Jumat, 04 September 2020

Puasa Dan Pelajaran Komunikasi Antar Manusia

Puasa Dan Pelajaran Komunikasi Antar Manusia[1][2]

Edi Santoso

(Hal-46) Sebagai sebuah aktivitas, puasa bisa kita temukan dalam berbagai komunitas. Sejak zaman kuno, di masa Socrates, Plato, Aristoteles, Galen, Paracelsus, dan Hippocrates, puasa diyakini sebagai salah satu bentuk terapi. Dalam ajaran banya agama, puasa adalah sebentuk cara berkomunikasi dengan Tuhan. Terlebih dalam Islam, sebagaimana ibadah lain, puasa adalah media komunikasi dengan Sang Pencipta. Puasa, bahkan mendapat tempat khusus di hadapan Allah.



Puasa tak hanya menjadi sarana penyucian jiwa, sehingga ikatan manusia dan pencipta makin dekat, tetapi juga membawa banyak pelajaran bagi komunikasi antar manusia. Puasa menjelaskan bagaimana kualitas komunikasi antar manusia yang seharusnya. Ini terangkum dalam lima standar kualitas relasi, sebagaimana dikatakan para pakar komunikasi antarpribadi.

Pertama, loyalitas (loyalty).  Puasa adalah wujud loyalitas hamba yang luarbiasa. Bagaimana tidak, perintah Allah untuk menjauhi yang sehari-hari halal dan menyenangkan serta merta kita lakukan, termasuk syarat dan rukun-rukunnya. Komunikasi antar pribadi biasanya bertujuan membangun relasi. Dan relasi yang kuat hanya mungkin tercipta jika ada komitmen diantara mereka yang terlibat. Ada loyalitas di dalamnya. Loyalitas tak hanya hasil dari komunikasi, tetapi juga proses komunikasi. Loyalitas tergambar dari komitmen kita untuk membangun relasi melalui serangkaian komunikasi yang mungkin seringkali melelahkan.

Kedua, Rasa Hormat (respectful). Puasa dengan rangkaian ibadah lainnya dalam bulan Ramadhan ini tidak mungkin berjalan dengan khusu dan damai tanpa rasa hormat, seiring fakta betapa kita berbeda dalam beberapa hal. Kita dibiasakan untuk bertoleransi dalam perbedaan yang bersifat ijtihadiyah. Tak terbayang bagaimana kita bisa berkomunikasi secara positif tanpa rasa hormat. Perbedaan pendapat itu niscaya. Rasa hormat itulah yang menggaransi komunikasi tetap berlangsung, meskipun masing-masing kepala yang terlibat memiliki pandangan yang beragam, kita boleh berbeda, tetapi komitmen untuk tetap bersama harus selalu ada.

Ketiga, tulus (unconditionally there). Tak diragukan lagi bagaimana puasa menginspirasi kita untuk membantu sesama tanpa pamrih, terlebih setelah kita bisa berempati dengan apa yang dirasakan saudara-saudara kita. Dalam komunikasi, ketulusan akan membuat orang lain nya- (hal-47) man. Tulus berarti menyediakan diri untuk orang lain. Ketika mereka membutuhkan kita sebagai partner komunikasi, misalnya tempat curahan hati, ketulusan kita akan diuji. Tulus berarti komitmen kita untuk selalu hadir dengan orang-orang yang membangun relasi dengan kita, meski itu sekadar ungkapan basa-basi, misalnya lewat sapaan atau ucapan selamat.

Keempat, terpercaya (trustworthy). Puasa adalah ibadah bagi orang-orang terpercaya, karena sifatnya yang rahasia. Meskipun tidak ada orang yang melihat, kita senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Karena, kita yakini ini sepenuhnya urusan kita dengan Allah semata. Sementara dalam komunikasi, keterpercayaan itu semestinya melekat pada setiap partisipan. Dalam setiap informasi yang masuk melalui indera kita ada tanggungjawab di dalamnya, terlebih jika ini menyangkut harga diri atau keselamatan orang. Keterpercayaan adalah kunci kredibilitas kita. Sekali saja kita mengkhianatinya, jangan harap orang akan menghargai kita sebagai teman berkomunikasi.

Kelima, peka rasa (a genuine sounding board).  Rasa lapar dalam ibadah puasa mendidik kita untuk senantiasa empati pada kondisi orang lain, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Lapar memaksa kita merasakan kondisi yang sama dengan mereka. Kepekaan inilah yang menjembatani jurang batin diantara kita. Hal serupa semestinya juga kita hadirkan dalam komunikasi. Peka rasa berarti kita tak hanya berpikir tentang “kita”, “kita”, dan “kita”. Selain bicara, kita juga harus mendengar. Dengan mendengar, kita tahu apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain. Kepekaan akan menuntut kita batas-batas kapan harus bicara dan kapan saatnya diam. Kepekaan juga akan membantu kita untuk memilih artikulasi yang tepat, menyesuaikan dengan kondisi dan suasana yang sesuai.

