Kamis, 03 September 2020

Retorika Atas Kematian

Retorika Atas Kematian[1] 

(Hal-06) Kematian itu nyata. Selalu. Karena sangatnya, tak akan pernah bisa dikisahkan seperti apa rasanya terputus dari dunia. Sebab tak pernah ada kematian yang sekedar bisa dicoba. Maka kematian senantiasa menyisakan duka.

Kematian akibat tindakan biadab lebih menyakitkan. Selalu. Seperti tawuran anak-anak sekolah yang berujung pembunuhan. Ini bukan tentang remaja yang bergurau dengan kata-kata untuk mengasah kecakapan narasi. Atau berlomba ketangkasan fisik yang meliatkan otot dan tulang belulang. Ini tentang kejahatan menggunakan bermacam senjata tajam.



Sesudah itu banyak orang yang berbincang panjang. Seakan ini sebuah misteri. Tentang kurikulum pendidikan, pola asuh, mata pelajaran, serangan budaya. Tanpa sadar, kadang bursa retorika dan wacana mewah itu sampai pada tingkat yang mengaburkan. Bahwa seorang siswa pembunuh dianggap korban dari segala sistim yang melingkupinya. Padahal pembunuhan tetaplah pembunuhan. Seorang yang telah dewasa, terikat dengan kaidah umum, bahwa ia pasti mengerti membunuh itu kriminal, dosa dan nista.

Kematian itu nyata. Tetapi pada jalan cerita yang menyertai sesudahnya, kadang ada saja orang yang senang mengarang misteri dan retorika. Ini bisa dilakukan oleh para pedagang cerita, yang mengais nafkah dari keahlian merangkai tafsir tipu-tipu. Tiba-tiba anak-anak sekolah yang rajin mengikuti kerohanian Islam, dituding sebagai sumber berbagai tindakan teror yang mematikan.

Para petualang logika, selalu lapar teori dan haus kerangka. Dengan itu ia membolak-balikkan makna. Dengan itu pula, seorang pembunuh kriminal bisa mendapat segala pemakluman. Dengan itu pula, kegiatan rohani Islam, bisa dipalak dengan membayar ongkos tuduhan naïf, atas keterkaitan dengan teror.

Kematian itu nyata. Bahkan pengadilan yang punya kuasa konstitusi untuk menghukum mati bisa tampak bodoh. Lantaran dengan fatal menghukum orang yang tidak bersalah. Baru-baru ini, di Lousiana, Amerika, seorang laki-laki, Damon Thibodeaux, yang telah dipidana mati sejak 15 tahun yang lalu, akhirnya dibebaskan. Hasil tes DNA menunjukkan dia telah didakwa secara keliru atas pemerkosaan dan pembunuhan. Hukuman mati itu hanya didasarkan pada pengakuan setelah interogasi selama 9 jam. Thibodeaux menjadi orang ke delapan belas di Amerika yang dibebaskan dari hukuman mati yang dijatuhkan secara salah.

Di sekolah atau di mana saja, kematian itu nyata. Itu sudah sangat meninggalkan luka. Tak perlu lagi ditimpa dengan ulah hina para pedagang retorika, pembual misteri dan petualang logika ngawur yang sering salah alamat. *

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 283 Th.14, Dzulhijjah 1433, 18 Oktober  2012

Definisi yang Melatari Tragedi

Definisi yang Melatari Tragedi[1] 

(Hal-6) Seorang remaja turut membunuh. Dua orang korbannya. Semua heran dan tak habis mengerti, bagaimana semua itu ditafsirkan dalam ilmu perilaku. Maka beberapa pihak merasa perlu melakukan pendampingan. Tragedy yang mengguncang kota Depok baru-baru ini tidak saja karena kematian yang tragis, tapi juga banyaknya paradoks.



