Rabu, 02 September 2020

Bulan Berkaca

Bulan Berkaca[1] 

(Hal-06) Ini sangat baik untuk berkaca. Mengenali lebih dekat dan dekat lagi, tentang siapa kita. Hidup dalam segala bentuk perburuan seringkali membuat kita lupa. Alih-alih kita berhasil menaklukkan realitasyang kemudian berbalik memburu kita. Dunia yang kian rata – The World is Flat, kata Friedman misalnya, kini semakin mempersempit batas-batas hirarki. Kecuali bila benar-benar berfungsi. Orang tidak bisa mudah lagi bersembunyi di balik jabatannya, statusnya, pangkatnya, bila secara individu terlalu cacat prilaku. Setiap kali seorang rela menjadi atasan bagi segala jenis bawahan untuk beragam pekerjaan, kini bebannya tidak semata bagaimana memutar roda-roda peran. Tapi juga harus memastikan bahwa dirinya memang punya integritas.



Tanpa integritas, jabatan akan menjadi pembunuh karakter sendiri, lambat atau cepat. Terlebih di zaman baru di mana manusia bumi terkoneksi dari ujung ke ujung. Apa yang ganjil di ujung barat, bisa tersebar dengan cepat hingga ke ujung timur. Apa yang aneh di timur jauh, bisa dengan singkat tersiar sampai ke barat.

Integritas adalah modal dasar utama. Dengan itu sebenarnya setiap kita ditimbang dan dipandang. Bila kerumunan orang belum juga menakar kita dengan wajar, waktu akan membela kita, bila kita punya integritas. Dengan integritas, kita sudah menyelesaikan setengah dari kebutuhan konsistensi, sesudah itu. Kenyataannya memang, di dunia sempit maupun di dunia yang lapang hanya diperlukan satu mental: Integritas lalu konsistensi.

Tanpa integritas, siapapun dengan posisi setinggi apapun, akhirnya akan bertarung melawan bayangannya sendiri. Itu hantunya.itu pintu apesnya. Tak soal seperti apa upayanya untuk memoles diri dalam berbagai wahana. Siapapun yang miskin integritas, sejenak bisa menutupi dirinya dengan berlagak konsisten akan jati dirinya. Sesudah itu, segalanya bisa buyar dan tak terkendali.

Ini bulan sangat baik untuk menengok ke dalam. Mengenali lebih dekat tentang siapa kita. Seharusnya membaca diri bukan semata seremoni tahunan, tapi panggilan kesadaran. Di tengah kegaduhan di mana-mana, perlu kiranya kita membaca ulang tentang siapa diri kita yang sesungguhnya. Kadang untuk menjadi baik tidak selalu harus pintar. Kadang untuk menjadi baik tidak harus selalu terkenal. Bila menjadi baik harus dengan terkenal, alangkah sempitnya dunia. Bila menjadi baik harus dengan banyak bicara alangkah ciutnya harapan. Bila menjadi baik harus dengan banyak membela diri, alangkah lelahnya hidup.

Ini bulan sangat baik bercermin. Kita adalah akumulasi perkataan kita sendiri tentang kita. Kita adalah kumpulan persepsi tentang kita. Kita adalah tautan  perilaku demi perilaku kita sendiri yang kita pilih secara sukarela. Ini bulan sangat baik untuk banyak merenungi diri. *



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 257 Th.13, Ramadhan 1432, 11 Agustus 2011 

Mengakali Undang-Undang TKI

Mengakali Undang-Undang TKI[1] 

(Hal-06) Nyaman nian menjadi TKI. Itu bila kit abaca Undang-undangnya. Di pasal 7, Undang-undang No. 39 Tahun 2004, dinyataka berbagai kewajiban pemerintah. Salah satu kewajiban itu adalah “ Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.”

Itu kalimat yang sangat sempurna. Tetapi faktanya tidak sepenuhnya begitu. Terlampau banyak akal-akalan yang dilakukan berbagai pihak, hingga merugikan para tenaga kerja Indonesia.



