kalau yang keluar justru ungkapan dekomfirmatif seperti,”Maaf aku juga banyak masalah, jangan membuatku tambah pusing” atau itu masalahmu, jangan bawa-bawa aku”.

Memang, komunikasi lebih merupakan seni menata rasa. Seorang pemimpin selalu mempertaruhkan kredibilitasnya, bahkan dalam persoalan yang nampaknya sepele, soal perasaan orang-orang yang dipimpinnya. Jika ada sekian orang yang dipimpin, maka ada sejumlah itu pula ragam rasa yang terlibat. Ada tuntutan untuk menghadirkan komunikasi yang peka dan bela rasa (compassion).

Katakanlah anda seorang pemimpin sebuah kelompok kecil. Ada saat anda harus mendengarkan keluh kesah anggota kelompok. Suatu waktu, para anggota itu melaporkan kondisinya masing-masing semacam curhat bersama. Tiba giliran salah seorang, dengan suatu alasan, anda ijin keluar forum dan merasa cukup dengan mengatakan,”diteruskan saja laporannya, yang lain bisa mendengarkan. Saya ada perlu sebentar.” Nampak sepele, tapi bagi anggota yang bersangkutan itu bisa menjadi masalah laten. Dia merasa keberadaannya sebagai anggota kelompok tak cukup diakui. Rasa hormatnya pada pimpinan pun terciderai.

Ini adalah pelajaran tentang komunikasi empatik. Bahkan ketika orang lain nampak tak punya masalah pun kita harus empati. Setidaknya empati bahwa ia ada. Kita harus yakinkan pada yang bersangkutan, bahwa dia ada, dan kita mengakuinya. Mengakui secara verbal dengan kata-kata ataupun secara noverbal berupa senyum atau anggukan kepala.

Membuat nyaman seseorang berarti telah menyelesaikan satu persoalan dalam komunikasi. Jika kita hargai orang lain, dia akan menghormati kita. Jika kita mengakui keberadaan orang, diapun akan apresiatif pada kita. Kita akan memperoleh atas apa yang kita lakukan.

( Masjid Kampus Arfaunnas UR, Selasa, 20 April 2010, 17:33:48 WIB)



 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 226 Th.11, Jumadil Awal 1431 H/ 22 April 2010 M. Hal. 40-41

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

19 BERAWAL DARI MATA

19 BERAWAL DARI MATA[1][2][3]

( Hal-40) Persepsi akan memulai bagaimana gaya komunikasi kita. Ketika indera, mata, telinga, hidung dan kulit menangkap stimuli. Kemudian kita membuat kesimpulan: baik-buruk, menaik-membosankan, bersahabat-bermusuhan, prospektif-hopeless. Ujungnya kita menentukan sikap komunikasi: konfrontatif-afirmatif, empatik-egois, atau kritis-permisif.



Persoalannya nampak sederhana. Semua berawal dari mata. Tapi disinilah akan dipilih sebuah sikap. Suatu waktu gaya bicara kita meledak-ledak penuh emosi, lain kesempatan intonasinya sungguh datar, nyaris tanpa semangat. Pada suatu ketika kita menikmati monolog, mendominasi seluruh pembicaraan, tapi pada saat di mana kita mewajibkan hadirnya dialog, saling berbagi informasi.

Mata tidak berdusta, tetapi pikiran mungkin salah menganalisa. Disinilah kemungkinan bias terjadi. Kita sering salah menilai orang karena penampilannya.  Ini adalah ekses berpikir indeksial, yakni memakai sebuah tanda dengan mengaitkannya dengan sesuatu yang seolah tak terpisah. Misalnya berbusana bagus identik dengan orang kaya tau berpendidikan, berdasi adalah eksekutif, berkacamata biasanya orang cerdas, atau cantik selalu orang baik.

Mata tidak salah, tetapi kesimpulan bisa membawa masalah. Maka, ada baiknya kita merunut sebab biasnya sebuah kesimpulan. Persepsi, di mana kita mengartikan sebuah tanda, kata Lyn Turner, setidaknya dipengaruhi oleh lima faktor yaitu, budaya, gender, fisik, teknologi, dan konsep diri. Budaya biasanya terkait dengan judgment moral atau etik. Orang Jawa misalnya, akan memaknai kesopanan (Hal-41) dari intonasi bicara. Akan dianggap sopan, jika intonasi kita tidak lebih tinggi dari lawan bicara. Itulah kenapa orang Jawa sering salah sangka terhadap orang Batak.

