Senin, 26 Februari 2024

Tujuh Hal yang Perlu Kita perhatikan Selama Ramadhan

 

Tujuh Hal yang Perlu Kita perhatikan Selama Ramadhan[1]

Oleh Tim Majalah Tarbawi

(Hal-28)

1.     Membaca Sejarah Bulan Ramadhan

Ramadhan tidak hanya sebatas bulan amal dan ibadah. Tapi juga bulan kemenangan dan pertolongan. Banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan ini yang menjadi perhatian kita. Diantaranya, perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun ke-2 hijrah, dimana umat  Islam yang berjumlah tentara dengan  dukungan 2 ekor unta, berhasil mengalahkan kaum kuffar yang berkekuatan 1.000 prajurit dengan dukungan 700 ekor unta.

Minggu, 25 Februari 2024

Maknai “Mencium” Ramadhan Sejak Sekarang

 

Maknai “Mencium” Ramadhan Sejak Sekarang[1]

Oleh M Lili Nur Aulia

 

[Hal-19] Orang-orang Shalih selalu merindukan bulan Ramadhan. Mereka bahkan merindukan Ramadhan, dari jarak yang sangat jauh hingga berharap sepanjang tahun Ramadhan. Mereka merindukan Ramadhan seperti penciuman Nabi Ya’qub alaihissalam terhadap bau Yusuf alaihissalam.

Kita tentu ingin sekali memiliki gemuruh rindu menerima sesuatu yang dicinta, yang sudah lama dinanti. Merasakan bau Ramadhan dari jarak yang masih jauh, lalu termasuk orang-orang yang melakukan persiapan optimal untuk memasuki bulan yang dirindukan.



[Hal-20] Kerinduan itu mereka tuangkan dalam sikap yang mendorong mereka mempersiapkan secara baik, bulan yang di rindu itu. Diantara mereka ada yang mengatakan,

“Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban adalah adalah bulan menyiram. Ramadhan adalah bulan saat pohon berbuah. Bila engkau ingin memetik buah di bulan Ramadhan. Anda harus menanamnya di bulan Rajab dan menyiraminya di bulan Sya’ban.”

Sabtu, 24 Februari 2024

Rasakan Hari Ini Seakan Sudah Ramadhan

 

Rasakan Hari Ini Seakan Sudah Ramadhan[1]

Oleh M Lili Nur Aulia  

(Hal-19) orang- orang Shalih selalu merindukan bulan Ramadhan. Mereka bahkan merindukan Ramadhan, dari jarak yang sangat jauh hingga berharap sepanjang tahun adalah Ramadhan. Mereka merindukan Ramadhan seperti penciuman Nabi Ya’qub alaihissalam terhadap bau Yusuf alaihissalam.

Kita tentu ingin sekali memiliki gemuruh rindu menerima sesuatu yang dicinta, yang sudah lama dinanti. Merasakan bau Ramadhan dari jarak yang masih jauh, lalu termasuk orang-orang yang melakukan persiapan optimal untuk memasuki bulan yang dirindukan.



(Hal-20) kerinduan yang dituangkan dalam sikap yang mendorong mereka mempersiapkan secara baik, bulan yang dirindu itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, “Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban bulan menyiram. Ramadhan adalah saat pohon berbuah. Bila engkau ingin memetik buah di bulan Ramadhan, anda harus menanamnya di bulan Rajab dan menyiraminya di bulan Sya’ban.”

Rabu, 22 Maret 2023

Beri Kami Rasa Rindu Pada Ramadhan

 

Beri Kami Rasa Rindu Pada Ramadhan[1]

Oleh Ahmad Zairofi AM

 

[Hal-3] Rasakan hari ini seakan sudah Ramadhan.

“Diantara doa-doa orang yang shalih menjelang Ramadhan adalah, “Ya Allah, selamatkanlah aku ke bulan Ramadhan dan selamatkan Ramadhan bagiku dan terimalah Ramadhan itu dariku”

(Yahya bin Abi Katsir rahimahullah)

[hal-4] Para salafusshalih dahulu, enam bulan berturut-turut sebelum datangnya Ramadhan, memohon kepada Allah agar bisa dipertemukan Ramadhan. Dan selama enam bulan sisanya, ia memohon dan berdo’a agar amal-amalnya di bulan Ramadhan di terima oleh Allah.