Sebagai bentuk komunikasi spiritual, puasa mengajarkan betapa pentingnya peran kesucian jiwa. Jika hati yang bersih bisa menembus pintu-pintu langit, maka hal yang serupa pastilah bisa menembus pintu-pintu hati manusia. Maka tidak ada kata putus asa dalam komunikasi. Jika saat ini kita banyak menghadapi kendala dalam membangun relasi dengan sesame, maka yakinlah selalu ada peluang untuk menyelesaikannya. Niat baik yang bertaut dengan ikhtiar yang baik selalu membawa kita pada muara yang baik, Insya Allah.



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 280 Th.14, Syawal 1434, 6 September 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Komunikasi Keluarga

Komunikasi Keluarga[1][2]

Edi Santoso

 (Hal-44) Keluarga lebih dari sekadar kumpulan orang. Keluarga, kata Sosiolog Ernest W. Burges, adalah sebuah kehidupan, perubahan pertumbuhan, dan kesatuan orang yang berinteraksi (Unity of interacting person). Di keluarga lah, dalam kondisi normal, interaksi sosial pertama kali terjadi, semenjak kita lahir atau kanak-kanak. Bahkan sejak dalam kandungan, bayi berinteraksi dengan anggota keluarganya, meski dalam bentuk komunikasi nonverbal. Inilah komunikasi dini, komunikasi pertama yang dilakukan seorang manusia dengan sesamanya.



Komunikasi dini memegang peran krusial dalam perkembangan kejiwaan anak. Pasca Perang Dunia II, banyak anak korban perang yang menjadi pengungsi atau kehilangan orangtuanya, mengalami masalah kejiwaan yang serius. PBB kemudian menugaskan seorang psikiatris dan Psikoanalis John Bowlby untuk mengurai akar permasalahannya. Melalui serangkaian penelitian, Bowbly menyimpulkan, momen krusial terjadi dalam interaksi bayi dan orang lain dalam usia sejak lahir hingga dua tahun. Bayi akan lekat dengan orang-orang yang berinteraksi (berkomunikasi) dengannya secara sensitive dan responsive.

Secara naluriah, bayi akan mencari rasa aman pada orang di sekelilingnya. Komunikasi dalam bentuk apapun, baik verbal berupa sapaan atau candaan ataupun noverbal seperti sentuhan atak ekspresi muka adalah sebentuk jaminan akan rasa aman, karena menggambarkan kedekatan. Kualitas interaksi ini akan mempengaruhi emosi, persepsi, pikiran, dan harapan-harapan mereka dalam relasi selanjutnya. Naluri ini akan diikuti oleh ketakutan dan kesedihan (Hal-45) akan terpisahnya dengan orang-orang terdekat. Maka, memori, terpisah akan terus membekas dan menyulitkan mereka untuk membangun relasi dengan orang lain di kemudian hari.

Dalam fase selanjutnya, komunikasi dalam keluarga akan membentuk jati diri. Steinmetz mengatakan, kita tidak dilahirkan dengan pemahaman siapa kita, tetapi kita mendefinisikan siapa kita melalui simbolisasi dengan orang lain. Interaksi (komunikasi) lah yang membangun identitas kita. Karena keluarga merupakan ruang komunikasi utama, sejak belia hingga dewasa, maka perannya sangat signifikan. Komunikasi dengan orang tua, saudara, kakek-nenek, dan anggota keluarga besar lainnya adalah praktik simbolik yang akan memandu siapa kita.

Kata-kata yang membesarkan jiwa sangat signifikan pengaruhnya, begitu pula sebaliknya. Ungkapan-ungkapan positif akan menjadikan anggota keluarga berpikir dan bertindak konstruktif. Sebaliknya, hinaan, cercaan, ungkapan ketidakpercayaan atau ekspresi perendahan (underestimate) hanya akan mendorong dan melahirkan sikap rendah diri atau destruktif lainya. Maka, berhati-hatilah dengan praktik labelling (penjulukan). Itulah pentingnya memberi nama yang baik bagi seorang anak. Ketika bayi belum bisa bicara, kita sudah menyapanya dengan namanya. Bayangkan jika namanya berkonotasi buruk, betapa sering ungkapan negative mengendap di kepalanya.

Ketika ikatan keluarga kuat, bahkan cara dan gaya komunikasi kita pun terbawa. Sebuah contoh ekstrim di gambarkan dalam film Nell. Seorang gadis, Nell (Jodie Foster), yang tinggal di tengah hutan berperilaku aneh, dengan bahasa yang berbeda dengan orang pada umumnya. Beberapa psikiater bahkan menyebutnya gila, karena tidak bisa berkomunikasi dengan masyarakat umum. Setelah ditelusuri ternyata dia sepenuhnya normal. Perilaku anehnya adalah akibat komunikasi dalam keluarga yang unik. Di tengah hutan, dia tumbuh dan berinteraksi hanya dengan ibu dan saudara perempuannya. Kepada anak-anaknya, sang ibu hanya berkomunikasi dengan bahasa kuno (Ibrani) yang tak lagi memiliki penutur di zaman modern.