Laki-laki dan perempuan, menurut hasil penelitian, juga memiliki kecendrungan persepsi yang berbeda. Ada cara pandang feminim dan maskulin. Feminim sangat mengapresiasi penampilan, menghargai sopan santun, menyukai empati. Sedangkan maskulin, meskipun suka dengan penampilan, tapi lebih mengutamakan fungsi. Ini semata soal konstruksi sosial yang diterima sejak usia kanak-kanak.

Persepsi tidak datang dari langit. Penilaian-penilaian kita akan dipengaruhi pengalaman. Inilah kenapa, faktor fisik seperti usia mempengaruhi persepsi. Penilaian-penilaian kita akan dipengaruhi pengalaman. Inilah kenapa, faktor fisik seperti usia mempengaruhi persepsi. Rentang usia mewakili bidang pengalaman. Maka, pandangan terus berubah seiring perjalan waktu. Semakin tua, semakin bijak.

Hubungan persepsi dan teknologi bisa dijelaskan oleh ungkapan populer McLuhan,’medium is message’. Kita memiliki persepsi khusus media-media berbasis teknologi tertentu. Televisi misalnya, sudah melekat padanya image sebagai piranti hiburan. Maka apapun isi acaranya, seringkali kita tangkap sebagai hiburan belaka.  

Sementara itu, pengaruh konsep diri pada persepsi akan lebih mudah disadari. Setiap orang memiliki keyakinan, pandangan, atau penilaian terhadap dirinya sendiri. Jika merasa diri kita sebagai orang sabar, pengertian, maka kita akan cenderung memiliki persepsi positif pada orang lain, siapapun orangnya, dalam kondisi apapun. Jika kita merasa sebagai orang bijak, maka mestinya tidak buru-buru membuat kesimpulan, tak cepat reaktif menanggapi stimuli.

Jika persepsi merupakan fondasi komunikasi antar pribadi, maka mispersepsi (perceptual error) adalah musuh kita bersama. Salah satu penyakit manusia adalah terlalu gegabah menyimpulkan sesuatu. Orang kata Friz Heider, seringkali menjadi naive psycologist, kita suka naif menerka-nerka orang lain beserta kondisinya. Sayangnya kita tidak selalu cermat, terutama dalam memahami konteks dan alasan prilaku orang. Misalnya ketika suatu waktu kita berpapasan dengan orang yang kita kenal, tapi tidak ada senyum seperti biasanya, belum tentu yang bersangkutan punya masalah dengan kita.

Maka, berbaik sangka itu lebih baik. Lihatlah berapa banyak korban prasangka buruk. Jika kepercayaan tidak lagi ada, terbayang betapa keringnya komunikasi suami-istri. Jika rasa hormat itu hilang, betapa tak pantasnya komunikasi guru-murid. Jika kredibilitas rendah, betapa meresahkannya komunikasi antara pemimpin dan bawahannya.

Realitas ini mestinya menjadi pelajaran buat kita sebagai objek persepsi. Jika kita bisa mengurangi kemungkinan mispersepsi, kenapa tidak? Tak ada salahnya berpenampilan baik, bertutur kata sopan dan tak hemat senyum, jika ini adalah prasyarat munculnya persepsi positif. Dengan begitu kita kita bisa berharap, komunikasi antar pribadi kita lebih hangat, impresif dan efektif.

( Sekretariat Masjid Arfaunnas, Universitas Riau, Jum’at, 30 April 2010, 17:08:25 WIB)



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 223 Th. 11, Rabiul Awwal 1431 H, 11 Maret 2010.

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

18 BUKAN OBAT YANG MUJARAB

 

18 BUKAN OBAT YANG MUJARAB[1][2][3]

(Hal-48) Jika setiap interaksi melibatkan komunikasi, maka aktivitas transaksi transaksi pesan ini ada di mana-mana (omnipresence). Nyaris tak ada aktivitas manusia yang tak melibatkan komunikasi. Tak heran jika banyak masalah yang biangnya adalah komunikasi. Itulah kenapa ‘miss komunikasi’ sedemikian popular. Tapi apakah setiap masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi? Nanti dulu!