Tenang nian menjadi TKI. Itu bila kita membaca undang-undangnya. Salah satu kewajiban pemerintah adalah,”membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri.” Tetapi di beberapa Negara, pemerintah belum memiliki data yang akurat tentang berapa jumlah riil TKI kita, di sektor apa saja mereka bekerja dan di daerah mana saja mereka ditempatkan. Akibatnya, berbagai masalah yang muncul seringkali terlambat diantisipasi. Padahal, pada saat yang sama, para TKI itu juga diwajibakan memiliki kartau identitas lain, Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri, atau KTKLN. Selembar kartu itu harus diurus di Indonesia dan banyak menjadi ajang pemerasan. Meski digembar-gemborkan kartu itu gratis, praktiknya tidak seperti itu. Para pemungut itu disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Ketat nian menjadi TKI. Itu bila kita baca undang-undangnya. Setidaknya para TKI yang berangkat ke luar negeri harus memenuhi syarat administrasi, syarat kecakapan, dan syarat kesehatan. Tetapi syarat adalah apa yang tertulis di atas kertas, dan selalu apa yang sebenarnya ada pada diri para TKI. Maka tidak sedikit data yang dipalsukan. Bahkan Ruyati dihukum mati di Saudi baru-baru ini, usianya telah diubah 11 tahun lebih muda.

“Calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi: Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan lahir, surat status perkawinan yang telah menikah bagi yang telah menikah dan melampirkan copy buku nikah.” Maka pemalsuan dokumen itu pasti melibatkan aparat pemerintah desa atau kecamatan. Orang-orang itu disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Perusahaan yang ingin mendapatkan Surat ijin Pelaksana Penempatan TKI atau SIPPTKI, sebagaimana dinyatakan pada pasal 23, ayat 1 huruf e, perusahaan tersebut harus “memiliki unit pelatihan kerja.” Pada praktiknya, banyak perusahaan yang tidak memiliki sendiri Unit Pelatihan Kerja tetapi tetap mendapat ijin SIPPTKI. Orang yang member ijin tersebut ada di lembaga pemerintah. Mau disebut oknum atau bukan, itu tidak penting.

Sebelum terlalu banyak lembaga baru dibuat untuk mengurus TKI, pemerintah hanya perlu memastikan para birokratnya tidak hobi mengakali undang-undang atau peraturan tentang penempatan TKI di luar negeri. Titik.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 255 Th.13, Sya’ban  1432, 14 Juli 2011

Berdamai Dengan Bumi

Berdamai Dengan Bumi[1]

(Hal-02)Ini tahun yang sangat berat. Alam seakan mengubah jadwal-jadwalnya. Hujan terus datang di musim yang seharusnya kemarau. Deras.Kering masih menggersang di musim yang mestinya penghujan.Tapi bumi tak pernah mencederai dengan sendirinya. Ini tahun yang sangat berat. Petani pusing dengan siklus tanam yang kacau. Nelayan mendapati air laut selalu bergelombang. Besar dan mematikan.P encarian ikan pun tak punya kejelasan.



Ini tak sekadar soal tanah. Atau air. Atau udara semata. Ini soal kelakuan kita sebagai manusia. Kita memperlakukan bumi dan alam dengan gelora keinginan yang rakus. Kita membangun dengan cara merusak. Kita memiliki dengan cara merampas. Kita menikmati dengan cara yang membinasakan.

Indonesia sebenarnyamenempatiurutankelimadari 10 negara yang memilikiluashutanterbesar di dunia.Tetapidalamkurunwaktutahun 2000 sampaidengantahun 2005, lajukerusakanhutan Indonesia mencapai 1,87jutahektar. Akibatnya Indonesia menempatiperingkatkedua Negara denganlajukerusakanhutantertinggi di dunia.

Siapa pun tidak akan pernah bisa melawan alam. Bumi ini pemberian dengan pesan utama yang diulang-ulang oleh Allah, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”Akumulasi dari pengrusakan akan berujung pada perlawanan alam. Dan, saat itu, tak akan ada yang bisa menghentikan. Siapapun.

Singapura, negeri satelit di Asia tenggara yang kagum pada dirinya sendiri pun, tak ada kuasa menahan curah hujan yang begitu besar. Maka ia pun mengalami pahitnya banjir, bahkan di kawasan pusat belanja yang paling kesohor bagi wisatawan. Orchad Road berubah menjadi lautan air. Toko-toko tergenang.Barang-barang mewah yang diperdagangkan mengapung-apung layaknya mainan.