Jika lingkungan luar tak bisa dikendalikan, maka mengkondisikan keluarga jauh lebih memungkinkan. Sebelum anak-anak menemukan dunia liar bernama lingkungan pergaulan, pastilah mereka terlebih dahulu tumbuh dalam keluarga. Maka, ikhtiar membangun komunikasi dalam keluarga yang hangat, dekat dan konstruktif, adalah langkah penting membangun pribadi yang tangguh.*

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 279 Th.14, Ramadhan 1433, 26 Juli 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal 

Ketika Media Menjadi Hakim

Ketika Media Menjadi Hakim[1][2]

Edi Santoso

(Hal-41) Dengan jangkauannya, media massa punya kuasa. Di era informasi, arah opini hamper sepenuhnya ditentukan oleh media. Tidak berlebihan jika media dianggap sebagai pihak yang mendefinisikan dunia hari ini (defining agency). Bahkan media sejak abad ke-18 sering disebut sebagai pilar keempat (fourth estate), yakni lembaga yang mempunyai kekuatan besar dalam masyarakat. Merah Hijaunya dunia sangat ditentukan oleh media.



Tapi nampaknya adigium Lord Acton bahwa ‘kekuasaan cenderung korup’ (power tend to corrupt) berlaku bagi siapapun, termasuk media massa. Kekuasaan media, harus kita akui, memang berjasa dalam mewujudkan demokratisasi, terutama karena perannya sebagai alat control sosial karena perannya sebagai alat control sosial. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa tak sedikit praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh media terjadi. Salah satu catatan hitam itu adalah penghakiman oleh media (trial by the press).

Penghakiman itu terjadi dalam berbagai kasus hokum. Ketika hakim belum memutus sebuah perkara, media sudah mengetuk palunya. Ketika seseorang masih berstatus tersangka, media sudah mencitrakannya sebagai terdakwa atau terpidana. Kita bisa bayangkan betapa banyak orang yang namanya keburu hancur bahkan sebelum dia terbukti bersalah. Jika yang bersangkutan ternyata tak terbukti bersalah, sungguh layak media merasa berdosa.

Sayangnya memang, tak semua media  menghormati prosedur hokum yang semestinya. Tahapan tersangka, terdakwa, dan terpidana dalam proses hukum seringkali terkacaukan oleh semangat sensasional media. Begitu seseorang ditetapkan menjadi tersangka, melalui pemberitaan sensasional, yang bersangkutan seolah telah sunguh-sungguh bersalah. Ini diperparah oleh kecenderungan media saat ini yang lebih banyak  mengangkat fakta-fakta psikologis, yakni fakta yang berasal dari pendapat orang. Jadilah jurnalisme menjadi praktik mengumpulkan perkataan orang. Tulisan berita didominasi oleh istilah ‘konon katanya’.

Dari mana datangnya jebakan penghakiman oleh media? Pertama, penyakit sensasionalisme akut. Sensasionalisme seringkali (Hal-41) dikaitkan dentan praktik ‘yellow journalism’ yang menandai pemberitaan bombastis demi menaikkan oplah. Dan adagium ‘bad news is good news’ pun menemukan pembenarannya. Begitu juga ada kasus-kasus besar yang melibatkan seseorang, apalagi yang bersangkutan masuk dalam kategori tokoh public, media selalu bersemangat untuk meng-cover habis. Semakin banyak masalah, semakin laku media.

Sayangnya, sensasionalisme seringkali menumpulkan daya objektif media. Yang dipentingkan kemudian adalah dampak heboh bagi khalayak. Soal benar atau tidak faktanya, itu dipikir belakangan. Kalaupun salah dan ada yang protes, toh media bisa meralatnya. Nyaris tidak ada kepekaan bagaimana orang yang harus hancur namanya, diikuti rusaknya karir bahkan keluarganya, gara-gara pemberitaan yang hanya mementingkan sensasi.

Kedua, kepentingan ekstramedia. Media sulit menjadi independen, terutama di era industri. Mekanisme bisnis, melalui berbagai cara, telah banyak menundukkan media untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik. Kitapun tidak heran jika kemudian pemberitaan bisa dikendalikan sedemikian rupa untuk membangun citra tertentu. Dan jika kemudian media melakukan ‘penghakiman’ maka ini bagian dari sebuah ‘proyek’ tertentu.