Memang banyak masalah yang bersumber dari kegagalan komunikasi, mulai dari keluarga sampai negara. Juga benar, terutama di era pencitraan (imagologi) saat ini, kalau kelihaian komunikasi banyak menjanjikan kesuksesan. Mulai dari sales pulpen sampai kandidat presiden mengandalkan kemampuan ini. Tapi apakah komunikasi merupakan obat mujarab (panasae) untuk segala masalah? Belum tentu!

Komunikasi lebih merupakan piranti, bukan subtansi. Sarana dan bukan tujuan. Karenanya, komunikasi seringkali menjadi solusi hanya pada bagian awal saja, tidak pada bagian selanjutnya. Seorang pemimpin mungkin memperoleh legitimasi melalui kesuksesan membangun citra pada awalnya. Tetapi pada bagian selanjutnya adalah pembuktian janji-janji. Retorika tidak akan menggantikan kinerja. Persuasi pada akhirnya akan tumpul tanpa prestasi.

Sejarah mencatat kehadiran orang-orang besar yang lihai berkomunikasi. Penampilannya memikat, retorikanya memukau, mampu mempersuasi jutaan orang. Kemampuan negosiasinya bahkan melewati batas-batas negara. Tetapi nasibnya kemudian terbukti tak mampu diselamatkan oleh jargon-jargonnya. Kekuasaannya justru tumbang oleh kata-katanya sendiri.

Sebagai piranti, komunikasi membantu kita dalam interaksi. Kita bisa mengenal dan dikenal orang. Kita bisa menyampaikan dan menangkap gagasan. Kita pun bisa (Hal-49) menyebarkan atau menyerap tata nilai melalui komunikasi. Tetapi kualitas interaksi itu selanjutnya bergantung pada banyak hal. Setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Masalah yang kadang membutuhkan kehadiran orang lain. Masalah yang seringkali tidak selesai dengan senyum dan kata-kata sopan.

Salah satu rahasia sukses komunikasi adalah peluangnya dalam membangun impresi. Tetapi kesan hanya akan bertahan melalui tindakan. Seperti rayuan yang ampuh menundukkan hati. Laksana puisi dan syair yang mengaduk-aduk rasa. Tetapi hidup memiliki rasionalisasi sendiri. Kata-kata tidak cukup mengobati rasa lapar. Nyanyian tidak serta merta memberikan rasa aman. Menguaplah segala narasi indah, terkalahkan tuntutan hidup yang paling asasi.

Komunikasi mirip sebuah penghantar yang menghubungkan banyak orang. Semakin kecil hambatan semakin baik kualitas sebuah penghantar. Begitulah logika komunikasi efektif. Tetapi koneksi antar pribadi lebih merupakan infrastruktur kehidupan manusia secara komunal. Hidup jauh lebih rumit dari sekadar interkoneksi. Lebih kompleks dari sekadar keterhubungan.

Karena itulah, banyak yang mulai ragu pada pepatah lama orang Jawa: mangan ora mangan kumpul (makan tidak makan yang penting bersama-sama). Sulit membayangkan sebuah kebersamaan sementara perut kita lapar. Tuntutan hidup yang keras telah merubah pepatah itu menjadi ‘kumpul ora kumpul mangan’ (bersama-sama atau tidak yang penting makan).

Inilah barangkali kenapa demokrasi banyak digugat, setidaknya di negeri ini. Praktik demokrasi hanya mendorong riuhnya orang berwacana, tetapi tak kunjung melahirkan kesejahteraan. Dimana-mana orang berbicara, tetapi pada saat yang sama, di segala penjuru negeri masih banyak yang susah mendapatkan nasi. Semua berbicara, tetapi sedikit yang bekerja. Aneh memang, masih juga kita belum beranjak dari euforia kebebasan. Ironisnya kebebasan itu baru dimaknai bebas bicara, apa saja.

Demokratisasi di negeri ini nampaknya tidak ada yang mengalahkan. Tentu, tak sedikit buah positif dari fenomena ini. Orang tak lagi takut bersuara beda. Juga banyak saluran untuk menyampaikan gagasan. Tetapi kita berhenti pada kebebasan dan lupa bekerja. Kita lupa bahwa bukan ini tujuan utama reformasi. Kita tak sepenuhnya sadar bahwa komunikasi bukan obat mujarab untuk segala persoalan.

