Arogansi
Teknologi
Edi Santoso
(Hal-48) Tak
diragukan lagi, capaian dan kontribusi teknologi bagi kehidupan manusia
sangatlah dominan. Bagi sebagian orang, teknologi bahkan dianggap segalanya,
sampai-sampai dalam beberapa hal mengambil peran Tuhan. Para Ilmuwan telah lama
mendiskusikan bagaimana menciptakan kehidupan dengan dukungan teknologi.
Gagasan hidup abadi (immortal) pun tak pernah mati, terlebih temuan-temuan teknologi
terkini seolah mengantar ke sana. David Dietle misalnya, menulis ‘5 Ways Science Could Make Us Immortal’. Dia
mencatat beberapa perkembangan sains yang akan membawa manusia pada keabadian,
seperti terapi gen untuk mencegah penuaan, tranformasi pemikiran (Mind Uploading), perbaikan sel dengan
nanoteknologi, teknologi cloning, dan
pemanfaatan teknologi sibernatik yang abadi.
Impian liar manusia memang tidak ada
batasnya. Para ilmuwan meyakini tak ada yang tak mungkin. Tapi mungkinkah
manusia menciptakan dirinya sendiri, atau mengendalikan kehidupan sepenuhnya?
Bagi orang beriman, jawabannya jelas, tak ada perdebatan. Dan secara sains,
juga tak perlu didebat, karena semua masih bersifat hipotetis, hanya bicara
kemungkinan. Hanya saja, di luar harapan berlebih pada teknologi itu, ada
baiknya kita renungkan sisi lain, betapa banyak hal yang belum bisa
diselesaikan oleh teknologi.
Guy Berger menyebutnya sebagai Arogansi
Teknologi (Techno-Arogant), semacam
over estimasi atas apa yang teknologi bisa berikan pada kehidupan manusia.
Capaian teknologi, faktanya, memang tidak selalu cemerlang. Arnold Pacey
memberikan contoh dalam dunia kedokteran, betapa banyak yang masih menjadi PR
bagi para peneliti bidang kesehatan. Di luar kesuksesan berbagai temuan untuk
pengendalian panyakit atau pengobatan, misalnya dengan ditemukan antibiotik dan
imunisasi untuk berbagai penyakit pada anak-anak, banyak penyakit yang belum
menemukan penanganan yang tepat. Penanganan Kanker, AIDS, dan transplantasi
organ (Hal-49)
misalnya, belum bisa disebut sukses. Pacey menyebutnya sebagai
contoh ‘teknologi setengah jalan’ (Halfway
Technology).
Gary Mefe menyebut contoh lain, yakni
kegagalan teknologi dalam konservasi alam. Penggunaan teknologi penetasan ikan
salmon di Pantai Pasifik, Amerika Utara, ternyata menurunkan jumlah populasi
ikan secara drastic. Termasuk dalam kegagalan teknologi adalah lemahnya prediksi
atas dampak-dampak yang ditimbulkan.
Di satu sisi teknologi mencengangkan
capaiannya, tetapi tanpa disadari, menyimpan masalah laten yang meresahkan.
Misalnya isu produk transgenik. Baru-baru ini, perusahaan bioteknologi raksasa
Amerika, Monsanto, yang memproduksi tanaman GMO (Transgenic Modified Organism) dipaksa oleh publik anti GMO untuk
melakukan studi membuktikan efek buruk produk tersebut bagi kesehatan dan
lingkungan. Monsanto pun mempercayakan studi tersebut pada peneliti Perancis,
Dr Gilles Eric Seralini dari University
of Caen. Hewan percobaan yang diberi tiga tipe jagung hasil modifikasi
genetic dilaporkan mengalami gejala kerusakan organ liver dan ginjal.
Bukannya menyelesaikan masalah, teknologi
justru seringkali menciptakan masalah baru. Maka, gagalnya sebuah system
teknologi bisa mengakibatkan terjadinya malapetaka teknologi (technological disaster). Masalahnya
berpangkal pada kesalahan system yang bersumber pada desain system yang tidak
sesuai dengan kondisi di mana sistem itu bekerja. Hal ini terjadi karena
perancangan sistem yang gagal mempertemukan system teknis dan system sosial.
Inilah yang sering terjadi di Indonesia dan menjadi bencana yang mengakibatkan
kerugian jiwa, seperti kecelakaan transportasi, kecelakaan industry, dan kecelakaan
rumah tangga.
Bahkan dalam teknologi informasi yang sedang
dalam masa-masa puncaknya, berbagai kegagalan selalu bisa kita catat. CNN
misalnya, dalam setiap tahun selalu membuat rangkuman tentang
teknologi-teknologi yang gagal. Tahun 2012, sebagai contoh, CNN menyebut Apple Maps sebagai kegagalan teknologi.
Aplikasi pemetaan ini dinilai gagal, karena sering terjadi banyak kesalahan
dalam memberikan arah lokasi yang diinginkan pengguna. Sehingga, banyak
pengguna yang tersesat, seperti yang terjadi di Australia beberapa waktu lalu.
Inilah yang menjadi alasan kenapa banyak wisatawan dan pendatang kemudian tidak
menggunakan Apple Maps.
Teknologi pada akhirnya tak lebih dari
ikhtiar manusia untuk memudahkan manusia. Maka segala impian hidup yang mudah
dan nyaman, dengan dukungan teknologi, selalu abash saja. Namun, di luar segala
harapan, kita harus sadar, bahwa selalu ada batas dari apa yang bisa kita
upayakan. ***
Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi,
mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan,
antara Tarbawi dan Tempo.