[Hal-5] Seorang laki-laki shalih menjual budak perempuannya kepada orang lain. Ketika Ramadhan hendak tiba, majikan baru dari budak itu menyiapkan berbagai makanan. Maka budak itu berkata, “kenapa engkau menyiapkan makanan seperti ini?”



Majikan barunya itu menjawab,”Untuk menyambut puasa di bulan Ramadhan.”

[Hal-6] Maka budak yang beriman itu menjawab,” Apakah engkau sekeluarga tidak berpuasa kecuali bulan Ramadhan? Sungguh aku sebelum ini memiliki majikan yang  merasakan seakan seluruh tahun adalah Ramadhan. Aku tidak mau memiliki majikan seperti engkau.  Pulangkan aku ke majikanku yang pertama.”

Minggu, 06 September 2020

Teknologi Plus

Teknologi Plus[1][2]

Edi Santoso[3]

(Hal-50)Melihat perubahan yang menyertainya, memang beralasan jika muncul anggapan bahwa teknologi mendeterminasi kehidupan manusia. Lihat saja fase-fase peradaban manusia, mulai dari era agraris, industri hingga era informasi. Semuanya dipicu, atau setidaknya ditandai, oleh kemunculan teknologi tertentu.



Kemunculan mesin uap misalnya, telah mendorong tren produks imassal, yang kemudian menandai era industri. Barang-barang produk manufaktur melimpah, dengan harga yang murah. Kekuatan ekonomi bertumpu pada buruh, dengan kualitas utama berupa fisik dan stamina pribadi. Ketika internet muncul, peta ekonomipun berubah. Informasi dan pengetahuan menyebar luas, dengan figur sentral para pekerja intelektual.

Sekarang kita bayangkan, teknologi hampir memungkinkan segalanya: kemudahan, kecepatan, efisiensi. Lalu, dimana letak keunggulan seseorang tau sebuah komunitas, ketika akses teknologi telah menjadi milik bersama? Misalnya otomatisasi yang disediakan berbagai software, tiba-tiba menjadikan orang bisa melakukan banyak hal. Kita mungkin tak perlu menjadi akuntan profesional untuk sekadar menganalisis cashflow perusahaan kita. Banyak software yang siap melayani. Bahkan untuk mendiagnosa penyakit, beberapa alat bisa menggantikan kemampuan dokter.

Teknologi mencerminkan kapasitas para pencipta dan penggunanya. Betapa proses yang rumit dan panjang telah mengawali kemunculan teknologi. Tetapi begitu diterapkan, apa yang menjadi pembeda antara pengguna teknologi dengan yang lainnya? Dalam konteks produktivitas misalnya, apa yang layak kita unggulkan melalui teknologi yang kita pakai, sementara kompetitor (hal 51) kita juga menggunakan perangkat yang sama. Kita saat ini berada dalam puncak keunggulan teknologi. Maka, kata Daniel H. Pink- pemikir bisnis, mereka yang unggul adalah mereka yang bisa ‘mengalahkan’ teknologi, maka itu harus menjadi sisi plus-nya.

Pink lebih lanjut mengatakan, kemampuan teknik tinggi yang kita miliki membutuhkan tambahan kemampuan konsep tinggi dan menyentuh hati. Konsep tinggi (high concept) menyangkut kemampuan menciptakan keindahan yang artistik dan emosional,mengenali pola dan kesempatan, memaparkan narasi yang memuaskan, dan menggabungkan ide-ide yang seakan-akan tidak berkaitan menjadi penemuan baru. Menyentuh hati (high touch) menyangkut kemampuan berempati, memahami kepekaan interaksi manusia, menemukan kebahagian dalam diri sendiri, menyebarkannya kepada sesama, dan kemampuan mengejar makna dan tujuan.