Inilah saatnya kita berintropeksi: Apa setelah komunikasi? Setelah intekoneksi, setelah kebebasan berbicara, setelah citra positif, setelah harmoni? Ada saatnya berbicara, ada waktunya bekerja. Setelah komunikasi menyelesaikan banyak hambatan, giliran kemauan baik untuk menyelesaikan masalah-masalah lainnya. Kita tentu tidak hendak menggantikan suasana konstruktif sebuah interaksi, tetapi mengingatkan, untuk menjadikannya sebagai modal penyelesaian agenda selanjutnya. Pada akhirnya kita berharap, kehadiran masyarakat kominikatif akan paralel dengan munculnya masyarakat yang sejahtera. Semoga!

(Bangkinang, Selasa, 21 April 2010, 10:00:44 WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 222 Th.11, Rabiul Awal 1431 H/ 25 Februari  2010, hal. 76-78

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Jumat, 04 September 2020

16 TERUS TERANG TAK SELALU TERANG TERUS

 

16 TERUS TERANG TAK SELALU TERANG TERUS[1][2][3]

 

(Hal-46) Benar keterusterangan atau keterbukaan (self disclosure) adalah modal penting dalam membangun hubungan antarpersona. Setidaknya itulah kesimpulan para teorisi psikologi maupun komunikasi. Jika seseorang membuka diri, teman komunikasinya akan melakukan yang sama. Semakin terbuka, makin hangat dan akrab. Tapi ceritanya menjadi lain jika keterbukaan ini kebablasan. Jika keterusterangan berarti membuka segalanya, bahkan termasuk aib sekalipun.



Ada gejala salah kaprah dalam memaknai keterusterangan, setidaknya bagi sebagian orang. ‘Terusterang’ dimaknai menceritakan apa saja yang dilakukan atau dirasakannya pada orang-orang tertentu. Bahkan ada perasaan mulia untuk melakukannya, terutama pada pasangannya. Alkisah, sepasang suami istri membuat komitmen bersama untuk jujur, menceritakan segala tindakan yang pernah dilakukan meski itu sebuah keburukan, termasuk masa lalu sebelum mereka menikah. Awalnya mereka membanggakan tradisi itu:”Kami adalah pasangan yang paling fair di dunia ini.” Anehnya seiring dengan perjalanan waktu, hubungan mereka bukan tambah hangat, tetapi sebaliknya. Deretan aib yang mereka beberkan satu sama lain pada akhirnya menjadi ganjalan hubungan itu.

Ini bukan ajaran untuk berbohong, tetapi seni mengendalikan omongan. Ada bagian yang harus disampaikan, tetapi ada juga bagian yang lebih baik untuk ditahan. Ekspresif  tidak harus eksesif. Terbuka bukan berarti bicara apa saja. Komunikasi pada akhirnya merupakan upaya mempertimbangkan dampak perbincangan: apa konstruktif atau sebaliknya?

Itu pulalah yang ditekankan agama. Keselamatan jiwa, perdamaian dan keutuhan keluarga adalah segalanya. Komunikasi tak boleh merusaknya, tapi justru harus membangunnya. Karena itulah, dalam kondisi tertentu, bahkan berbohong pun diperbolehkan, demi nyawa dan keluarga, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadist:”Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsoh (Keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami kepada istrinya, dan pembicaraan istri kepada suaminya.”

Ini bukan ajakan untuk menutup diri, tetapi seni untuk memahami orang. Bahwa ada perasaan orang rentan. Bahwa ada tata nilai yang akan menseleksi informasi: mana yang bisa diterima, mana yang tidak. Perbincangan meski atas nama keterusterangan, jika tak tepat suasana dan konteksnya, hanya akan menimbulkan luka. Bahkan untuk masalah yang (Hal-47) nampak sepele.

Tersebutlah seorang pemuda yang akan melangsungkan pernikahan, mengirimkan sebuah pesan singkat (sms) pada calon istrinya,”Semangat saya untuk menikah tak sebesar saat masih mahasiswa dulu.” Pesan ini mungkin menggambarkan kejujuran perasaan, tetapi cukuplah membuat si penerima gundah gulana. Bagaimana tidak, setelah semua proses perkenalan dan lamaran, bahkan setelah perempuan itu menolak pinangan laki-laki lain, sang terpilih justru melemahkan semangatnya. Terlepas dari  maksud sesungguhnya dari pesan itu, kasus ini menandaskan sebuah pelajaran: bahwa banyak hal yang tak perlu diucapkan secara verbal.