Ini  tahun yang berat.Di tengah pencarian dan eksplorasi ilmiah keluar angkasa yang terus berkembang, kita menyimpan ironi di daratan bumi dan hamparan lautan.Jepang baru saja merayakan kepulangan kapsul antariksanya, Hayabusa. Kapsul itu memulai perjalanannya keantariksa tahun 2003. Tujuh tahun kemudian kembali ke bumi. Ini adalah kendaraan antariksa pertama yang mendarat di sebuah asteroid dan kembali ke bumi.

Ke angkasa kita memang harus terus melakukan pencarian, penemuan dan membuat kesimpulan historis maupun prediksi tentang alam semesta. Tetapi bila pada saat yang sama kita terus abai dengan bumi, maka hari-hari selanjutnya hanyalah lanjutan dari tahun-tahun yang sangat berat. Banjir bukan lagi bencana untuk kaum pinggiran. Badai dan   topan tidak saja ancaman gurun dan pedesaan. Tapi bumi tak pernah mencederai dengan sendirinya.*



[1]MajalahTarbawi, Edisi 233Th.12,Sya’ban 1431 H, 29 Juli 2010 M

Mencintai Indonesia

 Mencintai Indonesia[1] 

(Hal-04)Mencintai negeri ini selalu punya kisahnya sendiri. Saat kita memiliki dan tidak peduli, cinta bisa datang tiba-tiba, tapi dalam gelombang emosi. Itu sangat Nampak ketika apa yang kita punyai diambiloleh orang, diakui oleh orang, diklaim oleh orang, apalagi dirampas orang lain.



Malaysia yang gemar menggoda Indonesia dengan klaim, mengaku-ngaku, mungkin merasa bisa dengan gagah ingin mengulang keberhasilan memiliki pulau sipadan dan ligitan. Tapi menerapkan ulah itu pada sector budaya adalah tindakan arogan dan kelewat arogan. Yang terbaru adalah soal tari pendet. Menilik klaim yang susul menyusul, tak mustahil Malaysia yang warganya sering merasa lebih unggul rasnya disbanding warga Indonesia itu, sudah punya jadwal untuk mengklaim yang berikutnya.

Tetapi itu adalah pelajaran tentang cinta yang tak pernah hadir kecuali dalam gelombang emosi. Sebab kita tak kunjung peduli. Sebab kita tak benar-benar sungguh-sunguh bertindak. Berdiskusi sudah. Berwacana sudah. Tetapi terlampau banyak kekayaan budaya negeri ini yang berserakan dan belum punya pengakuan hukum internasional secara kepemilikan.

Mencintai negeri ini mempunyai kisahnya sendiri. Bahwa Indonesia adalah negera kepulauan itu sudah pasti. Tetapi kita tidak  juga sangat serius menjahit kepulauan itu dalam pengawasan, pengamanan, pemerataan dan pembangunan yang memadai. Ini bukan sekadar keluh kesah orang-orang yang merasa kurang selalu.

Tapi kesungguhan itu masih harus dilipatgandakan. Keseriusan itu masih harus ditebalkan. Karenanya, semuannya memang kurang.

Saat kita memiliki kita tak sanggup mengurus dan mengayomi, cinta bisa dating tiba-tiba dalam gelombang kepanikan. Seperti ketika ada upaya penjualan pulau Indonesia. Pemerintah bereaksi. Itu sudah semestinya. Tak semua hanya menjelaskan sebuah warna cinta yang hadir dari kepemilikan yang tak terurus maksimal. Kita memiliki tetapi kita tidak mampu melindungi. Maka kita mencintainya dalam kepanikan.