Jika teknologi adalah merupakan produk otak kiri, maka keunggulannya terletak pada otak kanan penggunanya. Seperti diceritakan pink, sekarang ini kurikulum medis di Amerika sedang mengalami perubahan besar dalam sejarahnya. Para mahasiswa kedokteran Colombia University dan perguruan tinggi lainnya, sedang mempelajari ‘pengobatan cerita’ karena riset memperlihatkan bahwa meskipun kekuatan diagnosa ada pada komputer, bagian penting diagnosa terdapat dalam cerita si pasien. Di Yale University, para mahasiswa kedokteran pun mempertajam kemampuan observasi pada Pusat Karya Seni Inggris – Yale, karena mereka yang mempelajari lukisan terampil mengatasi detail halus kondisi pasien.

Bahkan dalam industri ‘kasar’ semacam otomotifpun, sentuhan seni merupakan hal yang vital. Bob Lutz- eksekutif pada General Motor, ketika ditanya tentang pendekatannya, mengatakan,”lebih dengan otak kanan, saya memandang kami sedang melakukan bisnis seni. Seni, hiburan dan patung mobil, yang kebetulan menghasilkan alat transportasi.”

Di era kemelimpahan seperti saat ini, persaingan kian sengit didukung oleh globalisasi yang makin nyata. Ketika teknologi telah menjadi milik bersama, keunggulannya terletak pada kemampuan kita untuk menggunakannya bersama-sama dengan segenap potensi otak kanan: emosi, intuisi dan kreasi. Inilah teknologi plus. ***

 

 



[1]Majalah Tarbawi, Edisi 313 Th,15, Rabiul Akhir 1435, 6 Februari 2014

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Teknologi yang Menginisiasi

Teknologi yang Menginisiasi[1][2]

Edi Santoso[3]


(Hal-48)Dunia  teknologi penuh dengan paradoks. Misalnya, manusia berharap, kehadiran teknologi memudahkan kehidupan. Tetapi begitu muncul teknologi, kekhawatiran pun datang. Maka muncul perdebatan panjang antara paradigma ‘people centered’ dan ‘object centered’ dalam teknologi. Antara teknologi yang berfokus pada orang dan teknologi yang lebih mementingkan barang atau produk teknologi itu sendiri.



Howard Rosenbrock, seorang insunyur yang juga filsuf, termasuk yang khawatir kehadiran teknologi membawa efek pada melemahnya penghargaan atas nilai kemanusiaan. Misalnya, selama tahun 1970 an, ketika menulis tentang Computer Aided Design (CAD), Rosenvrock memberikan penghatian pada penggunaan komputer untuk otomatisasi desain, yang menurutnya, “seperti mempresentasikan kenyataan hilangnya keyakinan atas kemampuan manusia.” Karena, desainer mereduksi dirinya dengan pilihan tetap atas pilihan-pilihan yang sudah ditentukan.

Ketika menulis tentang produksi pabrik, Rosenbrock juga menyatakan kemampuan orang yang bekerja di pabrik-pabrik dihargai lebih rendah dari robot. Kesalahan sering ditumpahkan pada orang (human error), dan bukan pada desain mesin. Tokoh yang terkenal dengan teori kontrol inipun menawarkan sebuah paradigma alternatif, yakni ‘teknologi yang menginisiasi’. Misalnya, dalam hal desain, dia mengusulkan sistem display grafis interaktif yang memungkinkan desainer tetap menjaga inisiatif personalnya, juga mengembangkan keterampilannya.

Sebuah contoh klasik tentang teknologi yang menginisiasi kemampuan personal adalah alat pintal (spinning jenny). Alat temuan Hargreave ini dioperasionalkan secara manual, dan dipakai oleh masyarakat pada tahun 1760 an di rumah-rumah. Dengan alat ini, para penenun bisa memintal beberapa benang sekaligus. Sebuah lompatan yang sangat luarbiasa, dibanding dengan penggunaan alat sebelumnya (spinning wheel) yang hanya bisa memintal benang satu demi satu. Menariknya, mesin tersebut tetap mensyaratkan keahlian dan konsentrasi untuk menghasilkan tingkat produksi yang tinggi.