Tata nilai menentukan penerimaan kita pada sebuah informasi. Apresiasi kita pada sebuah kejujuran seringkali tidak sepadan dengan penerimaan kita pada realitas kesalahan orang. Kita tentu senang pasangan kita jujur, tetapi apakah kita bisa menerima sewajarnya setelah yang bersangkutan membeberkan segala aibnya? Siap jugakah memahami isi hati dia yang sesungguhnya? Tidak mudah mengabaikan aib, apalagi bagi kita yang sering menilai orang dengan kacamata ‘kesempurnaan’

Sesungguhnya absurd ide sebuah reality show yang menawarkan solusi bagi pasangan bermasalah. Setelah semua pihak membeberkan aib masing-masing, setelah semua mengeluarkan isi hati yang sesungguhnya, sehingga yang muncul caci maki dan saling menjelekkan, masihkah mereka berharap solusi? Bukannya memadamkan api, tetapi justru menambahkan minyak pada api.

Berterus-terang tak berarti memamerkan aib kita. Cukuplah hadist riwayat Abu Hurairah berikut menjadi renungan:

“Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:’Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seseorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu ia berkata (pada temannya): ‘Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia menyingkap tirai penutup Allah darinya.

Keterusterangan yang tidak pada tempatnya hanya akan merusak alur drama kehidupan yang semestinya indah. Kalau kita bisa memilih peran yang protagonis, kenapa harus memilih antagonis? Kalau kita bisa menyenangkan orang, kenapa pilih yang menyusahkannya? Kalau kita mampu membesarkan hati orang, kenapa justru kita jatuhkan? Semoga hidup kita menjadi terang terus.

( Sekretariat Masjid Arfaunnas, Universitas Riau, Ahad, 02 Mei 2010, 04:45:17WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 220 Th.11, Shafar 1431, 28 Januari 2010

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Era Kolaborasi

Era Kolaborasi[1]

Edi Santoso 

(Hal-44) Perubahan teknologi komunikasi membawa perubahan mendasar, tak hanya cara kita berkomunikasi, tetapi juga dalam bidang lain, seperti dalam masalah sosial atau ekonomi. Jika Karl Marx mengandaikan perubahan struktur ekonomi sebagai faktor determinan dalam sejarah manusia, maka beberapa pakar menyebut perubahan teknologi komunikasi juga membawa dampak yang kurang lebih sama. Ketika teknologi membuat kita terkoneksi secara global misalnya, banyak perubahan dalam hidup kita sangat terasa.



Salah satu yang merasakan dampaknya adalah dunia ekonomi dan bisnis. Beradaptasi dengan tren teknologi atau akan perlahan mati. Itulah yang dirasakan oleh beberapa perusahaan besar, seperti Goldcorp Inc, sebuah perusahaan tambang dari Kanada. Investasi jor-joran sang CEO, Rob McEwen, tak kunjung membuahkan hasil. Para geolog perusahaan itu nyaris frustasi, sampai McEwen punya ‘ide gila’. Terinspirasi oleh pengembangan software open source, melalui internet, McEwen membuka tantangan pada siapapun untuk ikut berburu emas.

Data-data pertambangan yang sebelumnya sangat rahasia pun dibuka pada public. “Kami tak hanya memberikan data ekslusif, tetapi juga fundamental,” kata McEwen. Sebuah keputusan berani dan berisiko. Tak hanya para geolog yang terlibat, tetapi juga mahasiswa pasca sarjana, konsultan, matematikawan, anggota militer, dan lain sebagainya. Hasilnya sungguh mengejutkan. Sejak kontes dimulai ditemukan 8 juta ounce emas. McEwen menyimpulkan, kolaborasi telah memangkas waktu eksplorasi sekatar 2-3 tahun.

Dulu, kolaborasi yang kita kenal sangat terbatas lingkupnya, misalnya kolaborasi diantara keluarga, teman atau rekan kerja. Kalaupun ada yang mendekati angka missal, itu terjadi pada momen khusus, misalnya dalam isu-isu politik atau peperangan. Sekarang kondisinya berubah. Penulis buku ‘Wikinomics’, Don Tapscott dan Anthony. D. William, mengatakan, pertumbuhan aksetabilitas teknologi informasi telah menghasilkan alat bantu yang diperlukan bagi kolaborasi, penciptaan nilai, dan kompetisi ‘di ujung jari-jemari’ semua orang. Inilah yang membebaskan orang untuk ber (Hal-45) partisipasi dalam inovasi dan penciptaan kemakmuran di sektor ekonomi.