Ini semua, tentu saja, bukan untuk membela mereka yang sedang berperkara. Ini sekedar mengingatkan kembali, betapa di luar sisi konstruktif media yang harus selalu kita apresiasi, ada kemungkinan malpraktik pemberitaan yang harus kita waspadai. Media tak akan pernah bisa, dan memang tak boleh, menjadi hakim. Keputusan hakim selalu tegas dan jelas; benar atau salah. Hakim harus membuat kepastian hokum, sementara media tak akan pernah bisa member kepastian. Media hanya memberitakan, bukan memvonis.

Demi kredibilitas, media harus berhati-hati memberikan penilaian, apalagi membuat  keputusan. Berapa banyak korban ‘trial by press’ yang sulit menemukan kembali nama baikknya. Pemberian hak jawab atau klarifikasi tak serta merta menyelesaikan masalah, apalagi jika dilakukan dengan tidak tulus, misalnya sekedar memuat protes pada halaman surat pembaca. Kita harus selalu ingat prinsip irreversible dalam komunikasi, bahwa apa yang sudah kita ucapkan atau tuliskan sejatinyatak bisa ditarik kembali. Permintaan maaf tidak akan pernah mengobati luka.

Sebagai pembaca, kita juga harus cerdas menimbang berita. Kepercayaan pada media jangan sampai membunuh akal sehat, apalagi hati nurani kita. Kita tak akan pernah tahu apa sesungguhnya terjadi begitu pula media.



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Kekuatan Bahasa

Kekuatan Bahasa[1] [2]

Edi Santoso

(Hal-46) Bahasa sangat menentukan hidup kita. Apalagi jika kita sepakat dengan tesis Benyamin Whorf bahwa bahasa dengan galur-galur ungkapan (grooves of expression), menentukan kondisi manusia, sehingga ia melihat dunia dengan cara-cara tertentu, dan dengan demikian mengarahkan pikiran dan tindakannya. Jadi, bahasa adalah pemandu realitas.

 


Whorf memberikan contoh orang Eskimo yang memiliki banyak ungkapan tentang salju, misalnya istilah untuk salju yang baru turun dari langit, salju yang sudh mengeras, atau salju yang sudah meleleh. Sementara orang pada umumnya  menamai itu semua cukup dengan salju (satu nama). Bahasa Indonesiapun mengenal istilah ‘gabah’, ‘beras’ dan ‘nasi’, sementara bahasa inggris hanya punya istilah ‘rice’ untuk menunjuk istilah yang sama. Ini menunjukkan perhatian khusus orang Indonesia pada makanan pokoknya.

 

George Lakoff mengatakan, sadar atau tidak, metafora ternyata mengarahkan hidup kita sehari-hari. Metafora adalah praktik kebahasaan kita, yakni penggunaan istilah-istilah di luar makna literal. Misalnya, kita punya ungkapan ‘waktu terus berjalan’. Waktu dianalogikan makhluk hidup yang bisa berjalan. Sementara orang Amerika punya ungkapan serupa ‘time is running’ sama-sama menganalogikan waktu, tetapi kita menggunakan kata kerja ‘berjalan’, sedangkan orang Barat memakai istilah ‘running’ (berlari). Sama-sama menganalogikan waktu, tetapi kita menggunakan kata kerja ‘berjalan’, sedangkan orang Barat memakai istilah ‘running’ (berlari).

Perbedaan istilah itu yang bisa jadi membuat kita berbeda dalam memaknai waktu. Mereka berpacu dengan waktu yang sangat cepat berlalu, sementara kita lebih santai, karena waktu hanya ‘berjalan’. Kita pun punya ungkapan Jawa ‘alon-alon asal klakon’ (pelan-pelan saja, yang penting kesampaian).

Ketika kita mengadopsi istilah, perilaku pun mengikuti. Istilah ‘fast food’ misalnya tiba-tiba popular di negeri ini. Metafora makanan sebagai organisme yang dinamis. Cara pandang kita pada makanan pun berubah, karena memasukkan aspek kecepatan sebagai variable penting dalam bisnis makanan. Orang tak lagi bicara soal ‘gizi’ sebuah istilah popular beberapa tahun (Hal-42) silam, tapi soal kecepatan dan kepraktisan. Maka menjamurlah bisnis makanan cepat saji di negeri ini.

Metafora adalah sistem secara konseptual yang mengarahkan hidup kita. Maka, berhati-hatilah dalam menggunakannya. Istilah cinta yang dulu identik dengan kesetiaan, pengorbanan, keluhuran, atau keabadian. Seperti ungkapan Buya Hamka,”Cinta adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitik embun yang turun dari langit, bersih dan suci.” Ada juga ungkapan,”Kejarlah cinta sejatimu.” Metafora ini menggambarkan cinta sebagai objek istimewa yang berada nun jauh di sana, sehingga untuk mendapatkannya perlu perjuangan. Bandingkan dengan ungkapan ‘cinta satu malam.’ Kesucian cinta direduksi sedemikian rupa, sehingga nafsu dan cinta sulit dicari batasnya.