Mencintai negeri ini selalu punya kisahnya sendiri. Bahwa Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, perlahan mulai membuat banyak gelisah. Maka rancangan Undang-Undang mengenai rahasia Negara banyak dikritik. Sebagian ingin pembahasannya dihentikan. Sebab dengan sisa waktu anggota DPR yang akan berakhir, itu sulit untuk dibahas secara mendalam. Dalam RUU itu, misalnya, masih banyak pasal yang berpotensi menghambat pemberantasan korupsi. Salah satunya, laporan pembelanjaan dan alokasi anggaran di kategorikan dalam informasi yang dirahasiakan. Rahasia Negara juga tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan selain pidana rahasia Negara. Cinta yang ini dating dalam gejolak yang berlebihan. Bisa menyeret pelakunya dalam keangkuhan. Mencintai negeri ini selalu punya kisahnya sendiri.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 212Th.11, Syawal 1430 H, 08 Oktober 2009 M

Selasa, 01 September 2020

Pada Suatu Masa

 

Pada Suatu Masa[1]

 

(Hal-04)Kita harus tetap optimis. Seburuk apapun kondisi bangsa ini. Bahwa perubahan itu harus dilakukan, dan sesudah itu Allah akan menjalankan pula janji pengubahannya.

Di panggung politik jalan perubahan itu ada. Tidak semua yang melenggag di ranah itu bisa sukses. Yang gagal banyak. Yang hancur banyak. Yang tergelincir lalu memilih jalan hina juga banyak.



Secara teori politik adalah jalan terdekat menuju kekuasaan. Sementara kekuasaan adalah  terdekat untuk melakukan perubahan yang mengikat, massif dan ada anggarannya. Tapi faktanya politik juga jalan terdekat menuju kehancuran. Sebagaimana kekuasaan juga jalan terdekat menuju penghancuran. Maka, tak ada yang mengerikan, dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang hancur dan berlindung di balik peraturan.

Pernah pada suatu masa, negeri ini dipimpin dengan bedil. Orang-orang yang tidak disukai mati dengan cara yang penuh misteri. Hak dan kebebasan dibatasi. Keberagaman disederhanakan dalam symbol yang memaksa. Terlalu banyak kaki tangan yang mencengkeram hak-hak sipil. Beras mungkin ada, minyak barangkali ada. Tapi taka a tempat untuk pikiran terbuka.

Pernah pada suatu waktu, negeri ini diurus dengan sangat keliru. Perusahaan bluechip milik Negara di jual murah. Seperti indosat yang menyedihkan. Setelah saham mayoritasnya dijual ke Singapura dengan harga 5 trilyun lebih sedikit, kini perusahaan itu di jual ke Qatar oleh Singapura dengan harga 16 Trilyun lebih. Dahulu para ahli sudah memberi saran. Bahwa privatisasi itu bisa dilakukan tidak harus selalu dijual ke pada asing. BUMN yang sifatnya strategis cukup dilakukan korporatisasi dengan kepemilikan di tangan pemerintah tapi pengelolaannya swasta.

Pernah suatu ketika, negeri ini dikelola dengan terlalu banyak aib. Sebab institusi pentingnya dihancurkan sendiri oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Kejaksaan Agung, Bank Sentral, Menteri, juga Dewan perwakilan rakyatnya. Di selingi bencana-bencana yang sangat langka. Tsunami yang membunuh ratusan ribu orang. Menyengsarakan ribuan lainnya. Gempa yang menyentak kesadaran dalam beberapa detik. Lalu lumpur abadi yang memupus segala harapan.

Kita harus tetap optimis. Separah apapun masalah di negeri ini. Tapi jujur saja kadang kita tidak benar-benar bisa menemukan energy optimism itu pada wajah-wajah politik di iklan-iklan. Siapapun memang boleh berjanji. Dengan artikulasi, script dan tentu saja lakon serta adegan. Tapi kita memerlukan lebih dari sekadar janji. Kita memerlukan integritas, komitmen dan kapasitas. Integritas adalah modal dasar. Komitmen adalah pengikatnya. Kapasitas adalah alat untuk melaksanakannya. Agar kelak sejarah menulis, bahwa pernah ada suatu masa, negeri ini mampu bangkit dan sukses melawan keterpurukan.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 187 Th.10, Ramadhan 1429 H, 11 September 2008 M

Magma Kebencian

Magma Kebencian[1] 

(Hal-06) Sebuah ledakan bom adalah hamburan pesan. Di era Perang Dunia Kedua, hujan bom di laut pasifik adalah pertaruhan untuk tetap bernafas, adu gengsi, dan penaklukan tiada akhir. Bahkan ketika Jepang terjepit, hunjaman pesawat mereka di cerobong kapal sekutu, dengan para pilot berani mati, adalah ledakan pesan yang heroic, setidaknya dalam kaca militer. Pesannya jelas, para pelaku kamikaze itu berharap bisa memberi kehidupan dengan mempersembahkan kematian yag dianggap aneh dan tak disangka oleh Amerika dan konco-konconya.



Tetapi di zaman ketika penjahat tak lagi jantan, sebuah gelegar bom adalah ledakan kesumat. Dari dan oleh siapa saja. Yang ingin mengguncang stabilitas pemerintahan, ia ledakkan bom. Yang tak puas dengan atasannya, ia ledakkan bom. Yang marah karena pacarnya lari dari Bali dan menikahi perempuan asing, mengancam akan meledakkan bom. Yag ingin membunuh karakter umat Islam, ia ledakkan bom. Begitulah. Bahkan yang ingin menikmati kepuasan membunuh tanpa diketahui, ia ledakkan bom.

Hari ini ledakan bom adalah muntahan magma-magma kebencian yang memuncak menembus langit. Dentuman-dentuman bom di Tentena itu, atau ancaman-ancamannya yang menghantui Jakarta, juga ketakutan-ketakutan beberapa kedutaan besar asing, adalah serangan terhadap Indonesia yang tengah bergeliat menuju cita-cita jauhnya. Ya. Indonesia pasca reformasi adalah negeri dengan kebangkitan yang bergairah dan kesegaran harapan pada banyak sisinya. Tentu dengan kekurangan di sana-sini. Tapi demokratisasi, yang menjadi tuhan dan kiblat ajaran dunia internasional,  toh telah dipilih dan di jalani dengan segenap partisipasi rakyat yang luar biasa. Sepanjang Indonesia merdeka, baru sekali itu presiden dipilih langsung. Baru kali ini kepala daerah dipilih langsung, bupati maupun gubernurnya. Di tengah hancurnya kredibilitas KPU, masyarakat masih menyisakan kemauan untuk menyukseskan semua prosesi demokrasi itu. Bahkan, pelaku peledakan bom itu, tidak ingin melihat Indonesia hidup akrab dalam satu rumah besarnya, setelah bersama-sama membagi rasa, dalam simpul bencana Aceh yang mengguncang.

Para rakyat di akar rumput punya cara sendiri untuk dewasa menyikapi. Mereka memang ngeri dan pilu menyaksikan korban-korban itu. Tapi mereka tidak merasa perlu untuk berspekulasi. Bila membeli beras dan minyak tanah itu lebih penting bagi mereka. Bahasa kebencian mereka satu, bahwa membunuh secara tidak sah, dengan bom di pasar atau dengan palu di lampu merah, adalah kejahatan yang harus dibasmi. Justru para elitlah yang harus arif bersikap. Para aparat harus bertindak tegas, jelas dan adil. Tegas, bahwa hokum harus ditegakkan dengan sepenuh ketegasan. Jelas, artinya jangan asal tangkap, tapi salah atau cepat menyimpulkan, tetapi hanya berdasarkan indikasi-indikasi yang lemah. Kasus salah tangkap atau memaksakan seseorang menjadi tersangka, sudah sering terjadi. adil, artinya, bahwa siapa yang tidak bersalah, harus bebas dari tuduhan, apalagi hukuman.

Sebuah bom adalah ledakan konspirasi. Seorang anak sekolah menengah di Jakarta pun bisa berpura-pura diculik setelah kabur dan menjual mobil ayahnya. Bagaimana pula dengan seorang Jenderal? Intel asing atau Melayunya? Pengusaha? Politisi? Bandit? Siapa saja yang menyimpan kebencian mendidih di dalam nafsu busuknya, sangat mudah baginya untuk melampiaskannya dalam ledakan bom. Di zaman di mana para penjahatnya pengecut dan para pengecutnya belajar jadi penjahat.*

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 111 Th.7, Jumadal Ula 1426, 23 Juni 2005

Untuk Kita Renungkan

Untuk Kita Renungkan[1] 

(Hal-04) Selalu saja ada gelisah. Di setiap hati yang belum mati. Juga hati yang masih peduli pada nasib negeri ini. Betapa tidak, kekacauan susul menyusul. Bencana demi bencana beriring berkelindan. Badai dari krisis ekonomi dan politik hingga gempa bumi. Rumah megah yang bernama Indonesia itu kini sudah tak lagi nyaman. Meski sejak dulu pun tak pernah benar-benar nyaman.



Selalu saja ada gundah. Mengombak-ombak, lalu menjadi gelombang nestapa yang menggunung-gunung. Betapa tidak, saat jutaan orang merintih menahan beban hidup, dengan enaknya seorang pensiunan TNI mengedarkan uang palsu. Di Jakarta Utara, ia ditangkap beserta tiga kawannya, beserta pecahan uang palsu 50.000 senilai 23 juta. Sementara dari Jawa Timur dikabarkan, Kabiro Umum Pemda Jatim di duga menilap uang Rp. 500 juta, dengan modus pembuatan kwitansi palsu. Sedangkan Clara Sitompul, Ketua Umum Partai Krisna resmi dinyatakan tersangka kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum. Ia telah membagi-bagi uang sebesar 5.283.838.683 rupiah, terkait dengan dana pengadaan bendera. Konflik di kalangan pejabat semakin menajam. Syahril Sabirin yang kini jadi tersangka kasus Bank Bali, berencana menggugat Presiden sebesar 35 miliar rupiah pun kembali terpuruk.

Sementara itu, dana Bulog 35 miliar yang raib belum lagi bisa diusut, sudah muncul bencana baru: kasus Bulog edisi dua. Bahkan, menurut salah seorang anggota DPR, di duga angkanya mencapai 2,7 triliun. Dari maskapai penerbangan pemerintah, Garuda Indonesia Airways, dilaporkan bahwa Negara dirugikan 8,5 triliun akibat KKN yang selama ini terjadi di BUMN itu.

Selalu saja ada duka yang menganga. Meleleh, lalu menyumbat saluran-saluran rasa kemanusiaan. Betapa tidak, begitu banyak uang rakyat yang selalu disebut uang Negara dihisap segelitir orang. Pencurian kayu di Kalimatan Timur, misalnya, menurut Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Ir. Robian, telah merugikan Negara sampai 1 triliun. Ia mengeluh, untuk mengamankan hutan di Kaltim seluas 265.000 hektar sebenarnya diperlukan 500-700 jagawana. Tapi yang ada kini hanya 80 orang. Itupun dengan sarana dan prasarana sangat terbatas. Sementara dana reboisasi hutan pun banyak disikat tikus kerah putih. Tak kurang dari Rp. 4 triliun dana reboisasi telah diselewengkan. Bahkan, sebagian dari dana itu digunakan untuk belanja istri para pejabat.

Selalu ada resah. Meledak-ledak menjadi bara. Di lubuk sanubari yang belum membatu. Betapa tidak, angka-angka fantastis itu tak pernah terbayangkan oleh para nelayan di Puger, Jember. Hari-hari ini mereka harus berjibaku menyambung nyawa. Musim paceklik yang ganas telah memaksa mereka menggadaikan barang apa saja. Dari perkakas dapur hingga dipan tempat tidur. Dari lampu hingga sarung sekalipun. Jangankan  untuk bermimpi memiliki uang sebesar itu. Untuk membayangkan deretan angka nol di belakangnya saja sudah sulit. Angka 50 juta, 23 juta, 500 juta, 35 miliar, 280 miliar, 180 triliun …. Mungkin saja tak pernah ada pada lembar-lembar khayal mereka.

Selalu saja ada luka. Menghampar menjadi padang kepedihan. Luas, nyaris tak berbatas. Mungkin kita harus sering-sering untuk meniru do’a Umar bin Khatab, “Ya, Allah, akau berlindung kepada-Mu dari orang shalih yang lemah, dan dari orang fasik yang perkasa.”

Asal jangan sampai, orang shalih yang lemah itu adalah kita. Dan, orang fasik yang perkasa itu juga kita.*



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 010 Th.1, 13 Rabiul Awal 1421, 15 Juli 2000