Kolaborasi tak selalu berorientasi ekonomi atau komersial, seperti dukungan para netizen pada para ilmuwan di Olson Laboratory yang mengembangkan obat penangkal AIDS. Para ilmuwan tersebut menggunakan sebuah komputer super untuk mengevaluasi prospek obat-obatan anti AIDS. Komputer ini merupakan bagian dari World Community Grid, sebuah jaringan global, di mana jutaan pengguna komputer personal menyumbangkan daya ekstra melalui internet untuk membentuk salah satu platform komputer paling kuat di dunia.

Semangat kolabarasi itu pula yang mengantar runtuhnya beberapa rezim tiran di Timur Tengah. Hal serupa juga terjadi di negeri kita untuk beberapa isu sosial politik, meski baru sebatas menggerakkan kedermawanan atau kepedulian sosial. Aksi-aksi kolektif tersebut adalah cermin bahwa kita bisa dipersatukan semangat kolaboratif untuk sebuah kepentingan bersama dengan capaian-capaian luar biasa.

Semangat kolaborasi tersebut sekaligus menjelaskan karakter dasar manusia sebagai makhluk sosial. Kita tidak mungkin bertahan di muka bumi ini tanpa ada kerjasama dengan manusia lainnya. Teknologi kemudian menjadi katalisatornya, dengan kemampuannya melipatgandakan rentang kolaborasi. Maka hokum jumlah berlaku, bahwa yang lebih banyak lebih baik dari yang sedikit. Semakin banyak yang terlibat, semakin banyak yang bisa berkontribusi. Semakin banyak yang bergabung, semakin beruntung.

Di era kolaborasi, tak ada lagi ekslusifitas informasi, sebagaimana Wikipedia yang meruntuhkan ‘kesombongan’ ensiklopedia-ensiklopedia kelas dunia. Melalui kolaborasi, Wikipedia kini setidaknya berlipatkali lebih besar dari Encyclopedia Britannica. Maka, kunci sukses tak lagi bermakna siapa yang memegang informasi, tetapi siapa yang bisa memanfaatkan kemelimpahan informasi.

Tapscott dan William mengatakan, sebuah perubahan telah menggiring kita pada sebuah dunia di mana pengetahuan, kekuatan, dan kemampuan produktif menyebar lebih luas ketimbang sebelumnya. Dunia di mana penciptaan nilai berlangsung cepat, lentur dan selalu mengacau. Dunia di mana hanya mereka yang terkoneksi saja yang dapat bertahan. Peralihan kekuasaan sedang berlangsung dan peraturan bisnis baru yang ketat mulai muncul: Raihlah kolaborasi baru atau binasa.***

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 286 Th.14, Muharram 1434, 29 November 2013

(Bukan) Akhir Media Cetak

(Bukan) Akhir Media Cetak[1][2]

Edi Santoso 

(Hal-50) Newsweek tentu bukan media cetak besar pertama yang gulung tikar. Tetapi pernyataan Pemimpin Redaksi Newsweek Tina Brown bahwa saingan majalah Time ini tidak akan terbit lagi sangat mengejutkan, sampai-sampai ada yang beranggapan inilah penanda bahwa kematian media cetak sudah di depan mata. Banyak yang mulai yakin dengan tesis Marshal Mcluhan (1967) bahwa era tanpa kertas (paperless) akan menandai perjalanan sejarah manusia.



Bahwa orang terkejut, sangatlah wajar, mengingat reputasi Newsweek selama delapan dekade terakhir. Didirikan pada 1933 oleh Thomas JC Martyn, mantan editor Time, majalah Newsweek pernah menjadi majalah yang ditunggu-tunggu bersama. Warga rela menunggu selama seminggu hanya untuk menunggu apa gerangan yang akan disajikan Newsweek. Pelanggan majalah ini sempat sampai 3,15 juta orang pada puncaknya tahun 2000. Bisa dibilang, Time  dan Newsweek adalah dua ikon majalah berskala internasional.

Pertanyaan mudahnya, jika Newsweek saja tak tahan dengan tantangan pasar, bagaimana dengan majalah-majalah lain? Tentu saja tidak sesederhana itu untuk menjelaskan realitas media cetak yang sesungguhnya. Brown sendiri menjelaskan transformasi Newsweek yang sampai terakhir terbit masih memiliki 1,5 juta pelanggan, dari cetak menjadi digital, lebih merupakan strategi bisnis. Pembaca Newsweek tidak hengkang sama sekali, tetapi berkurang.