Batas dunia manusia adalah bahasa mereka, kata Filsuf Witgenstein. Ini tidak semata berarti pentingnya penguasaan berbagai bahasa dunia, tetapi juga pemahaman berbagai istilah atau metafora bahasa apapun yang kita pakai. Karena, bahasa menautkan istilah-istilah simbolik dengan referen. Semakin kaya istilah-istilah kita, maka akan semakin banyak referen yang kita pahami. Jika referen adalah potret dunia ini, maka dengan semakin piawai kita berbahasa, maka akan semakin banyak yang bisa kita lihat dari dunia ini. Kita pun menjadi mengerti kenapa ada nasihat,”Ajarkan anak-anakmu dengan satra, agar halus akal budi mereka.” Sastra kaya dengan metafora. Tak semata rangkaian kata-katanya yang indah didengar, tapi ungkapan-ungkapan dalam sastra juga biasanya penuh makna. Kita mungkin ingat dengan ungkapan penyair besar Muhammad Iqbal berikut,”Hidup seperti juga puisi dan lukisan, seluruhnya adalah ekspresi.” Menganalogikan hidup kita dengan puisi dan lukisan akan membawa kita pada bayangan keindahan. Tapi itu tidak serta merta, karena sebagai sebuah ‘ekspresi’ pada akhirnya bergantung pada kita semua yang menjalaninya. Ungakapan ini singkat, tapi sungguh merupakan metafora tentang hidup yang tak saja indah, tapi juga dalam maknanya.

Bahasa selalu dinamis, karena makna terus berkembang. Simbol kebahasaan tak habis-habis dieksplorasi, begitu pula referen-nya. Karena bahasa akan mengarahkan kita, maka menjadi tantangan kita bersama, bagaimana menggunakan bahasa untuk hidup yang lebih bermakna. Tak saja melalui counter  istilah, misalnya ‘slow food’ sebagai antithesis ‘fast food’, tapi kita juga bisa menciptakan atau terus memperbaharui ungkapan-ungkapan yang ada.

Bahasa akan mendefinisikan hidup kita. Bahasa, bahkan menunjukkan kemampuan dan kekuasaan kita, seperti dikatakan Foucoult,”Siapa yang mampu memberi nama, dia yang menguasai.” Banyak orang hebat karena dia tahu lebih dulu dibanding kita. Dia tahu lebih dulu, karena penguasaan bahasanya lebih baik dari kita.

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 270 Th.13, Rabi’ul Tsani 1433 H, 8 Maret 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Berani Bermedia, Berani Berdialog

Berani Bermedia, Berani Berdialog[1][2]

Edi Santoso

(Hal-40)Media baru (new media) yang hadir seiring kemunculan internet sering mendapat respon yang berlebihan.Diantaranya, media ini dianggap sebagai antithesis media lama yang dianggap membawa cacat bawaan. Media lama yaitu media massa pada umumnya, sering diasosiasikan dengan suasana distribusi informasi yang tidak demokratis. Media massa, misalnya, dianggap memonopoli sumber informasi dan tidak tidak dialogis terhadap khalayak. Media baru dianggap berkarakter sebaliknya.



Media baru memang menghadirkan iklim informasi yang berbeda.Pertama, interaktifitas.Komunikasi berbasis internet memungkinkan interaktifitas lebih jika dibandingkan dengan media lama, khususnya dengan media cetak dan penyiaran. Salah satu wujudnya adalah tren ‘user generated content’ dalam aplikasi web 2.0, misalnya  dalam youtube, dimana orang bebas mengunggah videonya sendiri. Slogan youtube pun terasa provokatif, yakni ‘broadcast your self’. Di sini, khalayak memiliki peran lebih dalam mempengaruhi isi media.

Kedua, keragaman konten dan sudut pandang. Kemelimpahan konten dalam internet tak akan tertandingi oleh media manapun. Internet bisa disebut sebagai chanel komunikasi yang ‘multimodal’ , memungkinkan informasi berbasis teks, video, ataupun audio dalam jumlah yang nyaris tidak terbatas, yang tersebar dan terdistribusikan ke individu, kelompok, atau organisasi. Pengamat media William mengatakan, jumlah informasi dalam web diperkirakan memcapai 281 exabyte yang jumlahnya akan meningkat 10 kali lipat lima tahun berikutnya. Kemelimpahan ini pada akhirnya juga menyediakan beragam sudut pandang bagi khalayak.

Ketiga, selektifitasdan control khalayak.Kombinasi dari interaktifitas yang meningkat dan keragaman konten berarti khalayak dapat lebih selektif sekaligus bisa mengontrol isi media yang menerpanya. Khalayak media baru memainkan peranan sebagai gatekeeper, karena mereka memiliki banyak pilihan sebagai penerima dan juga mampu memfilter, memproduksi, dan mendistribusikan informasi bagi mereka sendiri atau pihak lain secara mudah.

Dengan karakteristik tersebut, khalayak semestinya menjadi lebih berdaya.Namun, faktanya tak selalu demikian, karena peluang memang tak selalu dimanfaatkan. Se- (Hal-41) perti dikatakan Takeshita, meskipun sumber-sumber informasi melimpah di internet, tak banyak bukti yang menunjukkan bahwa khalayak kemudian memanfaatkan kemelimpahan pilihan itu. Khalayak masih banyak yang menggunakan versi online dari media lama. Jadi, yang lebih banyak dimanfaatkan baru cara akses, belum fitur ‘selektivitas’ atau ‘kustomisasi’ yang tersedia.

Bahkan yang terjadi seringkali berupa paradoks.Kemelimpahan tidak menghasilkan keragaman dan kekayaan pengetahuan tetapi justru penyempitan pandangan.Fitur ‘selektivitas’ tidak digunakan untuk memperkaya beragam pandangan, sebaliknya dipakai untuk memperkuat pandangan pribadi atau kelompok.Dalam jejaring sosial misalnya, pilihan pertemanan atau pilihan untuk mengikuti pendapat orang (following) akhirnya menjadi sangat terbatas, yakni hanya pada orang-orang dalam satu kelompok saja.

Mungkin kita berargumen, itu semua untuk melindungi keyakinan dan pemikiran kita.Terutama bagi kita pada umumnya yang masih awam. Pandangan ini mungkin ada benarnya, tetapi jelas menggambarkan pesimisme, khawatir kita akan ditelan belantara dunia maya yang tak jelas orientasinya. Ini cara pandang kita sebagai objek, bukan subjek. Kenapa kita tidak berpikir sebaliknya, bahwa inilah kesempatan untuk membangun dialog global.Inilah kesempatan bagi kita untuk membagi pandangan dan keyakinan pada komunitas yang tak terbatas (borderless).

Melihat kecenderungannya, kita semakin tak bisa menghindar dari terpaan media baru.Kita juga tidak bisa mengingkari karakternya yang menuntut kesiapan menjadi warga global (netizen).Pilihannya, kita akan terus menghindar dengan ‘bersembunyi’ dalam kelompok kita atau segera mempersiapkan diri untuk berdialog dengan siapapun di komunitas global. Perasaan tidak aman saat berinteraksi dengan pihak lain, kata Syamsi Ali – Imam Islamic Center New York, adalah cermin lemahnya keyakinan. Jika kita yakin dengan nilai-nilai kita selama ini maka tak ada alasan untuk menghindar. Apalagi jika kita yakin dengan prinsip ‘nahnu du’at’, kita semua adalah dai, maka harus terus berupaya untuk menyampaikan apa yang kita anggap benar pada siapapun.

Media baru menyediakan berbagai fitur untuk berdialaog dengan siapapun. Saatnya kita berpikir, apa yang bisa kita bagi untuk dialog global itu. Tak perlu lari menghindar, tapi justru lari mendekat dengan rasa percaya diri. Tentu, semuanya harus kita persiapkan, terutama kekuatan konten yang akan kita dialogkan.

 



[1]Majalah Tarbawi, Edisi 265 Th. 13, Shafar 1433 H, 29 Desember 2012 M.

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Cerita yang Mempersatukan

Cerita yang Mempersatukan[1][2]

Edi Santoso 

(Hal-44) Jangan remehkan cerita. Meski Nampak sepele, cerita ternyata bisa mempersatukan atau menambah erat hubungan antar orang dalam kelompok. Begitulah kesimpulan sekelompok ilmuwan di Universitas Minnesota pada tahun 1960 dan 1970, dipimpin oleh Ernest Borman yang berminat pada proses pengembangan diskusi kelompok dan keputusan yang dibuat di dalam kelompok. Sebelumnya, Robert Bales, lewat penelitiannya terhadap dinamika kelompok kecil, menemukan bahwa pada situasi yang tegang, suatu kelompok seringkali menjadi sangat dramatis dan berbagi cerita atau tema-tema fantasi.



Fakta itu menjelaskan betapa komunikasi memang unik.efektifitasnya tak bisa dicapai dengan pertimbangan rasional-mekanis semata, misalnya dengan menakar bobot atau isi pesan dalam satuan waktu tertentu. Serius tak berarti menegasikan canda atau cerita remeh-temeh yang dengannya orang bisa saling memberikan tanggapan atau sekadar tertawaan. Dengan cerita, susasana menjadi cair, ketegangan mereda, dan ide-ide brilian pun kadang justru muncul setelahnya.

Gagasan Borman cs itu kemudian dikenal sebagai teori konvergensi simbolik. Ada percakapan ‘simbolik’, yakni berbagai cerita dalam kelompok yang senantiasa mempersatukan mereka. Konsep sentral teori ini ialah tema fantasi (Fantasy theme), yaitu pesan yang mendramatisasi. Pesan yang diuraikan dengan cara yang mengesankan, baik berupa kisah, analogi, atau figure percakapan di mana kelompok berinteraksi. Bukan pesan mengenai sesuatu yang hadir ‘di sini’ dan berlangsung pada saat ‘sekarang’, tapi pesan yang merujuk pada sesuatu di luar ‘saat ini’ dan di luar ruang pengalaman kelompok. Fantasi tersebut merupakan interpretasi kreatif dan imajinatif dari peristiwa-peristiwa yang memenuhi kebutuhan psikologis atau retorikal.

Fantasi tersebut biasanya dieskpresikan dalam bentuk cerita, lelucon, metafora dan bahan imajinatif lainnya yang menafsirkan peristiwa-peristiwa familiar. Dalam perspektif konvergensi simbolik, yang lebih diperhatikan, adalah respon kelompok, mengenai apakah benar-benar ada atau tidaknya peristiwa-peristiwa tersebut terjadi, bukanlah isu yang dipentingkan. Respon yang lepas, penuh humor dan mengalir akan membuat suasana komunikasi yang kondusif.

Sebagian kita mungkin teringat rutinitas (Hal-45) saban sore atau malam di kampung dahulu kala, ketika sebagian orang berkumpul dan bercengkerama. Ada yang melakukannya di bawah rindangnya pohon Waru, ada pula yang lesehan sambil minum teh. Perbincangannya ngalor ngidul, sebagian besar mungkin tidak penting. Ada yang membincangkan tetangga yang kehilangan kambing, anak gadis yang kepergok berduaan sama pacarnya, cerita juragan petai yang untung besar, atau cerita-cerita konyol lainnya. Tapi disitulah, mereka membangun kebersamaan dan kehangatan.

Hal serupa mungkin masih kita temukan sekarang, tentu dalam bentuk yang berbeda. Di kantor misalnya, dalam berbagai rapat, ada jeda yang muncul spontan ketika salah seorang peserta melemparkan joke berupa cerita-cerita lucu. Responnya bisa ke mana-mana, sahut-menyahut diantara peserta, tapi apapun itu, bisa meredakan ketegangan, kuncinya tinggal di pemimpin rapat untuk kembali mengarahkan pembicaraaan.

Cerita-cerita semacam itu pada akhirnya akan menjadi visi retoris (rhetorical vision), yakni pandangan dari bagaimana suatu itu ada atau aka nada. Visi retoris merupakan struktur realitas dalam area yang kita tidak bisa alami langsung, tetapi hanya dapat mengetahuinya dengan reprosuksi simbolik. Oleh karenanya, visi-visi seperti itu memberikan kita sebuah image tentang sesuatu di masa lalu, masa depan,  atau di tempat-tempat yang jauh. Visi tersebut berbentuk seperangkat asumsi yang didasari pengetahuan kita. Apa yang kita tampilkan dalam cerita-cerita itu adalah representasi dari peristiwa yang kita alami.

Dalam lingkup yang lebih luas, sebagai bangsa kita juga dipersatukan melalui cerita,baik yang dinarasikan secara formal di sekolah-sekolah atau perbincangan di warung-warung kopi. Dulu, kita bangga dengan cerita seputar nusantara, di mana nenek moyang kita adalah orang-orang tangguh yang menaklukkan samudera. Kita juga dipersatukan oleh heroisme para pahlawan dalam mengusir penjajah.

Pertanyaannya, kini, cerita apa yang mempersatukan kita? Kita khawatir cerita-cerita yang berkembang adalah olok-olok dan sindiran bagi para pemimpin di negeri ini. Beraneka cerita yang kita dapat dari pemberitaan media itu mungkin meredakan suasana atau meningkatkan keeratan kita dalam kelompok, tetapi juga menyisakan kekhawatiran yang dalam. Karena ini adalah cermin visi retoris kita, sungguh merisaukan jika gambaran bangsa dan Negara ini sedemikian terpuruk. Semoga saja, ada pergantian tema cerita nantinya.

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Opini dan Fakta di Media

Opini dan Fakta di Media[1][2]

Edi Santoso

(Hal-42) Sungguhkah hidup kita diatur oleh media massa? Bisa jadi benar, tapi mungkin juga tidak. Bagi kita yang larut di era informasi dengan peran dominan media sebagai penyedia informasi, anggapan itu barangkali benar. Yakni mereka yang bahkan sejak bangun tidur langsung menyalakan televise, radio, membaca Koran, atau membuka internet untuk menyimak kabar terkini. Mereka yang merasa tersambung dengan peradaban hanya jika terkoneksi dengan limpahan informasi dari berbagai sumber.



Tetapi pengaruh media memang tidak serta merta, karena ini terkait dengan keberdayaan kita sebagai khalayak. Banyak riset yang menunjukkan respon yang beragam orang atas berita atau informasi yang sama. Sebuah berita bisa direspon biasa saja oleh satu orang, tetapi oleh yang lain mungkin menimbulkan histeria. Khalayak yang responsive seringkali ditandai oleh ketidakpahaman mereka atas logika media. Mereka sulit membedakan antara peristiwa di luar sana dan realitas bentukan media.

Jika ini menyangkut peristiwa sosiologis, yakni kejadian-kejadian seperti bencana, upacara, cuaca, atau yang lainnya, persoalannya mungkin akan lebih sederhana, karena mudah diverivikasi. Jumlah korban, waktu kejadian, atau deskripsi peristiwa misalnya, lebih mudah dicek kebenarannya, baik dengan turun langsung ke lapangan atau membandingkan dengan sumber lainnya. Namun pada berita yang berdimensi psikologis, yakni opini atas peristiwa atau fenomena, media punya otoritas yang sulit digugat. Mereka punya hak untuk menentukan ssiapa yang layak didengar suaranya. Prinsip keseimbangan (cover both side) terlalu absurd dalam praktiknya.

Persoalannya, media massa justru cenderung memberikan ruang lebih pada opini ketimbang fakta lingkungan. Bukalah Koran (Hal-51) hari ini dan lihatlah halaman utamanya, betapa opini sedemikian dominan. Hal yang sama juga ada pada berbagai televise berita, isinya tak lebih dari kata si fulan dan fulanah. Ada isu yang terus bergulir karena opini yang berkelindan. Dan ironisnya, seringkali arah opini sudah diarahkan sedemikian rupa. Dimulai dari pemilihan topic yang hendak ‘dihangatkan’, sampai pemilihan narasumber untuk mendukung gagasan.

Fakta di luar sana tak akan sepenuhnya sampai ke media untuk disebarluaskan kepada kita. Media melihat melihat peristiwa atau fenomena, kemudian membangun persepsi atasnya. Realitas pertama ada pada peristiwa itu sendiri, sedangkan yang sampai kepada kita adalah realitas kedua atau kesekian, hasil bentukan media (constructed reality). Singkatnya, yang disuguhkan media kepada kita sejatinya adalah tafsir atas peristiwa. Medialah yang mendefinisikan sebuah isu atau tema untuk dibincangkan.

Jebakan berikutnya adalah pengarusutamaan (mainstreaming) seringkali berangkat dari pola pikir sederhana, misalnya logika moral benar-salah, baik-buruk. Batas antara subtansi dan asesori terkaburkan oleh simplifikasi persoalan. Duduk perkara menjadi tak jelas juntrungnya karena gagal untuk ditempatkan pada sudut pandang yang cerdas. Gagasan-gagasan alternative pun buru-buru layu karena dihantam bertubi-tubi oleh opini yang seragam.

Khalayak yang cerdas akan melihat secara proporsional keberadaan media massa dengan segala isu yang dihembuskannya. Media tak lebih dari entitas yang menawarkan sebuah opini tertentu. Opini yang dirangkai dan dibangun dari pendapat banyak orang dengan bingkai (frame) tertentu. Sebagai opini, maka kedudukannya sama dengan pendapat lainnya, sehingga kebenaran dan keabsahannya layak  didiskusikan lebih lanjut. Menjadi khalayak yang skeptik atau kritis ada benarnya.

Khalayak yang cerdas tak akan buru-buru menarik kesimpulan berdasarkan berita yang beredar. Mereka bukan orang yang responsive, yang mudah tergopoh-gopoh ketika menerima kabar sensitif. Tetapi mereka juga bukan orang yang bebal, yang anti media atau selalu kontra pada pandangan orang lain.

Ruang publik, termasuk yang diciptakan oleh media, tetaplah penting untuk pengayaan gagasan. Tetapi, kita juga harus mengakui keterbatasannya. Terlalu banyak pendapat di luar sana, tetapi terlalu sedikit ruang yang dimiliki media untuk menampungnya.  Pilihan untuk memilih mana yang layak tamping dan berapa ruang yang perlu disediakan untuknya sepenuhnya subyektif.

Selain ruang, juga ada keterbatasan kapasitas pemilik opini. Sayangnya, bursa opini banyak yang kemudian terjebak dalam dunia populer media. Kepatutan tayang atau muat seringkali ditentukan bukan oleh otentisitas gagasan. Maka, jika media adalah opini, kita harus bisa menakar kualitasnya. Kita hidup dalam luapan pendapat, tetapi anehnya miskin solusi. Mungkin kita kelebihan pengamat dan komentator tetapi miskin pemikir dan pengambil keputusan.

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 272 Th.13, Jumadil Awwal 1433, 5 April 2012

[2] Diketik Ulang Eddy Syahrizal