Meski otak pembunuhan itu adalah orang-orang yang berumur, terkait utang-piutang, tapi kerelaan anak-anak itu untuk terlibat sungguh menggenaskan. Memandang ulah keji itu secara menyeluruh, tetap saja melahirkan debat. Bahkan di ranah hukum yang mudah bisa mengolah perkara itu, perbedaan tetap terjadi.  Misalnya apakah mungkin anak itu diancam dengan hukuman mati. Dan, seperti ini bukan kasus pertama.

Tetapi yang lebih mendasar dari itu semua, masalah besarnya terletak pada kerancuan kita dalam mendefinisikan anak dan orang dewasa. Kerancuan itu disebabkan adanya cluster yang kita masukkan di tengahnya: fase remaja. Mereka anak-anak tanggung yang secara akal sudah mengerti mana salah dan mana benar. Tetapi secara hukum kita beri toleransi keterlaluan atas ulah mereka. Remaja adalah status yang diciptakan oleh berbagai kepentingan. Salah satunya industry. Ada bisnis yang sangat besar dengan pasar yang disebut remaja. Tapi ongkos yang harus kita bayar seringkali mahal.

Itulah mengapa dalam Islam, hanya dikenal anak-anak dan dewasa. Anak-anak dengan mudah kita pahami sebagai mereka yang belum baligh. Sehingga salah dan benar tidak punya tuntutan. Sebaliknya orang dewasa, adalah mereka yang secara nyata telah baligh, maka salah dan benarnya punya konsekuensi hukum.

Tetapi dengan fase baru yang bernama remaja, kita menciptakan ambigu yang mengerikan. Mereka layak dihukum atas tindak criminal. Tetapi sisim sosial kita membodohi mereka dengan status aneh, belum sepenuhnya punya konsekuensi hukum apapun atas perangai mereka.

Di Amerika Serikat, seorang mahasiswa cerdas membunuh penonton bioskop. Itu tragedi mengerikan yang menghilangkan belasan nyawa, melukai puluhan lainnya, sekaligus mengacaukan banyak logika. Logika kebebasan memiliki senjata. Logika rasa aman. Juga perdebatan tentang apakah itu disebut tindakan teror atau tidak. Sebab selama ini, dunia dipaksa memaknai kata teror secara subyektif hanya bila dikaitkan dengan aliran agama. Begitupun, masih aka nada debat, apakah Holmes, penembak maut itu layak di hokum atau tidak? Bila dimungkinkan misalnya tidak waras.

Tidak jarang kita dengan santai mengunyah segala kekacauan definsi. Seakan itu hanya teori tentang usia anak, atau doktrin teror keji tidak datang dari hiburan. Ada banyak kekacauan tersembunyi, yang kita sadari atau tidak. Bahwa kesalahan definisi yang fatal, bisa menjadi awal dari tragedi yang mengerikan.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 280 Th.14, Syawal 1433, 06 September  2012

Ada Banyak Hari Kita Peringati

Ada Banyak Hari Kita Peringati[1] 

(Hal-04) Ada banyak hari yang kita peringati. Sebagiannya pengingat akan prestasi. Yang lainnya penyadar atas tragedi. Bahkan hidup dan mati selalu layak untuk diingat. Sebab di sana ada tawa dan tangis. Namun apa yang diperingati dari hari anti narkoba sedunia tidak sekadar pilu korban di tengah gelegak Bandar narkoba. Tapi ironi tentang penembuhan luka-luka akut di tengah keterbatasan kemampuan perang melawan kartel.



Hari anti narkoba diperingati di bulan Juni. Lalu hari ulang tahun kepolisian di negeri kita diperingati setiap awal Juli. Datang berkelindan. Rasanya seperti itu pula narkoba dan kepolisian saling susul dalam pengejaran dan segala upaya penindakan. Lalu datang Agustus, di mana diperingati hari Remaja Internasional. Di Agustus itu kita juga memperingati peristiwa besar kemerdekaan. Ini siklus tiga bulan istimewa ang bila kita baca ketersambungannya dalam realitas masa kini, akan membuat hati kita menangis. Kita memperingati kemerdekaan, di tengah perang aparat melawan narkoba yang kian menggila di pasar utama para remaja.