Presiden The Association of Magazine Media, Marry Berner, mengatakan keputusan Newsweek berubah menjadi digital tak merefleksikan kesehatan media cetak. “Industri ini belum masuk toilet. Ini tidak benar. Keinginan membaca majalah versi cetak belum enyah,” ujar Marry. Editor majalah Time, Rick Stengel, mengatakan belum akan mengikuti langkah Newsweek. “Edisi cetak tetap andalan bagi grup Time. Sejak lama kami tidak melihat Newsweek sebagai (Hal-51) pesaing utama dan tunggal, kami melihat banyak penerbitan lain sebagai pesaing sehingga kami terus berjuang memperbaiki diri dan tampil mengesankan,” ujar dia.

Pendapat mereka yang optimis didukung oleh beberapa fakta yang menunjukkan bahwa industry media cetak sebetulnya relatif stabil. Menurut MediaFinder.com, sejak Januari hingga Agustus 2012, ada 181 majalah edisi cetak di Amerika yang terbit da hanya 61 diantaranya yang gulung tikar. Majalah yang bertema bisnis termasuk stabil. The Economist misalnya, oplahnya justru meningkat, dari 884.000 eksemplar pertahun menjadi 1,6 juta eksemplar tahun ini.

Di Indonesia sendiri, menurut penelitian Merlyna Lim (2011), Media cetak memang mengalami penurunan, tapi tak selayak penurunan khalayak Radio. Sementara televise, masih mendominasi, dan tentu saja media online meningkat signifikan. Menarikanya dalam penelitian itu, media cetak (Koran) masih dianggap masyarakat sumber berita paling penting. Media cetak, kata Lim, tetaplah berada di jantung landskap isi media, khususnya dalam produksi berita. David T Hill menambahkan, meski jangkauannya kalah oleh media elektronik, media cetak tetap mendominasi dalam mendefinisikan apa itu berita.

Sebuah kajian yang dilakukan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS) pun menyimpulkan, media cetak di Indonesia akan tetap eksis, setidaknya sampai 30 tahun ke depan. Ada yang tidak tergantikan dari media cetak, terutama bagi generasi yang mengenal media cetak terlebih dulu sebelum media online (immigrant digital). Sensasi memegang kertas, membuka lembar-lembarnya, aroma kertas, atau kebiasaan menenteng dan mendokumentasikannya telah menjadi bagian dari budaya kita berinteraksi dengan media.

Sejarah juga membuktikan, kehadiran media baru tidak serta merta menggantikan media lama. Televisi misalnya, kemunculannya dengan daya impresinya yang mengakomodir sisi audio dan visual sekaligus kemudian menggusur radio (yang hanya mengandalkan aspek audio) sama sekali. Radio tetap bertahan, karena ada karakternya yang tak tergantikan, sebagaimana juga dalam media cetak.

Namun, ‘gugurnya’ beberapa perusahaan surat kabar atau majalah harus menjadi pelajaran penting, bahwa pasar media telah berubah. Suka atau tidak, kemunculan media baru membawa dampak signifikan. Kepercayaan khalayak yang tinggi pada media cetak adalah modal penting untuk bertahan. Media cetak akan tetap menjadi pilihan di tengah euphoria dunia maya, terutama jika bisa mengisi celah-celah yang belum terjawab tuntas oleh media online, misalnya kedalaman dan keterpercayaan. Tak kalah pentingnya, bagaimana media cetak mampu mengelola sensasi berinteraksi dengan kertas, sehingga menjadi pengalaman yang tak tergantikan.  

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Kebaikan Kata Untuk Kita

 Kebaikan Kata Untuk Kita[1][2]

Edi Santoso

(Hal-44) Saat berkomunikasi, kata-kata yang kita gunakan bukan semata-mata untuk orang lain, tetapi lebih-lebih adalah untuk kita sendiri. Melalui serangkaian penelitian, Raymond Birdwhistle pada tahun 1970, membuktikan bahwa kata-kata yang kita ucapkan kepada orang lain hanya mewakili 7 persen dari hasil yang kita dapatkan dari komunikasi. Tetapi, kata-kata yang kita ucapkan sendiri, menghasilkan 100 persen hasil yang kita dapatkan dalam hidup kita.