Hal berbeda terjadi pada temuan mesin pintal yang dipakai di pabrik-pabrik, bukan (Hal-49) di rumah. Mesin ini menggunakan prinsip ‘bekerja dengan sendirinya’ (self acting), sehingga tidak memerlukan tenaga terampil. Beberapa mesin bahkan bisa dioperasikan oleh anak-anak sekalipun. Otomatisasi memang menaikkan tingkat produksi di satu sisi, tetapi mereduksi kreativitas personal orang di sisi lain. Pabrik lebih membutuhkan tenaga-tenaga kasar untuk operator mesin, bukan tenaga ahli dan kreatif dalam urusan pemintalan benang.

Para pendukung model otomatisasi tak kurang-kurang, termasuk para filsuf di masa itu. Andrew Ure misalnya, pada tahun 1835, menerbitkan buku ‘Philosophy of Manufactures’ . buku ini mengkampanyekakan bahwa industri produktif harus didukung oleh mesin-mesin otomatis, dan manufaktur yang paling sempurna terjadi ketika tenaga-tenaga manual terganatikan oleh mesin. Karena pendapatnya ini, Ure sering dijuluki sebagai juru bicara para pemilik pabrik.

Otomatisasi, faktanya, kemudian menjadi ideologi para pemilik modal di era revolusi industri yang berlomba kuantitas produk (massifikasi). Sebuah kondisi yang kemudian juga diratapi oleh pemikir sosial, antara lain, ‘The Frankfurt School’. Menurut mereka produksi massal membuat segalanya standar. Inilah era budaya massa, yang sering disebut sebagai Fordism.Fordism adalah istilah yang munculkan untuk menggambarkan kesuksesan Henry Ford dalam industri mobil, khususnya dalam penerapan metode produksi massal. Teknik produksi massalnya menjadikan mobil-mobil bisa  dibuat dengan murah, namun miskin model.

Otomatisasi, sekian tahun kemudian, di saat kita berada sekarang, memang mencatatkan berbagai capaian yang mencengangkan. Tetapi, satu yang tak bias kita tampik, kini sentuhan personal makin mahal harganya. Tenaga-tenaga untuk mengoperasikan system otomatisasi semakin banyak dan murah, seiring dengan semakin banyakny alulusan berbagai lembaga pendidikan teknis. Maka Daniel Pink meramalkan, tenaga kerja berbasis keterampilan teknis seperti insinyur, akuntan, dokter, akan semakin tidak popular dengan adanya otomatisasi.

Pada akhirnya, sentuhan kemanusiaanmemang yang paling berharga.Mesin-mesin industry bolehlah unggul dalam kecepatan dan ketepatan, tetapi tanpa ruang inisiasi atas tangan-tangan kreatif, produksi besar hanya akan bermuara pada kejenuhan. ***

 

 



[1]MajalahTarbawi, Edisi 299 Th.15, Sya’ban 1434, 27 Juni 2013

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

 

Arogansi Teknologi

Arogansi Teknologi[1][2]

Edi Santoso[3]

 

(Hal-48) Tak diragukan lagi, capaian dan kontribusi teknologi bagi kehidupan manusia sangatlah dominan. Bagi sebagian orang, teknologi bahkan dianggap segalanya, sampai-sampai dalam beberapa hal mengambil peran Tuhan. Para Ilmuwan telah lama mendiskusikan bagaimana menciptakan kehidupan dengan dukungan teknologi.



Gagasan hidup abadi (immortal) pun tak pernah mati, terlebih temuan-temuan teknologi terkini seolah mengantar ke sana. David Dietle misalnya, menulis ‘5 Ways Science Could Make Us Immortal’. Dia mencatat beberapa perkembangan sains yang akan membawa manusia pada keabadian, seperti terapi gen untuk mencegah penuaan, tranformasi pemikiran (Mind Uploading), perbaikan sel dengan nanoteknologi, teknologi cloning, dan pemanfaatan teknologi sibernatik yang abadi.

Impian liar manusia memang tidak ada batasnya. Para ilmuwan meyakini tak ada yang tak mungkin. Tapi mungkinkah manusia menciptakan dirinya sendiri, atau mengendalikan kehidupan sepenuhnya? Bagi orang beriman, jawabannya jelas, tak ada perdebatan. Dan secara sains, juga tak perlu didebat, karena semua masih bersifat hipotetis, hanya bicara kemungkinan. Hanya saja, di luar harapan berlebih pada teknologi itu, ada baiknya kita renungkan sisi lain, betapa banyak hal yang belum bisa diselesaikan oleh teknologi.

Guy Berger menyebutnya sebagai Arogansi Teknologi (Techno-Arogant), semacam over estimasi atas apa yang teknologi bisa berikan pada kehidupan manusia. Capaian teknologi, faktanya, memang tidak selalu cemerlang. Arnold Pacey memberikan contoh dalam dunia kedokteran, betapa banyak yang masih menjadi PR bagi para peneliti bidang kesehatan. Di luar kesuksesan berbagai temuan untuk pengendalian panyakit atau pengobatan, misalnya dengan ditemukan antibiotik dan imunisasi untuk berbagai penyakit pada anak-anak, banyak penyakit yang belum menemukan penanganan yang tepat. Penanganan Kanker, AIDS, dan transplantasi organ (Hal-49) misalnya, belum bisa disebut sukses. Pacey menyebutnya sebagai contoh ‘teknologi setengah jalan’ (Halfway Technology).

Gary Mefe menyebut contoh lain, yakni kegagalan teknologi dalam konservasi alam. Penggunaan teknologi penetasan ikan salmon di Pantai Pasifik, Amerika Utara, ternyata menurunkan jumlah populasi ikan secara drastic. Termasuk dalam kegagalan teknologi adalah lemahnya prediksi atas dampak-dampak yang ditimbulkan.

Di satu sisi teknologi mencengangkan capaiannya, tetapi tanpa disadari, menyimpan masalah laten yang meresahkan. Misalnya isu produk transgenik. Baru-baru ini, perusahaan bioteknologi raksasa Amerika, Monsanto, yang memproduksi tanaman GMO (Transgenic Modified Organism) dipaksa oleh publik anti GMO untuk melakukan studi membuktikan efek buruk produk tersebut bagi kesehatan dan lingkungan. Monsanto pun mempercayakan studi tersebut pada peneliti Perancis, Dr Gilles Eric Seralini dari University of Caen. Hewan percobaan yang diberi tiga tipe jagung hasil modifikasi genetic dilaporkan mengalami gejala kerusakan organ liver dan ginjal.

Bukannya menyelesaikan masalah, teknologi justru seringkali menciptakan masalah baru. Maka, gagalnya sebuah system teknologi bisa mengakibatkan terjadinya malapetaka teknologi (technological disaster). Masalahnya berpangkal pada kesalahan system yang bersumber pada desain system yang tidak sesuai dengan kondisi di mana sistem itu bekerja. Hal ini terjadi karena perancangan sistem yang gagal mempertemukan system teknis dan system sosial. Inilah yang sering terjadi di Indonesia dan menjadi bencana yang mengakibatkan kerugian jiwa, seperti kecelakaan transportasi, kecelakaan industry, dan kecelakaan rumah tangga.

Bahkan dalam teknologi informasi yang sedang dalam masa-masa puncaknya, berbagai kegagalan selalu bisa kita catat. CNN misalnya, dalam setiap tahun selalu membuat rangkuman tentang teknologi-teknologi yang gagal. Tahun 2012, sebagai contoh, CNN menyebut Apple Maps sebagai kegagalan teknologi. Aplikasi pemetaan ini dinilai gagal, karena sering terjadi banyak kesalahan dalam memberikan arah lokasi yang diinginkan pengguna. Sehingga, banyak pengguna yang tersesat, seperti yang terjadi di Australia beberapa waktu lalu. Inilah yang menjadi alasan kenapa banyak wisatawan dan pendatang kemudian tidak menggunakan Apple Maps.

Teknologi pada akhirnya tak lebih dari ikhtiar manusia untuk memudahkan manusia. Maka segala impian hidup yang mudah dan nyaman, dengan dukungan teknologi, selalu abash saja. Namun, di luar segala harapan, kita harus sadar, bahwa selalu ada batas dari apa yang bisa kita upayakan. ***

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 286 Th.14, Muharram 1434, 29 November 2013

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

[3] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.