Indonesia bahkan telah bertumbuh secara menyakitkan dari negara transit narkoba, menjadi negara pasar. Lalu kini menjadi negara produsen. Dari sana subur industri premanisme bengis, yang membunuh tanpa bersembunyi, menyebar takut tanpa takut, menistakan rasa aman yang dinaungi hukum yang mengamankan. Naifnya lagi, pengorganisasian jaringan distribusinya banyak dikendalikan dari dalam penjara. Orang yang seharusnya menjalani hukuman dengan kekang fisik maupun akses, justru secara digdaya bisa mengatur bisnis triliunan rupiah itu.

Sebagian dari jatuhnya hari di peringatan itu memang ulang tahun kelahiran. Yang lain dikreasi oleh momentum dan kesepakatan. Itu sejarah yang telah tercipta. Tetapi di tengah tantangan kejahatan yang semakin canggih, terkelola, maupun kejahatan yang mengeksploitasi kecanduan, peringatan hari-hari itu seharusnya melecut penuh kerja semua pihak untuk semakin gigih.

Secara kebetulan pula kita umat Islam, di Agustus ini datang bulan kita yang istimewa, Ramadhan nan mulia. Itulah adalah energi turbo untuk semua pertarungan melawan bandit. Tapi bahkan untuk sebagian orang, Ramadhan bisa saja sekadar hari-hari peringatan. Tanpa serapan ketundukan, apalagi berlimpah amalan.

Ada banyak hari yang kita peringati. Sebagiannya pengingat akan prestasi. Yang lain penyadar akan tragedi. Tapi bisa juga itu semua hanya sebuah ironi.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 279 Th.14, Ramadhan 1433, 26 Juli  2012

Rabu, 02 September 2020

Sukhoi dan Harapan Baru

Sukhoi dan Harapan Baru[1] 

(Hal-06) Sukhoi jatuh di tengah harapan. Para pengusaha yang hendak atau telah membeli pesawat baru itu pasti punya kesadaran, bahwa Indonesia memerlukan keterhubungan yang terus menjangkau. Sangat banyak kawasan di negeri kita tercinta yang membutuhkan penerbangan pembuka. Di tengah keterbatasan pemerintah dalam memudahkan mobilitas rakyat, para pihak swasta adalah harapan lain. Begitu pula mereka yang turut menyuarakan spirit itu, dengan ikut serta terbang, dengan maksud sesudah itu akan turut menebar harapan.



Dibandingkan pesawat buatan Amerika atau buatan konsorsium Eropa yang lebih mahal, Sukhoi adalah terobosan. Apalagi secara teknologi pun menurut para ahli, pesawat itu cukup canggih. Begitu juga bagi Negara-negara yang memerlukan jalur-jalur perintis, dengan jarak tempuh menengah, sukhoi adalah harapan.

Bagi Rusia sendiri Sukhoi adalah harapan yang lain. Dengan pesawat super jet ini Rusia ingin membangun reputasi baru di dunia penerbangan. Bahkan itu merupakan pesawat untuk penrbangan sipil pertama yang dibuat setelah runtuhnya Uni Soviet. Beragam sertifikasi telah diperoleh. Berbagai pasar baru pun terus diberikan penawaran.

Era baru mengubah dominasi. Perlahan namun pasti. Harapan terus menyebar di banyak kawasan. Dunia tidak melulu Amerika. Eropa sendiri masih berkutat dengan gejolak hebat di sector keuangan. Terlebih setelah pemilihan presiden Perancis yang baru. Hasil pemilu Yunani juga rumit. Lantaran tak ada yang menang mayoritas, pembentukan pemrintahan koalisi pun carut marut.

Di Amerika Latin, juga bermunculan harapan baru. Brazil mulai menjadi pemain penting di dunia penerbangan. Produk andalannya, pesawat jet Embraer, terus berkibar. Itu menjadi pesawat yang cukup laris dan di minati. Khususnya di Negara-negara berkembang. Salah satu maskapai di Indonesia telah memesan tak kurang dari 20 Embraer.

Kadang di sela harapan besar ada bergumpal duka. Datang tiba-tiba. Saat sebagian kita kehilangan orang-orang tercinta. Kematian adalah rahasia. Itu terasa cepat bukan karena mereka mendahului waktunya. Tapi kematian dalam tragedy selalu melipatgandakan segalanya. Mengaduk segala rasa, antara sesal, harap, pedih, dan pasrah.

Sukhoi jatuh di tengah harapan. Para pengusaha yang berminat dengan pesawat itu pasti meyakini, bahwa Indonesia memerlukan harapan baru dalam ketersambungan. Maka mereka yang pergi dalam kecelakaan itu setidaknya turut menyambung harapan itu. Bahwa dunia tidak seharusnya dicengkram dominasi segelintir negara. Semua tengah bangkit. Tidak semata di sektor penerbangan. Perlahan namun signifikan. Menyongsong harapan baru.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 276 Th.13, Rajab 1433, 31 Mei 2012

Minyak dan Industri Uang

Minyak dan Industri Uang[1] 

(Hal-04)Kisruh energi tak sekedar minyak. Ini soal ledakan gaya hidup yang hampir seluruh negara di muka bumi yang dengan brutal mengonsumsi energi. Sebab energi menjadi penggerak dan nyawa utama industri-industri raksasa mereka. Tetapi energi, pada saat yang sama adalah industriuang itu sendiri. Maka dunia yang selalu bergolak terkait energi tidak semata pada fungsi vitalnya. Tapi juga transaksi manis diatasnya, sekaligus pada penaklukan atas sumber-sumber eksplorasinya.



Manusia kini menikmati isi perut bumi tidak hanya emasnya. Ada bermacam hasil tambang lain yang melimpah. Jumlah uang dari itu semua sangat fantastis. Yang lebih mengagumkan, industri uang yang melekat pada isi perut bumi, adalah industry dengan bahan baku yang telah disediakan Tuhan dengan gratis. Maka biaya produksi pada industri itu lebih pada pengolahannya dan distribusinya. Karena itu, penguasaan atas lahan yang disediakan Tuhan itu, selalu menggunakan logika lain.

Logika lain itulah yang kemudian kita temukan beragam bentuknya. Dari intimidasi, perjanjian kontrak karya yang tidak seimbang, merampas dan menunggangi demokrasi suatu negara, hingga menciptakan perang mengerikan yang membunuh ratusan ribu orang sipil. Semua demi penguasaan atas lahan yang menyimpan harta karun pertambangan. Sebab lahan itu sendiri secara administratif melekat pada teritori suatu negara. Di luar cara-cara itu, sumber-sumber eksplorasi tak akan mudah dikuasai.

Di Indonesia, baru saja ditetapkan peraturan bahwa perusahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan harus mendisvestasi sahamnya sahamnya hingga 51% untuk dijual ke pihak Indonesia. Prosesnya bertahap hingga tahun kesepuluh. Tetapi begitu aturan ini dikumandangkan, seketika perusahaan tambang asing terbesar di negeri ini merasa tidak harus taat pada peraturan itu. Ia beralasan, sudah ada kontrak karya sebelumnya.

Pada akhirnya konflik kita tentang energi bukan soal ketersediaan, bukan pula soal kecukupan. Tapi soal pengelolaan. Terlalu banyak unsur di luar negeri yang mempermainkan energi. Energy bukan semata energi. Tapi juga koordinat bermacam pertarungan. Tidak saja di medan perang yang meruntuhkan peradaban, tapi juga di ranah politik, dunia intelejen, premanisme, mafia di tubuh Negara ataupun pasar, dan kartel.

Dahulu di era primitif orang berebut air dan tanah. Itu tentang apa yang ada di atas bumi, dan bukan apa yang di dalam bumi. Kebutuhan inti energi melekat pada diri mereka sebagai makhluk bergerak, atau binatang yang mengangkut mereka berpindah-pindah.

Maka ketegangan di perairan teluk atau di kawasan lain tidak selalu seperti tampaknya. Ada urat dan pamer kuat belum tentu tentang Negara melawan Negara. Ini tentang industri uang raksasa yang digerakkan diatas segala permainan energi.***

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1432, 5 April 2012.

Dunia Duga

Dunia Duga[1] 

(Hal-04) Banyak yang tidak kita tahu. Tapi sangat banyak yang kita duga. Sebab menjadi tahu lebih sulit dari sekadar menduga. Sebab menjadi berpengetahuan lebih berat dari menjadi penumpuk dugaaan. Pengetahuan sangat berbeda dengan dugaan. Hakikatnya beda.  Strukturnya beda. Faktanya beda. Pengetahuan memberikan asupan nalar pada kita. Dugaan menyuplai emosi egois kita. Penegetahuan cenderung mengarahkan. Dugaan cenderung menjerumuskan.



Begitupun, kita lebih menikmati apa yang sebenarnya tidak kita tahu, ketimbang apa yang seharusnya kita tahu. Kita asik dengan dunia duga-duga. Sebab kebanyakan kita merelakan hari-harinya dipandu oleh apa yang tidak penting untuk kehidupan kita: industri duga-duga.

Setiap hari kita menelan berita, tapi tidak setiap hari kita menambah pengetahuan. Setiap waktu kita mencari informasi baru, tapi kita tak bertambah ilmu. Di panggung kehidupan yang iramanya diatur arus informasi, kita tiba-tiba menjadi sekumpulan penonton yang dungu. Sebab kita tidak pernah sadar, bahwa kini setiap peristiwa ada behind the scene-nya.

Informasi punya kastanya. Benar, setengah benar, tidak benar dan palsu. Di masa ketika informasi berpindah ke tempat jauh hanya menggunakan kuda dan burung merpati, kita punya sedikit kabar, sedikit alat sebar. Kini setelah era industri media dan arus deras koneksi internet, kita punya mesin informasi yang lapar kabar.

Di batas ini kita akan kewalahan. Tak berdaya. Tapi kita terus menampakkan diri digdaya di hadapan makhluk yang bernama mesin informasi itu. Yang terus meraung minta disuplai, dijejali, dan digelontorkan ke dalamnya segala kabar dan berita. Maka apa-apa yang setengah benar, tidak benar bahkan palsu, bisa diubah menjadi kabar yang tampak benar. Kita akan terus mengalami kesenjangan yang menyedihkan. Kesenjangan antara bahan baku informasi yang bermutu, dengan kehausan informasi itu, lalu kehausan kita kepada produksi informasi dari mesin informasi itu. Begitupun banyak diantara kita yang belum sadar.

Itu sebabnya, pelanggaran kode etik di kalangan pewarta sendiri tahun ini naik lebih 300 persen. Salah satu lembaga independen di bidang kewartawanan, melaporkan bahwa tahun 2011 ini pelanggaran kode etik di kalangan pewarta meningkat tajam. Itupun hanya didasarkan pada jumlah pelanggaran yang diadukan. Bila tahun 2010 hanya berjumlah 128, tahun ini tercatat 442 pengaduan pelanggaran.  Lebih lanjut, survey yang mereka lakukan, hanya 20 persen pewarta yang membaca kode etik, sesuatu yang mengatur tata cara dan etika kepatutan dalam cara mereka bekerja.

Banyak yang tidak kita tahu. Tapi terlalu banyak yang kita duga. Membiarkan diri terus-menerus menikmati dugaan setiap hari, akan membunuh cita rasa pengetahuan kita. Lalu tunggu saatnya kita turut serta menjadi sampah.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 265 Th.13, Shafar 1433, 29 Desember 2011

Disiplin Eksakta dan Sosial Kita

Disiplin Eksakta dan Sosial Kita[1] 

(Hal-04) Di dunia sosial ada kelenturan. Di dunia eksakta ada kepastian. Keduanya punya peran untuk menopang kehidupan. Maka keduanya saling melengkapi dan saling menguatkan.

Dunia eksakta memerlukan disiplin takaran, konsistensi skala, dan tentu saja kesungguhan. Sebab semua berada dalam logika hukum alam yang telah dipatrikan Allah bersama struktur penciptaan alam itu, beserta segala isi dan turunannya. Tentu ada ruang mukjizat yang berjalan di luar akal. Tapi itu tak bisa disentuh oleh kapasitas manusiawi kita. Dunia sosial menghajatkan penalaran juga keteguhan. Asumsi-asumsi tafsir, tapi juga kesimpulan-kesimpulan. Duplikasi-duplikasi, tapi juga pembaruan.



Jembatan runtuh adalah fenomena eksakta. Tetapi pendorongnya kecuali karena bencana alam adalah perilaku sosial. Seperti kecerobohan, pembiaran, dan tentu saja standarisasi yang mungkin saja tak dipenuhi. Pada akhirnya ilmu apapun yang kita kuasai, pengetahuan ahli apapun yang kita miliki, sangat bergantung pada perilaku dan mentalitas kita.

Setelah satu jembatan runtuh di Kalimantan, satu lagi runtuh di Jawa timur. Lalu kita segera mengaudit jembatan-jembatan lain yang masih ada. Audit eksakta meskipun perlu kerja keras dan menyita waktu, pasti lebih mudah dari audit sosial.

Begitulah dalam banyak kejadian, kita semakin maju secara eksakta, tapi seringkali semakin mundur secara sosial. Kemunduran perilaku sosial, ketika dipraktikkan pada kerja-kerja eksakta, pasti akan melahirkan berbagai bencana. Itu mengerikan. Sebab tak jarang memakan banyak korban.

Produk makanan olahan kita punya standar eksaktanya. Tapi banyak diintervensi oleh perilaku pedagang yang buruk. Maka banyak dari kita yang memakan pewarna kain, pengawet mayat, atau daging daur ulang sampah. Minuman kita punya standar eksakta. Tapi banyak dari kita yang minum air tanah dan es batu yang bahan bakunya dari air sungai yang penuh e-coli.

Jalan raya kita punya standar eksakta. Tapi banyak dicederai oleh perilaku sosial buruk pemborongnya. Standarisasi dilanggar demi untung besar dan setoran politik yang mengintimidasi. Mengendarai mobil dan motor diatasnya memiliki standar eksakta. Tapi banyak dari kita yang mengemudi dengan kacau.

Di laut ada standar eksakta untuk segala pelayaran. Tapi banyak diciderai oleh sikap sosial yang rusak: penggampangan. Maka penumpangnya sangat berlebih. Sarana keselamatan minim. Dan alat-alat pendukung lain banyak tak berfungsi. Di udara ada standar eksakta untuk segala penerbangan. Detil, rinci dan kompleks. Mengabaikan itu semua adalah kebodohan.*

Dunia eksakta punya area toleransi. Tapi pasti tidak banyak. Dunia sosial memang kaya dengan toleransi. Adapun ilmu dan keahlian kita, akan sangat dipengaruhi oleh perilaku dan mentalitas kita. Pada akhirnya, kita memerlukan disiplin eksakta dan sosial yang sama baiknya.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 264 Th.13, Muharram 1433, 15 Desember 2011