Para ahli neuro linguistic banyak menjelaskan bagaimana hubungan kata, otak, dan perilaku kita. Semua perilaku dikendalikan oleh otak (pikiran), sementara otak bekerja melalui instruksi kata-kata kita sendiri. Di sinilah kita akan bertemu dengan kata-kata yang memiliki daya getar berbeda. Ada kata-kata yang berenergi tinggi dan rendah. Kata-kata yang berenergi tinggi yang berdaya kuat seperti gembira, sukses, atau cinta, bergetar dengan getaran yang lebih tinggi dan cepat, sehingga meningkatkan perasaan senang kita.

Sementara itu, kata-kata berenergi rendah, terutama kata-kata yang berkaitan dengan emosi negative seperti kesedihan atau bersalah, beresonansi pada frekuensi yang lebih rendah. Kata-kata ini menyertai pikiran dan perasaan berenergi rendah yang biasanya berupa keyakinan dan model-model bawah sadar yang kita pegang untuk diri kita sendiri dan dunia. Keyakinan ini bersifat kurang mendukung dan menghalangi kita dari kesuksesan, misalnya,”Aku tidak bisa mengatasi masalah itu.” Atau “aku sulit mencapai impianku.”

Mungkin tanpa kita sadari, perilaku kita lebih banyak dipengaruhi oleh akal bawah sadar yang bekerja melalui gambar atau symbol-simbol. Karenanya, kita harus menyusul symbol sedemikian rupa tentang apa yang kita (hal-45) hasratkan dan bukan sebaliknya. Ironisnya, kata-kata yang kita ucapkan seringkali justru banyak berupa imaji yang sejatinya tidak kita sukai. Misalnya, kita biasa menggunakan ungkapan “Jangan berisik”, “Masalahnya pelik”, atau “Itu buruk”. Kata “Berisik”, “pelik” dan “buruk” akan langsung direspon akal kita dan membawanya pada gambaran yang tak menyenangkan.

Untuk memberikan arti yang serupa, kita sebetulnya memiliki banyak pilihan. Misalnya, kenapa tidak kita ganti dengan “Bersikaplah yang tenang”, “masalahnya memang tidak mudah”, dan “Itu tidak baik”. Kata “Tenang”, “Mudah” dan “Baik” berenergi tinggi, sehingga akan direspon oleh akal secara positif dan kemudian membawa suasana hati yang lebih menyenangkan. Jadi, apa yang harus kita lakukan sebetulnya sederhana, yakni mengubah percakapan kita sehari-hari.

Kata-kata juga berkontribusi pada persepsi kita atas diri kita sendiri. Bahkan menurut pakar neuro linguistic, Yvonne Oswald, harga diri kita 100 persen bergantung pada dialog dalam diri kita (kata-kata dan pikiran kita), yakni bagaimana kita berbicara dengan diri kita sendiri, tentang diri sendiri di dalam benak. Hanya ada dua jenis pikiran, kata Oswald, yakni pikiran yang memberdayakan dan pikiran yang tidak memberdayakan. Pikiran yang memberdayakan adalah pikiran yang dipenuhi kata-kata positif. Repotnya memang, ada pengalaman yang tidak bisa kita tolak, misalnya pengalaman di masa-masa pengasuhan. Karenanya, tugas kita sekarang, menyeleksi mana kata-kata yang harus kita singkirkan dan mana yang harus kita pupuk dalam diri kita.

Dalam konteks relasi dengan orang lain, kata-kata positif yang kita ucapkan ujung-ujungnya untuk kita sendiri. Kata-kata berenergi tinggi, apalagi didukung bahasa nonverbal yang sesuai, akan memunculkan respon positif juga, begitupula sebaliknya. Misalnya, ketika kita mengucapkan,”Harap dipahami, saya bukannya benci anda,” maka kata ‘benci’ akan segera masuk dalam pikiran lawan bicara kita, mengendap, dan seterusnya bisa memunculkan suasana tidak nyaman saat berhadapan dengan kita. Coba kita ubah redaksinya menjadi,”Saya hanya belum bisa memahami maksud baik anda”, pasti akan memunculkan efek psikologis yang berbeda.

Sebuah kata memang terasa sederhana, tapi bisa menjadi awal dari segala kejadian yang menimpa kita. Kata akan membangun persepsi, sementara persepsi akan mengarahkan sikap-sikap kita. Maka, kata Oswald, berikan kehidupan pada kata-kata kita, maka kata-kata itu akan mendatangkan kehidupan, cinta dan sukses pada kita.



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 283 Th.14, Dzulhijjah 1433, 18 Oktober  2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal